Ketika Tuhan memanggilmu ke Pangkuan Nya datang dan dekaplah dalam hati nuranimu

Sabtu, 24 Desember 2011

Apakah Yesus itu Allah? YESUS KOMPLEKS:



Pernahkanh Anda bertemu dengan seseorang yang punya magnet personal begitu besar, sehingga dia selalu jadi pusat perhatian? Mungkin karena kepribadiannya atau kepintarannya – tapi ada sesuatu dari dia yang mempesona. Itulah yang terjadi dua ribu tahun lalu terhadap Yesus Kristus.

Keagungan Yesus sangat jelas bagi mereka yang melihat dan mendengar-Nya. Tapi, ketika hampir seluruh orang besar pelan-pelan hilang dalam buku-buku sejarah, Yesus dari Nazareth tetap jadi fokus kontroversi di banyak buku dan media. Dan sebagian besar kontroversi berada disekitar klaim radikal Yesus mengenai dirinya sendiri.

Sebagai tukang kayu dari sebuah desa di Galilea di Israel, Yesus mengklaim djrinya, jika benar, memberikan implikasi besar terhadap hidup kita. Menurut Yesus, Anda dan saya istimewa, bagian dari rencana besar kosmis dan Dia adalah pusat dari semuanya. Klaim ini dan yang lain semacamnya mengagetkan mereka yang mendengarnya.

Klaim tersebit membuat banyak orang marah saat itu, Yesuslah yang menyebabkan Dia dipandang sebagai pengacau oleh penguasa Romawi dan Yahudi. Kendati Dia adalah orang luar yang tidak punya kredensial atau basis politik, dalam waktu tiga tahun, Yesus mengubah dunia selama dua puluh abad terakhir ini. Pemimpin moral dan agama lain meninggalkan dampak – tapi tidak seperti tukang kayu yang tidak dikenal dari Nazareth.

 Ada apa tentang Yesus Kristus yang membuatnya berbeda? Apakah dia hanya seorang besar atau sesuatu yang lebih?

Pertanyaan-pertanyaan ini masuk ke inti siapa Yesus sebenarnya. Ada yang percaya dia hanyalah guru moral yang besar, yang lain percaya dia hanyalah pemimpin dari agama terbesar dunia. Namun banyak yang percaya lebih jauh lagi. Orang Kristen percaya Allah telah melawat kita dalam bentuk manusia. Dan mereka percaya ada bukti-bukti yang mendukungnya. Jadi, siapa sebenarnya Yesus? Mari kita lihat lebih dekat.

Ketika kita melihat lebih dalam dari pribadi yang paling kontroversial di dunia, kita mulai bertanya apa mungkin Yesus hanyalah seorang guru moral yang besar?

sumber : http://y-jesus.org/indonesian/wwrj/3-apakah-yesus-itu-allah

Lanjutan >

Lanjutan > Apakah Yesus itu Allah? Guru Moral Yang Besar?


Hampir semua ahli mengakui Yesus adalah guru moral yang besar. Pada kenyataannya, kedalaman-Nya dalam moralitas kemanusiaan adalah sebuah pencapaian yang juga diakui oleh agama-agama lain.[1] Dalam bukunya, Jesus of Nazareth, pakar Yahudi, Joseph Klausner menulis, “Secara universal diakui …. Kristus mengajarkan etika yang paling murni dan sempurna… yang melempar semua persepsi dan pepatah dari manusia paling bijak di zaman kuno jauh kedalam bayangan.”[2]

Khotbah Yesus diatas bukit telah disebut sebagai pengajaran etika manusia paling unggul etika manusia yang pernah diutarakan oleh seorang individu. Pada kenyataannya yang sekarang kita kenali sebagai “persamaan hak” adalah hasil dari pengajaran Yesus. Sejarahwan Will Durant menyatakan jika Yesus hidup dan memperjuangkan persamaan hak di era modern Dia akan langsung dikirim ke Siberia. “Dia yang terbesar diantara kamu, adalah dia yang melayani kami” – ini telah membalikkan semua kebijaksanaan politik yang sudah wajar.[3]

Sebagian orang mencoba memisahkan pengajaran etika Yesus dari klam-Nya tentang diri-Nya, dan percaya Dia hanyalah manusia biasa yang besar dan mengajarkan prinsip – prinsip moral luhur (mulia). Inilah pendekatan yang diambil dari salah satu bapa pendiri Amerika.

Presiden Thomas Jefferson, seorang rasionalis duduk di Gedung Putih dengan dua copy identik Perjanjian Baru, sebuah silet dan kertas. Sepanjang beberapa malam, dia menggunting dan menempelkan kitab sucinya yang tipis dan disebutnya “Filsafat Yesus dari Nazareth”. Setelah memotong semua ayat/kalimat yang menyebutkan (menyiratkan) ke-Tuhan-an Yesus, Jefferson mempunyai Yesus yang tidak lebih dan tidak kurang daripada sebuah panduan etika yang baik.[4]

Ironisnya, kata-kata Jefferson yang dikenang di Deklarasi Kemerdekaan berakar pada pengajaran Yesus bahwa setiap orang sangat berharga dan penting bagi Allah, terlepas dari jenis kelamin, ras, atau status sosial. Dokumen terkenal itu menambahkan, “Kami pegang teguh kebenaran yang telah membuktikan dirinya sendiri, bahwa semua manusia diciptakan setara, dan bahwa mereka diperlengkapi oleh Penciptanya dengan hak-hak asasi.”

Tapi Jefferson tidak pernah bertanya, bagaimana Yesus bisa jadi pemimpin moralitas besar jika Dia berbohong tentang Dia adalah Allah? Jadi mungkin Dia tidak benar-benar bermoral, tapi motifnya adalah memulai sebuah agama besar. Mari kita lihat jika itulah penjelasan tentang kebesaran Yesus.

Lanjutan > Apakah Yesus itu Allah? Pemimpin Besar Agama?


Apakah Yesus pantas disebut sebagai “pemimpin besar agama”? Kejutannya, Yesus tidak pernah mengklaim diri-Nya sebagai pemimpin agama. Dia tidak pernah masuk dalam perpolitikan agama atau didorong oleh agenda ambisius dan Dia melayani (berkotbah) diluar kerangka kelembagaan agama.

Ketika membandingkan Yesus dengan pemimpin besar agama lain, perbedaan besar muncul. Ravi Zacharias yang besar dalam budaya Hindu, mempelajari agama-agama dunia dan mengamati perbedaan fundamental antara pendiri agama lain dengan Yesus Kristus.

“Apapun yang kita buat terhadap klaim mereka, satu realitas tidak akan terlewatkan. Mereka adalah guru-guru yang menunjuk pengajaran atau memperlihatkan jalan tertentu. Dari semua muncul perintah-perintah dan cara hidup. Bukanlah Zoroaster yang jadi panutan; Zoroaster yang Anda dengarkan. Bukan Buddha yang membebaskan Anda; Kebebarannya yang Agung yang memerintahkan Anda. Bukan Muhammad yang mengubah Anda; keindahan Quran yang menarik Anda. Kontrasnya, Yesus tidak hanya mengajar atau menjelaskan pesan-pesanNya. Dia identik dengan pesan-Nya.”[5]

Kebenaran Zacharias diperjelas dengan beberapa kali di Injil pesan pengajaran Yesus hanyalah. “Datang kepada-Ku” atau “Ikut Aku” atau “Patuhi Aku”. Juga, Yesus menegaskan bahwa misi utama-Nya adalah untuk mengampuni dosa, sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh Allah.

Tidak ada pemimpin agama besar yang pernah mengklaim berkuasa mengampuni dosa. Tapi bukan klaim itu saja yang memisahkan Yesus dari yang lain. Dalam The World’s Great Religions, Huston Smith mengamati, “Hanya dua orang yang sangat mengejutkan orang pada zamannya sehingga pertanyaan yang ditujukan kepadanya bukanlah “Siapa dia?” tapi ‘Dia itu apa’? Mereka adalah Yesus dan Buddha. Jawaban keduanya atas pertanyaan ini bertentangan. Buddha dengan tegas menyatakan dia hanyalah seorang manusia bukan Allah – seakan-akan dia bisa memperkirakan belakangan ada upaya untuk memujanya. Yesus, disisi lain, mengklaim…. Dia itu Tuhan.

