Ketika Tuhan memanggilmu ke Pangkuan Nya datang dan dekaplah dalam hati nuranimu

Kamis, 24 Februari 2011

Ke-Esaan Allah dan Kesatupaduan Kebenaran

Ke-Esaan Allah

Prinsip tertinggi dalam Islam terbagi dalam tiga kesatuan, yaitu kesatupaduan kebenaran, kesatupaduan persona dan keesaan Tuhan (Faruqi 1995).

Ke-Esaan Ilahi adalah bahwa hanya Allah sajalah Tuhan itu, bahwa secara mutlak tak ada sesuatu ciptaan yang dapat disamakan dengan-Nya dalam hal apapun, dan tidak yang dapat disekutukan dengan-Nya. Ia adalah summum-bonum, keagungan yang tertinggi. Dalam perspektif kesadaran kesatuan Ilahi ini, segala sesuatu di alam semesta diciptakan untuk memenuhi satu tujuan dan dijaga setiap saat dalam ruang dan waktu oleh Pencipta tujuan itu sendiri. Tidak ada hukum alam yang bergerak mekanis, karena keharusannya tidak bersumber dari ’takdir’ buta atau kosmos seperti mesin, melainkan dari Tuhan Yang Maha Pengasih yang berkehendak menyediakan bagi manusia panggung dan bahan mentah tindakannya yang demikian berkonsekuensi ontologis. Demikian, pintu-pintu ilmu kealaman dan humaniora serta teknologi terbuka lebar bagi penjelajahan empiris, tanpa pengasingan dan pemisahan sama sekali dari bidang moral dan nilai estetik. Di sini, fakta dan nilai dipadu sebagai satu datum berasal dari Tuhan dan sesuai kehendak-Nya. Dunia, menurut pandangan ini adalah hidup, sebab setiap atom di dalamnya bergerak dengan sarana Ilahi, dalam ketergantungan Ilahi, demi nilai, yang merupakan kehendak Ilahi.

Tauhid atau pengesaan Allah memainkan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Tauhid menjadi pemancar kebaikan didunia dan keselamatan diakhirat. Kadar keselamatan manusia di akhirat berbanding lurus dengan keyakinan dalam bertauhid. Begitu pula halnya dengan keridhoan Allah di dunia dan di akhirat. Dunia adalah tempat pengujian dan akhirat adalah tempat pembalasan.

Bertolak dari sini, tauhid di dunia ini tidak tampak dengan wajah yang sesungguhnya sebagai parameter final dan pasti bagi diterima atau ditolaknya semua amal perbuatan manusia. Bukankah cukup banyak orang-orang Musyrik yang menempuh berbagai jalan menuju keberhasilan materi di dunia dan berhasil mencapainya? Bukankah cukup banyak pula orang-orang atheis yang menyingkap rahasia materis dan menjadikannya sebagai alat meraih kemajuan dan berhasil?

Namun, diakhirat kelak, mereka ini tidak mempunyai timbangan amal kebaikan sedikitpun; usaha mereka ini di dunia ini tidak bernilai sama sekali. Penolakan atas tauhid menjadikan semua amal kebaikan di dunia tidak memiliki nilai dan harga. Bahkan, amal-amal kebaikan itu justru akan memberikan aib bagi para pelakunya jika mereka tidak mentauhidkan Allah.

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S. 67:2)

Jika kita perhatikan ayat-ayat Alquran, kita akan menemukan bahwa Alquran memberikan perhatian khusus yang cukup serius pada masalah tauhid ini melebihi masalah-masalah lainnya. Misalnya saja, ayat-ayat hukum yang menerangkan berbagai masalah cabagn (furu) hanya berjumlah 500 buah. Sementara itu, ayat-ayat yang berbicara tentang hari Kebangkitan berjumlah lebih dari 1000 buah. Ini menunjukkan perhatian serius Alquran pada masalah-masalah pemikiran dan keyakinan.

Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari. (Q.S. 13:15)

Kesatupaduan Kebenaran

Bagi al-Faruqi, mengakui Keesaan Allah berarti mengakui kebenaran dan kesatupaduan. Pandangan al-Faruqi ini memperkuat asumsi bahwa sumber kebenaran yang satu berarti tidak mungkin terjadi adanya dua atau lebih sumber kebanaran. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa pengembangan ilmu—termasuk ilmu pendidikan—mesti berangkat dari prinsip al tauhîd. Mengatakan bahwa kebenaran itu satu, karenanya tidak hanya sama dengan menegaskan bahwa Tuhan itu satu, melainkan juga sama dengan menegaskan bahwa tidak ada Tuhan lain kecuali Allah, yang merupakan gabungan dari penafian dan penegasan yang dinyatakan oleh syahadah.

Tauhîd sebagai prinsip metodologis, menurut al Faruqi, memuat tiga prinsip utama, yaitu: Pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas (rejection of all that does not correspond with reality); kedua, penolakan kontradiksi-kontradiksi hakiki (deniel of ultimate contradictions); dan ketiga, keterbukaan bagi bukti yang baru dan/atau yang bertentangan (opennes to new and/or contrary evidence).

Sebagai penegasan dari kesatupaduan sumber-sumber kebenaran. Tuhan pencipta alam dari mana manusia memperoleh pengetahuannya. Objek pengetahuan adalah pola-pola alam yang merupakan hasil karya Tuhan. Hal inilah yang banyak dilupakan Barat sehingga timbul ide untuk mengislamisasikan ilmu pengetahuan.

Armahedi Mahzar, seorang iteknosof dan pengajar di ITB, mengatakan bahwa sebenarnya umat Islam tidak perlu untuk meninggalkan dunia mereka dan beralih mencari dunia lain di pedalaman sebagaimana yang telah dilakukan oleh pemuda-pemuda Barat, karena Islam sendiri telah memiliki konsep kesatupaduan. Konsepsi kesatupaduan dalam Islam telah banyak ditafsirkan oleh pemikir di kalangan muslim sendiri, seperti Ibn Arabi dan Mulla Shadra. Namun sebagai filsafat tradisional Islam, kedua filsafat tersebut dan filsafat Islam tradisional lainnya tidak cukup untuk menampung perkembangan keilmuan saat ini. Dari sinilah kemudian lahir filsafat integralisme atau al-himah al-wahdatiyah.

Integralisme adalah filsafat yang konsep sentralnya adalah integralitas, yaitu keseluruhan bagian-bagian yang bersatu padu berdasarkan suatu struktur tertentu. Dengan kata lain, integralisme merupakan wawasan menyeluruh dalam memandang segala sesuatu: baik sain dan teknologi dan seni, maupun budaya dan agama. Integralisme melihat semua itu sebagai satu kesatupaduan yang tak bisa dipecah ataupun dipisahkan dari kesepaduan realitas.

Berbeda dengan integrasi pada pandangan holisme, integralisme menyarankan dua integrasi yang internal dan yang eksternal. Integrasi internal adalah upaya menyelarasikan tubuh kita dengan ruh kita melalui rantai insting, inteligensi dan intuisi. Sedangkan integrasi eksternal adalah menghubungkan diri kita dengan Tuhan melalui lingkungan hidup, alam semesta dan alam gaib.

Referensi

Al-Faruqi, Ismail Raji. 1995. Tauhid. Terjemahan. Penerbit Pustaka. Bandung.

www.pangaderyogya.com

www.tauhid.blogspot.com

0 comments:

Followers