Lanjutan> Apakah Yesus itu Allah? Apakah Yesus Mengklaim Dirinya Adalah Allah?


Sudah jelas, sejak awal gereja, Yesus dipanggil Tuhan dan dipandang oleh orang Kristen sebagai Allah. Namun tetap saja ke-Tuhan-an Yesus terus jadi perdebatan besar. Jadi pertanyaan — dan memang pertanyaannya — adalah : Apakah Yesus mengklaim diri-Nya adalah Allah (Pencipta), atau semacam mahluk mulia yang diciptakan atau diasumsikan oleh para penulis Perjanjian Baru? (Lihat “Apa Yesus Mengklaim diri-Nya adalah Allah”)

Beberapa ahli percaya Yesus adalah guru yang sangat berkuasa dan mempunyai kepribadian yang mendorong murid-muruid-Nya berasumsi Dia adalah Allah Atau mereka hanya ingin untuk berpikir Dia adalah Allah, John Dominic Crossan dan Seminar Yesus (kelompok pakar yang skeptis, yang memiliki prasangka menolak mujizat) adalah sebagian orang yang percaya Yesus didefinisikan salah.

Kendati buku seperti “The Da Vinci Code” berpendapat ke-Tuhan-an Yesus adalah doktrin gereja saja, bukti-bukti memperlihatkan sebaliknya (Lihat “Apa ada Konspirasi Da Vinci?”). Sebagian besar orang Kristen yang menerima Injil menekankan Yesus memang mengklaim diri-Nya sebagai Tuhan (Allah). Dan kepercayaan ini bisa ditelusuri kebelakang sampai pada pengikut Yesus di awalnya.

Tapi ada juga mereka yang menerima Yesus sebagai guru agung, tapi tidak bersedia menyebut-Nya sebagai Allah. Thomas Jefferson tidak mempersoalkan untuk menerima pengajaran Yesus atas moral dan etika tapi menolak ke-Tuhan-anNya.[7] Tapi seperti kami sudah katakan, dan akan dijelaskan kemudian, jika Yesus bukanlah seperti yang diklaim-Nya, maka kita harus mencari alternatif lain, yang tidak satupun akan membuat Dia jadi guru agung moral.

Bahkan membaca sekilas Injil akan mengungkapkan bahwa Yesus mengklaim lebih dari nabi seperti Musa atau Daniel. Tapi sifat dasar klaim-klaim itu jadi perhatian kita. Dua pertanyaan perlu diperhatikan.

Apakah Yesus mengklaim diriNya adalah Allah?
Ketika Dia katakan “Allah”, apakah Yesus benar-benar memaksudkannya Dia adalah Pencipta alam semesta seperti yang disebut oleh Kitab Suci Yahudi?[8]
Untuk menjawab kedua pertanyaan itu, kita perlu mempertimbangkan kata-kata Yesus di Matius 28:18, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi.” Apa yang dimaksudkan dengan Yesus telah “diberikan” kuasa?

Sebelum menjadi manusia, kita diberitahu bahwa Dia bersama-sama dengan Bapa, dan sebagai Allah, Dia punya semua kuasa. Namun Filipi 2:6-11 menceritakan kepada kita kendati Yesus telah ada dalam bentuk Allah, Dia “melepaskan” kekuasaan Allah untuk lahir jadi manusia. Namun bagian surat itu juga menyatakan kepada kita bahwa setelah kebangkitan, Yesus dipulihkan lagi dalam kemulian-Nya semula dan satu hari nanti “setiap lutut akan bertelut kepada-Nya dan menyebut Tuhan.” Jadi, apa yang dimaksud Yesus ketika Dia mengklaim memiliki seluruh kuasa di surga dan di bumi? Kekuasaan merupakan istilah yang dikenal baik di Israel, yang dijajah Romawi kala itu. Pada saat itu, Kaisar adalah kekuasaan tertinggi diseluruh Romawi. Keputusannya bisa langsung mengirim pasukan untuk berperang, menghukum penjahat, dan menetapkan hukum dan peraturan pemerintah.

Pada kenyataannya, kekuasaan Kaisar begitu besar sehingga dia sendiri mengklaim dirinya sama dengan Tuhan. Jadi, paling kecil kemungkinannya apabila Yesus mengklaim punya otoritas sama dengan Kaisar.

Tapi Dia tidak hanya mengatakan Dia punya kekuasaan lebih dari para pemimpin Yahudi atau penguasa Romawi; Yesus mengklaim memiliki otoritas (kuasa) tertinggi di alam semesta. Bagi mereka yang mendengar-Nya, itu berarti Dia adalah Allah. Bukan salah satu allah — tapi Allah.

Baik perkataan dan tindakan menegaskan fakta bahwa mereka benar-benar percaya Yesus adalah Allah

lanjutan > Apakah Yesus itu Allah? Apakah Yesus Mengklaim Sebagai Pencipta?


Tapi mungkin Yesus hanya merefleksikan otoritas Allah dan tidak menyatakan bahwa Dia adalah Pencipta. Sekilas dibaca kelihatannya tidak meyakinkan. Namun klaim Yesus memiliki seluruh kuasa akan masuk akal jika Dia adalah Pencipta alam semesta. Kata “seluruh” berarti segala sesuatu termasuk penciptaan itu sendiri. 

Ketika kita menggali lebih dalam kata-kata Yesus sendiri, sebuah pola mulai muncul. Yesus membuat penegasan tentang diri-Nya, tidak salah lagi merujuk pada ke-Tuhan-anNya. Inilah sebagian pernyatan yang dicatat oleh para saksi mata.

“Akulah kebangkitan dan hidup” (Yohanes 11:25)
“Akulah terang dunia.” (Yohanes 8:12)
“Aku dan Bapa adalah satu.” (Yohanes 10:30)
“Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir.” (Wahyu 22:13).
“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.” (Yohanes 14:6)
“Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6)
“Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” (Yohanes 14:9)
Sekali lagi, kita harus kembali kepada konteks. Dalam Kitab Suci Yahudi, ketika Musa bertanya kepada Allah nama-Nya di depan semak yang berapi, Allah menjawab, “AKU”. Dia mengatakan kepada Musa bahwa Dia adalah satu-satunya Pencipta, abadi dan ada disemua tempat.

Sejak zaman Musa, tidak ada satupun orang Yahudi yang berani menyebut dirinya atau orang lain dengan sebutan “AKU”. Karena itu, klaim Yesus sebagai “AKU” langsung membuat para pemimpin Yahudi sangat marah. Contohnya, beberapa pemimpin Yahudi menjelaskan kepada Yesus kenapa mereka mencoba membunuh-Nya, “karena Engkau menghujat Allah dan karena Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diri-Mu dengan Allah.” (Yohanes 10:33).

Tapi pada intinya bukan hanya kalimat-kalimat itu yang membuat para pemimpin agama marah. Pointnya adalah mereka tahu persis apa yang Dia katakan – Dia mengklaim diri-Nya sebagai Allah, Pencipta alam semesta. Hanya dengan klaim ini membawa pada tuduhan penghujatan. Membaca teks klaim Yesus bahwa Dia adalah Allah sudah sangat jelas, bukan hanya oleh kalimat-Nya, tapi juga oleh reaksi mereka yang mendengarnya.

Lanjutan > Apakah Yesus itu Allah? Allah Seperti Apa?


Ide bahwa kita semua bagian dari Allah dan didalam kita ada bibit ke-Tuhan-an, tidaklah bisa diterapkan bagi kata-kata dan tindakan Yesus. Pemikiran semacam itu berasal dari kaum revisionis, asing bagi pengajaran-Nya, asing bagi keyakinan yang dikatakanNya, dan asing bagi para murid-Nya yang mengerti pengajaran-Nya. 

Yesus mengajarkan Dia adalah Allah seperti yang dipahami orang Yahudi tentang Allah dan sama dengan Kitab Suci Yahudi gambarkan atas Allah, bukan seperti gerakan Abad Baru pahami mengenai Allah.

Yesus maupun para pendengarnya tidak pernah tahu tentang Star Wars, sehingga jika mereka berbicara tentang Allah, mereka tidak membicarakan kekuatan kosmis. Tapi jika Yesus bukan Allah, apakah kita bisa tetap menyebut-Nya sebagai guru agung moral? C. S. Lewis berargumen, ”Saya disini mencoba mencegah siapapun menyatakan hal bodoh yang sering dikatakan orang mengenai diri-Nya: ‘Saya siap menerima Yesus sebagai guru agung moral, tetapi saya tidak menerima klaimnya sebagai Allah.’ Hal ini tidak boleh dikatakan.”[9]

Dalam pencarian akan kebenaran, Lewis tahu bahwa dia tidak bisa mengambil dua jalan itu berkaitan dengan identitas Yesus. Benar, klaim Yesus bahwa Dia adalah Allah dalam daging atau klaim-Nya salah. Dan jika salah, Yesus bukanlah guru agung moral. Dia bisa dengan sengaja berbohong atau Dia hanyalah orang gila, yang menganggap diri-Nya Allah.

Tentusaja ada orangorang yang menerima Yesus sebagaigurubesar, namun bersedia untuk memanggil Dia Allah. Sebagai Deis kita lihat bahwa Thomas Jefferson tidak punya masalah menerima ajaran Yesus tentang moral dan etika, sementara ia menyangkal keilahian-Nya. [10]

Tapikita katakan, dan akanmengeksplorasi lebihlanjut, jika Yesus bukan siapa dia mengaku, makakita harus meneliti beberapa alternatif lain, tidak ada yangakan membuatnya seorang guru moral yangagung. Lewis, berpendapat, “Saya berusaha di sini untukmencegah orang darimengatakan halyang benarbenar bodoh bahwa orang seringberkata tentang Dia:”Saya siap menerima Yesus sebagai gurumoralyang agung, Burt saya tidak menerima klaimnya sebagaiAllah. ‘Itu adalah satu hal yang kita tidak harus mengatakan

Lanjutan > Apakah Yesus itu Allah? Apakah Yesus Pembohong?


Salah satu buku politik paling terkenal dan berpengaruh ditulis oleh Noccolo Machiavelli 1532. Dalam buku klasik, The Prince, Machiavelli menjelaskan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, sukses, dan efesiensi adalah melampaui kesetiaan, iman, dan kejujuran. Menurut Machiavelli, berbohong itu bagus jika untuk mencapai tujuan politik.

Mungkinkah Yesus Kristus membangun seluruh pelayanan-Nya berdasarkan kebohongan untuk memperoleh kekuasaan, kemaahuran, atau keberhasilan? Faktanya, orang Yahudi, musuh Yesus, secara konstan berusaha memperlihatkan Dia sebagai pembohong dan penipu. Mereka akan menyerang Dia dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjebakNya dan membuat Dia berkontradiksi dengan diriNya sendiri. Namun Yesus selalu menjawab dengan konsistensi yang mengagumkan.

Pertanyaan yang harus kita hadapi adalah, apa mungkin motivasi Yesus hidup seperti hidupNya adalah kebohongan? Dia mengajar Allah menentang kebohongan dan kemunafikan, jadi Dia tidak akan melakukan itu untuk menyenangkan Bapa-Nya. Dia pasti tidak berbohong demi keuntungan para pengikut-Nya. (seluruh murid kecuali satu orang mati terbunuh jadi martir.) Akhirnya kita tinggal punya dua kemungkinan penjelasan.

Lanjutan > Apakah Yesus itu Allah? Keuntungan


Banyak orang berbohong untuk memperoleh keuntungan pribadi. Faktanya, kebanyakan bohong dimotivasi oleh keuntungan pribadi. Apa yang Yesus harapkan dari berbohong atas identitasNya? Kekuasaan jadi jawaban paling mudah diperoleh. Jika rakyat percaya Dia adalah Allah, Dia bisa punya kekuasaan luar biasa besar. (Itulah sebabnya banyak pemimpin zaman dulu, seperti Kaisar, mengklaim punya asal usul ilahi.)

Jawaban atas penjelasan ini adalah Yesus menolak semua upaya untuk mendudukkan-Nya sebagai penguas la, lebih suka mengecam mereka yang menyalah-gunakan kekuasaan dan hidup untuk mengejar kekuasaan. Dia juga memilih untuk menjangkau orang yang terbuang (pelacur dan penderita lepra), mereka yang tidak punya kekuasaan, dan menciptakan jaringan dari orang-orang yang pengaruhnya kurang dari nol. Bisa digambarkan sebagai aneh, semua yang Yesus lakukan dan katakan bergerak menjauhi kekuasaan.

Kelihatannya, jika kekuasaan jadi motivasi Yesus, Dia akan menghindari salib dengan segala cara. Namun, dalam beberapa kesempatan, Dia mengatakan kepada para murid-Nya bahwa salib adalah tujuan dan misinya. Bagaimana kematian di salib Romawi bisa memberikan kekuasaan kepada orang itu?

Kematian, tentu saja, membawa segalanya memasuki fokus yang tepat. Banyak orang martir mati karena perjuangan yang mereka percayai, tapi hanya sedikit orang mau mati untuk kebohongan yang sudah diketahui. Tentunya seluruh harapan Yesus untuk memperoleh keuntungan pribadi akan lenyap di kayu salib. Tapi, sampai pada napas terakhirnya, Dia tidak pernah mencabut klaim-Nya sebagai Anak Allah. Yesus menggunakan istilah “Anak Manusia” dan “Anak Allah” untuk mengidentifikasi sifat dasar sebagai manusia dan Allah.

Lanjutan >Apakah Yesus itu Allah? Warisan



Jadi jika Yesus berbohong bukan untuk keuntungan pribadi, mungkin klaim radikalnya dipalsukan untuk meninggalkan sebuah warisan. Tapi prospek dipukuli hancur-hancuran dan dipaku di salib dengan cepat akan menyurutkan siapapun yang paling antusias, untuk jadi bintang super masa depan.

Ada fakta lain yang sering timbul. Jika Yesus mencabut saja klaim sebagai Anak Allah, Dia tidak akan disalib (hukum). Karena klaim-Nya sebagai Allah dan ketidaksediaan untuk mencabutnya, yang membawanya ke salib.

Jika meneliti reputasi kredibilitas dan historis mengenai apa yang memotivasi Yesus untuk berbohong, seseorang harus menjelaskan bagaimana seorang tukang kayu dari desa miskin Yudea bisa mengantisipasi kejadian-kejadian yang akan mengangkat namanya jadi terkemuka di dunia. Bagaimana Dia tahu pesan-pesan-Nya akan bertahan (ada terus sampai sekarang)? Murid-murid Yesus sudah lari dan Petrus menyangkal Dia. Ini semua bukanlah sebuah formula untuk menanamkan warisan religius.

Apakah para sejarahwan percaya Yesus berbohong? Para ahli telah menyidik kalimat-kalimat Yesus dan kehidupanNya untuk melihat apakah ada bukti kejanggalan pada karakter moral-Nya. Pada kenyataannya, bahkan yang paling skeptispun kaget oleh kemurnian moral dan etika Yesus. Salah satu skeptis dan antagonis, John Stuart Mill (1806 – 73) menulis mengenai Yesus,

“Tentang kehidupan dan perkataan Yesus ada tanda orisinilitas personal dikombinasikan dengan kedalaman pengertian manusia jenius yang spesies kita bisa utarakan. Pada saat jenius terbesar (terhebat tak ada yang melebihi) dikombinasi dengan kualitas reformer moral terbesar dan martir untuk misi yang pernah hidup di bumi, agama tidak bisa dikatakan melakukan pilihan salah dalam memilih orang ini sebagai wakil ideal dan panduan bagi kemanusiaan.”[13]

Menurut sejarahwan Philip Schaff, tidak ada bukti dalam sejarah gereja atau sekuler, yang mencatat Yesus berbohong atas apapun. Schaff berargumen, bagaimana, atas nama logika, masuk akal, dan pengalaman, seorang penipu, egois, telah menciptakan dan secara konsisten dari awal mulai sampai akhir, dikenal sebagai karakter paling mulia dan murni dalam sejarah dengan aroma kebenaran sempurna dan realitas?[14]

Untuk tetap pada pilihan kebohongan, tampak seperti berenang melawan arus atas apa yang diajarkan dan dihidupi sampai matioleh Yesus. Bagi sebagian besar ahli, itu tidak masuk akal. Kendati begitu, untuk menolak klaim Yesus, seseorang harus mengajukan penjelasan. Dan jika klaim Yesus tidak benar dan Dia tidak berbohong, satu-satunya pilihan tersisa adalah Dia membohongi diri-Nya sendiri.

Lanjutan > Apakah Yesus itu Allah? YESUS KOMPLEKS:


lbert Schweitzer, penerima Nobel Prize 1952 karena upaya-upaya kemanusiannya, punya pandangan sendiri tentang Yesus. Schweitzer menyimpulkan bahwa kegilaan ada dibelakang klaim Yesus bahwa Dia adalah Allah. Dalam kata lain, Yesus salah atas klaim-Nya tapi tidak secara sengaja berbohong. Menurut teori ini, Yesus disesatkan sedemikian rupa hingga Dia percaya Dialah Mesias.

C. S. Lewis mempertimbangkan pilihan ini dengan hati-hati. Lewis mendeduktif klaim Yesus – seakan-akan tidak benar. Dia mengatakan seseorang yang mengklaim sebagai Allah tidak mungkin jadi guru agung moralitas.

Bahkan mereka yang paling skeptis terhadap kekristenan sangat jarang mempertanyakan kesadaran Yesus. Reformis sosial William Channing (1780–1842), mengaku bukan orang Kristen, melakukan pengamatan terhadap Yesus,”Tuduhan secara berlebihan, secara antusias membohongi-diri adalah yang paling akhir bisa dikatakan tentang Yesus.” Dimana kita bisa temukan jejak itu dalam sejarah? Apakah kita bisa mendeteksinya dalam pemikiran-Nya? persepsi-Nya?

Meski kehidupannya dipenuhi oleh imoralitas dan skeptisme personal, filsuf terkemuka Perancis, Jean-Jacques Rousseau (1712 -78) mengakui superioritas karakter dan pemikiran Yesus. “Ketika Plato menggambarkan manusia kebenaran manussia, imajinasinya, dipenuhi oleh hukuman akan kesalahan, tetapi tetap berhak atas ganjaran keutamaan (kebijaksanaan) tertinggi. Dia dengan tepat menggambarkan karakter Kristus. … Pemikiran yang luar biasa. … Ya, jika kehidupan dan kematian Socrates adalah filsuf, kehidupan dan kematian Yesus Kristus adalah Allah.”[15]

Schaff melontarkan pertanyaan yang harus kita tanyakan kepada diri kita sendiri,

” Apa ada kepintaran pada tingkat itu — sepenuhnya sehat dan bersemangat, selalu siap dan selalu percaya diri — menyerahkan diri secara radikal dan sangat serius kepada khayalan berkaitan dengan karakter dan misinya sendiri?”[16]

Jadi, apakah Yesus seorang pembohong, gila, atau Dia adalah Anak Allah? Dapatkah Jefferson benar ketika menjuluki Yesus “hanya guru moral yang bagus” dan pada saat yang sama menolak ke-Tuhan-anNya? Menariknya, para pendengar Yesus — mereka yang percaya dan musuh-musuhNya — tidak pernah memandang Dia hanya sebagai guru moral. Yesus menghasilkan tiga dampak utama bagi orang yang bertemu denganNya: kebencian, ketakutan, atau penyembahan (pemujaan).

Dan sekarang, dua ribu tahun kemudian, Yesus masih tetap pribadi yang membelah dunia kita. Bukan moral, etika, atau warisanNya yang membakar gairah. Pesan yang dibawa Yesus kepada dunia adalah Allah menciptakan kita dengan tujuan dan tujuan itu ada pada Anak-Nya.

 Klaim Yesus Kristus memaksa kita untuk memilih. Seperti dikatakan Lewis, kita tidak bisa mengkategorikan Yesus hanya sebagai pemimpin besar agama atau guru moral yang baik. Mantan pengajar Oxford dan skeptis menantang kita mengambil keputusan sendiri mengenai Yesus,

“Anda harus mengambil keputusan sendiri. Apa orang ini adalah Anak Allah atau orang gila atau yang lebih buruk lagi. Anda bisa menyebut-Nya bodoh, anda meludahi-Nya dan membunuh-Nya sebagai setan atau Anda bisa jatuh didepan kaki-Nya dan memanggil-Nya Tuhan dan Allah. Tetapi kita tidak bisa menyatakan hal yang tidak masuk akal dengan menyebutnya sebagai guru yang agung dan manusia. Dia tidak menyediakan (pandangan itu) terbuka untuk kita. Dia tidak menghendakinya.”[17]

Dalam tulisan “Kekristenan Biasa”, Lewis menjelaskan kenapa dia menyimpulkan Yesus Kristus persis sama dengan klaimNya. Dia secara hati-hati meneliti kehidupan dan perkataan Yesus. Hal ini membawa penulis jenius ini membuang ateismenya dan jadi orang Kristen yang sungguh-sungguh.

Apakah Yesus Benar-Benar Bangkit Dari Kematian?
Pertanyaan terbesar masa kini adalah, “Siapa sebenarnya Yesus Kristus? Apakah dia hanya seorang luar biasa, atau dia Allah dalam daging, seperti dipercayai oleh para muridNya Paulus, Johannes, dan yang lainnya? (Lihat “Apakah Para Rasul Percaay Yesus adalah Allah?”)

Para saksi mata, bagi Yesus Kristus, berbicara dan bertindak sepertinya mereka percaya Dia bangkit secara fisik dari kematian setelah penyalibannya. Jika mereka salah maka KeKristenan didirikan diatas kebohongan. Tapi jika mereka benar, mujizat seperti itu secara memperkuat semua yang Yesus katakan mengenai Allah, diri-Nya, dan kita.

Tapi apakah kita percaya pada kebangkitan Yesus hanya dengan iman saja, tapi apakah ada bukti historis yang kuat? Beberapa ahli skeptis mulai meneliti catatan historis untuk membuktikan bahwa catatan kebangkitan itu salah. Apa yang mereka temukan?

Minggu, 18 Desember 2011

Pemerintah Kita Suspect Islamofobia!



Oleh: Ahmad Arif Ginting

PEKAN silam, sebuah media memberitakan, pengelola dan pengunjung sejumlah toko-toko buku di Tanjungbalai Karimun, Rabu (19/10/2011) sekitar pukul 14:30 WIB dibuat kaget dengan kedatangan Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Tanjungbalai Karimun, Hanjaya Candra SH beserta beberapa orang anggotanya.

Hanjaya dan orang-orangnya melakukan inspeksi mendadak (sidak) terkait peredaran 9 judul buku terlarang di toko-toko buku tersebut. Sidak tersebut diantaranya dilakukan di Toko Buku Salemba depan kantor Imigrasi, Kolong, TB Bintaro samping Swalayan Indo A Yani, Jack Agency depan BNI, TB Al Kautsar Pasar Sri Karimun.

Hanjaya Candra SH, Kasi Intel Kejari Tanjungbalai Karimun kepada wartawan mengatakan ada 9 judul buku yang dicekal peredarannya di Indonesia termasuk di Kabupaten Karimun oleh Jaksa Muda Intelijen (Jamintel) Kejagung RI. Hal itu dikarenakan isi buku tersebut dinilai beraliran keras dan menyimpang dari ajaran agama tertentu.

Selain itu, buku tersebut dikhawatirkan akan cenderung menciptakan bentuk-bentuk pemikiran terorisme bagi pembacanya. "Kesembilan judul buku tersebut dikhawatirkan membuat pembacanya terprovokasi mengikuti teori-teori yang dipaparkan," kata Hanjaya Candra usai sidak.

Daftar Buku Dalam Pengawasan Kejari:

1. Tafsir Fi Zhilalil Quran Jilid 2 karangan Sayyid Quthb, Diterjemahkan oleh As'ad Yasin-Muahotob Hamzah, Terbitan Gema Insani Depok-Jakarta 2001.

2. Loyalitas dan Anti Loyalitas dalam Islam karangan Muhammad bin Sa'id Al Qathani diterjemahkan oleh Salahudin bin Abu Sayid terbitan PT Era Adi Citra Intermedia-Solo 2009.

3. Ikrar Perjuangan Islam karangan Dr. Najih Ibrahim diterjemahkan oleh Abu Ayub Ansyori terbitan Pustaka Al Alaq dan Al Qowam-Solo 2009

4. Khilafah Islamiyah-Suatu Realita bukan Khayalan karangan Prof Dr. Syeikh Yusuf Al Qaradawi diterjemahkan oleh Ahmad Nuryadi, terbitan PT Fikahati Aneka-Jakarta 2000.

5. Kado Istimewa untuk Sang Mujahid karangan Syakh Dr Abdullah Azzam, diterjemahkan oleh Abdul Fattan Al Bourie, terbitan PT Pustaka Al Alaq-Solo 2008.

6. Catatan dari Penjara - Untuk Mengamalkan dan Menegakan Dinul Islam karangan Abu Bakar Ba'asyir, terbitan Mushaf, Depok Jawa Barat, 2008.

7. Bagaimana Membangun Kembali Negara Khilafah karangan Syabab Hizbut Tahrir Inggris, diterjemahkan oleh M Ramdhan Adi, terbitan Pustaka Thariqul Izzah, Bogor 2008.

8. Syariat Islam-Solusi Universal karangan Prof Wahbah Az Zuhali, diterjemahkan oleh Ridwan Yahya LC, terbitan Pustaka Nawaitu, Jakarta Timur 2004.

9. Visi Politik Gerakan Jihad karangan Hazim Al Madanidan Abu Mus'ab As Suri, diterjemahkan oleh Luqman Hakim Lc dan Umarul Faruq Lc, terbitan Jazera, Solo 2010.

Suspect Islamofobia

Keputusan Kejaksaan Agung yang memutuskan pelarangan buku Sayyid Quthb tentu mengagetkan kita. Kebijakan Pemerintah ini sudah di luar akal sehat alias ngawur. Sebab, bukankah tema syariah, jihad dan khilafah sudah lama termaktub dalam kitab-kitab para ulama sejak dulu, bahkan biasa menjadi rujukan para santri di pesantren-pesantren; sementara kasus-kasus terorisme baru balakang saja muncul?

Kalau memang buku-buku tersebut dianggap mendorong orang melakukan tindak terorisme, mengapa aksi-aksi terror tersebut baru belakangan terjadi, tidak sejak puluhan atau ratusan tahun lalu sejak kitab-kitab yang membahas tema-tema tersebut ditulis para ulama? Lagipula, dalam kitab-kitab tafsir mu’tabar—yang tentu menguraikan langsung makna-makna al-Quran—ketiga istilah tersebut bukan istilah asing.

Buku-buku Sayyid Quthb sudah beredar sejak tahun 80-an. Namun sampai hari ini, tak ada ulama dunia mana pun keberatan, apalagi menganjurkan pelarangan. Apalagi mencaci-maki. Jika ada yang salah, pasti sejak dahulu ulama sudah melarangnya.

Bahkan, sejak tahun 80-an buku-buku Sayyid Quthb bisa diperoleh secara bebas di Arab Saudi. Apakah saat itu, banyak ulama besar kita yang tak mengerti bahasa Arab?

Jika benar-benar Pemerintah melakukan pengawasan dan pelarangan terhadap buku-buku Islam, umat Islam akan mudah menyimpulkan bahwa Pemerintahan ini benar-benar sedang memusuhi mereka. Dengan kata lain, pemerintahan Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini telah menjadi suspect (penderita) islamofobia yang jelas-jelas lebih berbahaya dan mematikan dari pada flu burung. Bahkan flu babi atau antrax sekali pun.

Istilah islamofobia merujuk pada suatu ketakutan atau sikap anti terhadap Islam. Istilah ini sebenarnya sudah cukup lama muncul. Menurut Dr. Abduljalil Sajid, Chairman Muslim Council for Religious and Racial Harmony UK, istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1991 dan didefinisikan oleh Runnymede Trust pada tahun 1997 dalam laporannya yang bertajuk “Islamophobia is a challenge to us all”.

Sedangkan menurut Sekjen PBB tahun 1997-2006, Kofi Annan, istilah islamofobia sudah ada sejak akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an. Namun istilah ini semakin populer setelah peristiwa konspirasi 11 September 2001. Sejak peristiwa WTC itu, citra Islam menjadi negatif yang digambarkan sebagai agama teroris dan radikal di mata dunia internasional.

Terorisme dan UU Intelijen

Pencekalan buku di atas merupakan bagian sistematis dari upaya deradikaliasi keberislaman muslim Indonesia yang dilakukan oleh BNPT (Badan Nasional Penganggulangan Terorisme) terkait dengan isu terorisme dan radikalisme.

Dan, ini bukanlah yang pertama. Wakil Presiden Jusuf Kalla, dalam wawancara dengan sebuah majalah berita mingguan meminta aparat intelijen meneliti buku-buku karya cendekiawan Muslim Sayyid Quthb dan Hasan Al-Banna. Hal itu pula yang diusulkan oleh mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), AM Hendropriyono. Sementara Departemen Agama membentuk Tim Penanggulangan Terorisme (TPT) untuk mengkaji makna “jihad” .

Bahkan, yang lebih mengherankan lagi, saat banyak kaum Muslim dipersalahkan atas kasus terorisme, mantan Panglima Laskar Jihad Ja'far Umar Thalib justru mengusulkan pelarangan buku-buku Sayyid Quthb. Dalam sebuah wawancara dengan stasiun TV swasta, Ja’far juga menyerukan agar dalam menangani kasus terorisme, pemerintah tidak saja mulai memberangus paham-paham radikal dan terorisme dengan cara represif, tapi juga pemerintah didesak untuk mengawasi, bahkan melarang peredaran buku-buku berideologi radikal, serta pengawasan terhadap halaqoh (pengajian kelompok kecil).

Saat ditanya, apakah semua pembaca dan pemilik buku Das Capital dan Marxisme mesti menjadi komunis atau PKI dan buku-bukunya harus dilarang? Ia hanya menjawab, “Ya, tetapi banyak orang yang sudah teracuni dengan buku-buku Sayyid Quthb,“ ujarnya (hidayatullah.com, 16/10/2009).

Sebelumnya lagi, Harian Republika, Jumat (27/11/2005), hal. 20, memuat berita berjudul: “Depag Kaji Buku Jihad Radikal”. Dalam berita ini tertulis: “Terkait dengan rencana pelarangan buku-buku tentang jihad, menyusul munculnya aksi terorisme berkedok perjuangan suci Islam, Departemen Agama (Depag) RI, saat ini terus melakukan kajian mendalam terhadap buku-buku yang telah beredar.”

Menyikapi berita tersebut, dalam CAP (Catatan Akhir Pekan)nya, Dr. Adian Husaini menegaskan, pernyataan Sekjen Depag itu hanyalah sebagian dari rangkaian besar gelombang penyebaran opini melalui media massa yang mengkaitkan masalah terorisme dengan radikalisme. Bahwa, terorisme yang dilakukan oleh kelompok Azahari dan kawan-kawan adalah buah dari pemahaman radikalisme Islam. Karena itu, untuk mencegah terorisme, ajaran radikalisme harus dilarang. Itulah logika yang selama ini mencoba hendak dibangun (hidayatullah.com, 28/11/2005)

Sejatinya deradikalisasi adalah lawan dari radikalisasi yang selama ini dianggap sebagai biang munculnya aksi-aksi terorisme. Pertanyaannya: siapa yang melakukan—termasuk yang mendorong—aksi radikalisasi selama ini?

Terkait dengan itu, “Bom Solo” sebagai kasus paling mutakhir dalam fragmen terorisme di Tanah Air, misalnya, mau tidak mau memaksa umat Islam untuk mempertanyakan kembali paling tidak dua hal. Pertama: dari aspek politik, sejauh mana kasus-kasus tindakan terorisme itu murni dilakukan oleh pelaku ataukah memang ada rekayasa intelijen, terutama dikaitkan dengan upaya ‘radikalisasi’ dengan target memojokkan kelompok-kelompok Islam.

Maklum, kemungkinan tersebut sering dimunculkan oleh sebagian tokoh Muslim dikaitkan dengan agenda global Amerika Serikat: War on Terrorisme (WOT). Dalam kasus “Bom Solo’, indikasi adanya ‘radikalisasi’ pihak luar ini tampak ‘nyata’. Paling tidak karena pelakunya sudah diketahui oleh aparat/pemerintah (ingat pidato SBY sesaat setelah ‘Bom Solo’ meledak) sebagai ‘Jaringan Cirebon’, padahal belum dilakukan penyelidikan.

Artinya, di sini kemungkinan aksi teror sudah diketahui sebelumnya, tetapi kemudian seolah-olah terjadi pembiaran agar taget ‘radikalisasi’ tercapai. Tujuannya, salah satunya, terkait dengan kepentingan Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Intelijen. Artinya, Pemerintah sepertinya memerlukan legitimasi lebih untuk mengesahkan RUU tersebut. ‘Radikalisasi’ adalah salah satu pintu yang bisa dimasuki. Terbukti, RUU Intelijen segera disahkan menjadi UU tidak lama setelah kasus ‘Bom Solo’.

Proyek Deradikalisasi

Jika Pemerintah—dalam hal ini diwakili oleh BNPT—tetap memaksakan proyek deradikalisasi, selain pasti akan menunai kegagalan, juga amat berbahaya. Boleh jadi proyek tersebut semakin menambah kebencian baru dan lebih luas dari kaum Muslim yang merasa terusik dengan proyek ini karena nyata-nyata sarat dengan upaya menyimpangkan Islam.

Pada gilirannya proyek deradikalisasi malah bisa memicu perlawanan yang lebih luas dari kaum Muslim, yang tentu tidak kita harapkan. Sebab, jika itu yang terjadi, jelas bukan hanya kontraproduktif, tetapi bisa memunculkan konflik antara umat Islam dan Pemerintah. Ini jelas bisa lebih berbahaya daripada terorisme itu sendiri.

Yang harusnya dilakukan, pertama, seharusnya Pemerintah tidak terus-menerus ikut permainan politik Amerika Serikat atas nama War on Terrorism. Sebab, faktanya perang melawan terorisme yang dikomandani Amerika Serikat terbukti justru memunculkan aksi-aksi teror baru. Sebab, sejak awal Perang Melawan Terorisme adalah ilegal karena didasarkan pada sebuah kebohongan, baik terkait Peristiwa 11 September yang hingga kini masih dipertanyakan keabsahan pelakunya (apakah benar-benar al-Qaidah) maupun terkait senjata pemusnah massal di Iraq yang menjadi cikal-bakal Amerika Serikat memulai serangan dan pendudukan atas negeri tersebut, juga atas Afganistan.

Kedua, seharusnya Pemerintah memahami keinginan rakyat yang sudah terlalu muak dengan berbagai kondisi yang bobrok yang menimpa bangsa dan negara ini. Maraknya kasus korupsi, perampokan sumberdaya milik rakyat oleh pihak asing, terjadinya banyak kasus amoral (perzinaan, perselingkuhan, pemerkosaan), kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan kesehatan mahal, dan lain sebagainya adalah faktor-faktor yang nyata-nyata menimbulkan frustasi sosial yang bisa berujung pada tindakan radikal dari sebagian kelompok masyarakat.

Sebagai penutup, perlu ditegaskan, dari pada mencekal peredaran buku-buku keislaman yang akan memantik kebencian mayoritas penduduk negeri ini, lebih baik mencekal para politisi busuk, koruptor binal, pejabat nakal dan yang sejenisnya dari panggung perpolitikan nasional. Sehingga, orang kebanyakan mampu merasakan bahwa hidup itu memang indah, seindah panorama di negeri zamrud khatulistiwa ini.

Bila kedua hal tersebut diabaikan, maka jangan pernah rutuki jika suatu saat nanti negeri ini berada di tepi jurang kekufuran besar-besaran. Bukankah Baginda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah menegaskan sejak 15 abad silam, betapa kemiskinan itu seringkali menyebabkan kekafiran; kada al faqru an yakuna kufran?! Walalhu a’lam bi shawab.

Penulis adalah peminat kajian sosial keagamaan, alumni Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Sumber: hidayatullah.com

Ba'asyir: Mencekal Buku Islam, Bukti Pemerintah SBY Memerangi Islam



JAKARTA (voa-islam.com) – Pencekalan Kejaksaan Agung RI terhadap sembilan buku Islam, termasuk buku Tafsir Al-Qur'an, dinilai sebagai tindakan represif yang menghalangi pencerdasan umat. Pemerintah dituding melakukan peperangan ilmiah terhadap umat Islam.
Jaksa Muda Intelijen (Jamintel) Kejagung RI mencekal 9 judul buku Islam yang dinilai beraliran keras dan menyimpang dari ajaran agama Islam. Buku-buku tersebut dituding menciptakan bentuk-bentuk pemikiran terorisme bagi pembacanya. Buntut pencekalan tersebut, Kejaksaan Negeri Tanjungbalai Karimun melakukan inspeksi mendadak (sidak) di sejumlah toko buku di Tanjungbalai Karimun, Rabu (19/10/2011) sekitar pukul 14:30 WIB. Sidak yang dilakukan tersebut terkait peredaran sembilan judul buku Islam yang dianggapnya terlarang.

Di antara sembilan buku yang dicekal Kejagung itu termasuk buku berjudul "Catatan dari Penjara: Untuk Mengamalkan dan Menegakkan Dinul Islam" terbitan Mushaf, Depok Jawa Barat, 2008. Buku setebal 291 halaman ini ditulis oleh Ustadz Abu Bakar Ba'asyir dari dalam penjara Cipinang, berisi rangkuman materi pengajaran Islam yang telah bertahun-tahun disampaikannya di berbagai tempat, baik di dalam maupun luar negeri.

Dalam buku yang dilengkapi dengan biografi singkat Ustadz Abu ini, pembaca bisa menilai secara objektif, bagaimana sebenarnya pemahaman Islam Abu Bakar Ba'asyir; apakah Abu Bakar Ba'asyir mengajarkan kekerasan dan terorisme; apakah ia merestui pemboman yang dilakukan di Indonesia?

Menanggapi pencekalan terhadap buku dakwah yang ditulisnya, Ustadz Abu mengecam pemerintah sebagai penguasa zalim yang memusuhi Islam. Karenanya, umat Islam harus melakukan perlawanan terhadap kezaliman penguasa yang mencekal buku Islam itu.
"Itu harus dilawan! ini bukti bahwa pemerintah Yudhoyono berpihak kepada musuh Islam untuk memerangi Islam. Ini bukti bahwa pemerintah Yudhoyono di pihak kafir untuk memerangi Islam," tegasnya saat ditemui di sel Bareskrim Mabes Polri, Jum'at pagi (28/10/2011).

Ustadz Abu mengkhawatirkan, jika sekarang buku-buku seperti Tafsir Al-Qur'an dilarang, maka bisa jadi suatu saat kitab suci Al-Qur'an pun akan dilarang. Untuk itu, ia mengimbau para muballigh dan ulama agar berani melawan atas pelarangan buku-buku tersebut.

"Kalau buku-buku itu dilarang, lama-lama membaca Al-Qur'an pun dilarang. Jadi muballigh-muballigh dan ulama harus berani melawan mengenai pelarangan buku itu. Itu satu bukti konkret bahwa thaghut Yudhoyono mempunyai niat untuk memerangi Islam, membantu orang-orang kafir, orang-orang Amerika," tutupnya.

Senada itu, Direktur JAT Media Center (JMC) Ustadz Son Hadi mempertanyakan atas dasar apa pencekalan buku-buku tersebut. Pencekalan ini akan sangat berbahaya jika terus berlangsung.

"Apa dasar pencekalan itu? kan sudah tidak zamannya lagi cekal-mencekal. Mestinya kalau ada yang salah dari buku itu dibedah, diurai, apa sebenarnya yang menjadi masalah. Ini menunjukkan bahwa tindakan represif intelektual sudah dimulai, dan kalau ini dimulai makan akan menjadi sesuatu yang sangat berbahaya. Kalau sampai pemikiran-pemikiran ini dibatasi lantas pencerdasan apa yang akan diberikan kepada umat," jelasnya kepada voa-islam.com, Jum'at (28/10/2011).

Menurut Son Hadi, jika pencekalan ini merupakan bagian dari pelaksanaan UU Intelijen yang baru saja disahkan, maka negeri ini berada dalam bahaya. Karena pencekalan terhadap upaya pencerdasan umat berarti pembodohan suatu bangsa. "Buku itu merupakan sarana pencerdasan. Apakah ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Intelijen? Kalau memang benar, betapa berbahaya negeri ini ketika karya-karya intelektual, pokok-pokok pemikiran yang berkenaan dengan khazanah keislaman itu dibatasi," ujarnya.

Son Hadi menuding, tindakan pemerintah yang represif terhadap buku-buku ilmiah, sebagai kekejaman yang lebih berbahaya daripada rezim represif Orde Baru. "Nantinya akan terjadi suatu pembodohan yang luar biasa, dan inilah rezim yang amat sangat represif. Ini membahayakan karya-karya intelektual yang lebih kejam daripada orde Baru!" imbuh Son Hadi. [taz/ahmed widad]

Sumber: voiceofal-islam

Seputar Hari Lahir dan Penggali Pancasila



Oleh: Dr. Adian Husaini

PADA 1 Juni 2011 lalu, bertempat di Gedung MPR-RI, dilaksanakanlah peringatan Hari Lahir Pancasila. Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono hadir. Dua mantan Presiden, BJ Habibie dan Megawati, juga hadir. Acara itu merupakan prakarsa Ketua MPR RI, Taufik Kiemas, yang tak lain adalah suami Megawati Soekarnoputri. Mereka semua berpidato tentang Pancasila. Intinya, menjelaskan kehebatan Pancasila dan perlunya bangsa Indonesia menegaskan komitmen dan kesetiaannya terhadap Pancasila.

Mengapa tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari kelahiran Pancasila. Apa yang terjadi pada tanggal itu?

Alkisah, pada tanggal 1 Juni 1945, untuk pertama kalinya, istilah “Pancasila” disebutkan oleh Soekarno (Bung Karno) dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Pada hari itu, di forum BPUPK, Bung Karno mengusulkan rumusan dasar Negara Negara, yang terdiri atas lima sila: (1) Kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan (3) Mufakat atau demokrasi (4) Kesejahteraan Sosial (5) Ketuhanan.

Benarkah Bung Karno adalah orang pertama yang merumuskan Pancasila? Ternyata tidak! Tiga hari sebelum pidato Bung Karno itu, pada 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin sudah terlebih dahulu menyampaikan pidatonya yang juga mengandung usulan lima dasar bagi Indonesia merdeka, yaitu (1) peri kebangsaan (2) peri kemanusiaan (3) peri-Ketuhanan (4) peri kerakyatan dan (5) kesejahteraan rakyat.



Tidak ada perbedaan fundamental antara lima asas Yamin dengan lima dasar Soekarno. Panjang naskah pidatonya pun sama, yaitu 20 halaman. Karena itulah, B.J. Boland dalam bukunya, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), menyimpulkan bahwa “The Pancasila was in fact a creation of Yamin and not Soekarno’s.” (Pancasila faktanya adalah karya Yamin dan bukan karya Soekarno).

Bahkan, tentang nama Pancasila sendiri, diakui oleh Soekarno ia mengkonsultasikan nama itu kepada seorang ahli bahasa, yang tidak lain adalah Muhammad Yamin. Dalam buku Sejarah Lahirnya Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila (Inti Idayu Press, 1984) disebutkan, bahwa Soekarno pada tahun 1966 mengakui, kata “sila” adalah sumbangan Yamin, sedangkan kata “Panca” berasal dari dirinya. (Lihat, Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: GIP, 1997),hal. 18-19). Juga, Restu Gunawan, Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005), hal. 48-50).

Juga, sebagai catatan, soal penggali Pancasila sebenarnya hingga kini masih menyisakan perdebatan. Dalam rapat-rapat BPUPK, sebenarnya ada sekitar 30 anggota yang berbicara, termasuk Mohammad Hatta. Anehnya, hanya pidato 3 orang saja yang dimasukkan ke dalam buku Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-undang Dasar Jilid I. Notulen rapat BPUPK semula dipegang oleh RP Suroso, lalu dipimjam oleh Adinegoro. Selanjutnya Muhammad Yamin meminjam dari Adinegoro dengan alasan akan diterbitkan, untuk itu perlu diedit. Sampai meninggalnya Yamin, naskah notulen tersebut tidak pernah muncul, sementara yang beredar di masyarakat adalah bukunya Yamin, yang hanya memuat pidato 3 orang saja. Bung Hatta pernah mengaku sangat kecewa dengan hilangnya notulen BPUPK tersebut.

Jadi, peringatan kelahiran Pancasila pada 1 Juni dan menyandarkannya pada Bung Karno, masih perlu penelaahan sejarah yang lebih serius. Bukti-bukti sejarah jutru menunjukkan, bahwa rumusan Pancasila resmi saat ini, sebenarnya lahir pada 18 Agustus 1945. Oleh sebab itu, lebih tepat jika hari lahir pancasila disebut tanggal 18 Agustus 1945. Tanggal 1 Juni adalah peringatan Pidato Bung Karno tentang Pancasila, dan bukan Hari Lahir Pancasila.

Sebelum rumusan resmi 18 Agustus 1945, sudah ada rumusan resmi Pancasila yang disepakati dalam BPUPK, yaitu rumusan Piagam Pancasila versi Piagam Jakarta (Pembukaan UUD 1945). Bedanya, hanya terletak pada rumusan tujuh kata pada sila pertama, yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Karya bersama

Jadi, Pancasila sebenarnya bukanlah rumusan seorang Bung Karno sendirian. Pancasila saat ini adalah kesil kesepakatan tokoh-tokoh bangsa yang memiliki berbagai aspirasi ideologis, termasuk para tokoh Islam yang tergabung dalam Panitia Sembilan di BPUPK, yaitu KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Abdul Kahar Muzakkir.

Tokoh Masyumi, Mr. Mohamad Roem pernah mengingatkan kekeliruan pengkultusan seseorang dalam soal perumusan dan pemaknaan Pancasila. Di masa Orde Lama (1959-1965), pemikiran Soekarno banyak dijadikan sebagai tafsir baku terhadap Pancasila. Soekarno ditempatkan sebagai penafsir tunggal atas Pancasila. Padahal, menurut Mr. Mohamad Roem, Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, bukan lagi merupakan pikiran Soekarno semata. Ia telah merupakan buah pemikiran para anggota BPUPK, khususnya yang tergabung dalam Panitia Kecil (Panitia Sembilan).

Mr. Mohamad Roem, dalam orasi ilmiah saat Dies Natalis Universitas Islam Sumatera Utara, Januari 1969, mengingatkan, bahwa dalam pidatonya di BPUPK, Soekarno sendiri yang berkata bahwa: “Pertama-tama Saudara, apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang?” Mohamad Roem kemudian menyatakan: “Pengetahuan bahwa Pancasila itu kata sepakat dari karya 62 orang “de beste zonen van het land” lebih menimbulkan rasa kepercayaan daripada anggapan yang di masa Orde Lama diindoktrinasikan, bahwa Pancasila hanya dikerjakan oleh satu orang saja. Dan kata sepakat itu dicapai dengan jalan yang sulit. Pertukaran pikiran berlangsung berhari-hari, kadang-kadang tegang. Tetapi senantiasa dalam suasana perdamaian, dengan penuh keikhlasan, didorong oleh kesadaran bahwa dalam saat yang bersejarah itu, mereka harus mendapatkan dasar bagi negara yang akan merdeka, yang tahan uji berabad-abad akan datang.” (Dikutip dari makalah Mohamad Roem, Lahirnya Pancasila, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977)..

Dalam buku berjudul Pantjasila Dasar Filsafat Negara oleh Bung Karno, dimuat pidato-pidato Bung Karno saat memberikan kursus/kuliah umum tentang Pancasila di Istana Negara Jakarta dan di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Kursus-kursus itu diselenggarakan oleh satu lembaga bernama “Liga Pancasila”. Dalam pidatonya, Soekarno antara lain menyatakan:

“Saya gali sampai jaman Hindu dan pra-Hindu. Masyarakat Indonesia ini boleh saya gambarkan dengan saf-safan. Saf ini di atas saf itu, di atas saf itu saf lagi. Saya melihat macam-macam saf. Saf pra-Hindu, yang pada waktu itu telah bangsa yang berkultur dan bercita-cita. Berkultur sudah, beragama sudah, hanya agamanya lain dengan agama sekarang, bercita-cita sudah. Jangan kira bahwa kita pada jaman pra-Hindu adalah bangsa yang biadab… Jadi, empat saf, saf pra-Hindu, saf Hindu, saf Islam, saf imperialis, menembus jaman Islam, menembus jaman Hindu, masuk ke dalam jaman pra-Hindu.”

(Soekarno, Pantjasila Dasar Filsafat Negara, (Djakarta: Jajasan Empu Tantular, 1960),

Jika benar, bahwa Pancasila digali dari zaman pra-Hindu, dan bukan berasal dari zaman Hindu, Islam, atau era penjajah Barat maka, tentunya bisa dipertanyakan, bagaimana dengan aspirasi para tokoh Islam pada perumusan Piagam Jakarta – yang di dalamnya memuat naskah Pancasila -- pada Sidang BPUPK tahun 1945? Apakah benar, konsep itu murni hanya digali dari zaman pra-Hindu? Tentu saja pemahaman semacam ini tidak mudah dibuktikan kebenarannya dan lebih merupakan sebuah dogma. Sebab, kehebatan peradaban zaman pra-Hindu di Indonesia sendiri tidak mudah dibuktikan secara ilmiah. Pada 1 Juni 1945, Soekarno memang mengajukan rumusan Pancasila. Tapi, Pancasila rumusan Soekarno dan rumusan lainnya kemudian dirembukkan dalam rapat-rapat Panitia Sembilan BPUPK, dan kemudian keluarlah rumusan Pancasila yang berbeda dengan rumusan versi Soekarno.

Soal kemanusiaan, misalnya, sudah mengalami perubahan mendasar, dengan penambahan kata ”adil” dan ”beradab”. Kerakyatan juga dipimpin oleh ”hikmah”, bukan oleh suara terbanyak. Istilah ”adil”, ”adab” dan ”hikmah”, jelas bukan produk asli Indonesia. Bisa dipastikan, di bumi Indonesia tidak dikenal istilah dan konsep ”adil”, sebelum masuknya Islam ke bumi Nusantara ini. Kaum Muslim memahami istilah ”adil” sebagai ”meletakkan sesuatu pada tempatnya” sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Sebelum kedatangan Islam, di Jawa sudah berkembang agama Bhairawa Tantra yang diantara ritualnya adalah menyembelih dan meminum darah wanita secara berjamaah. Apakah ini juga produk asli Indonesia? Apakah budaya koteka juga produk asli Indonesia?

Teori “lapis budaya” yang dikemukakan oleh Soekarno juga pernah diungkap oleh Pendeta Dr. Eka Darmaputera, dalam disertasi doktornya yang berjudul Pancasila and the Search for Identity and Modernity, di Ph.D. Joint Graduate Program Boston and Andover Newton Theological School, tahun 1982. Eka menyebutkan adanya tiga lapisan budaya di Indonesia, yaitu asli, India, dan Islam. Tentang lapisan asli Indoenesia, Eka menyimpulkan:

“Lapisan asli Indonesia merupakan sesuatu yang amat sulit, bila tidak dapat dikatakan mustahil, untuk dijabarkan dengan lengkap dan pasti. Kesepakatan yang ada ialah, bahwa sebelum datangnya peradaban India ke Indonesia, ia telah mencapai tingkat kebudayaan yang relatif tinggi dan berakar cukup dalam. Secara umum, lapisan ini dapat digambarkan sebagai berikut: dasar peradabannya adalah pertanian (sawah dan ladang); struktur sosialnya adalah desa; kepercayaan agamaniahnya adalah animisme; …” (Lihat, Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1997), hal. 41.)

Jika konsep adanya “lapis budaya” ini diterima kebenarannya dan diaplikasikan dalam pemaknaan terhadap Pancasila, maka siapa pun kemudian bisa bertanya lebih jauh: jika agama di zaman pra-Hindu, yakni pada lapisan asli Indonesia, adalah animisme, maka apakah konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila sekarang harus dikembalikan pemaknaannya pada konsep animisme? Tentu saja tidak! Bung Karno sendiri menegaskan, ia adalah seorang Muslim, dan ia percaya sepenuhnya kepada Tuhan. Ia katakan: “Kalau saudara tanya kepada saya persoonlijk, apakah Bung Karno percaya kepada Tuhan? Ya, saya ini percaya dan tadi saya sudah berkata saya ini orang Islam. Bahkan, saya betul-betul percaya kepada agama Islam.” (Soekarno, Pantjasila Dasar Filsafat Negara, hal. 58)

Dalam sejarahnya, Partai Komunis Indonesia juga pernah menerima Pancasila, tetapi memberikan makna yang berbeda terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pidatonya di Majelis Konstituante tanggal 13 November 1957, tokoh Islam Kasman Singodimedjo banyak mengkritisi pandangan dan sikap PKI terhadap Pancasila. Kasman menilai PKI hanya membonceng Pancasila untuk kemudian diubah sesuai paham dan ideologinya. Ketika itu PKI bermaksud mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi ”kebebasan beragama”. Termasuk dalam ”kebebasan beragama” adalah ”kebebasan untuk tidak beragama.” Kasman mengingatkan:

”Saudara ketua, sama-sama tokoh kita mengetahui bahwa soko guru dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sama-sama kita mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu justru telah mempunyai peraturan-peraturan yang tentu-tentu bagi umat manusia yang lazimnya dinamakan agama. Saudara ketua, sama-sama kita tahu, bahwa PKI dan komunis pada umumnya dan pada dasarnya justru anti Tuhan dan anti-Agama!.” (Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hal. 480-481).

Keberatan dan kecurigaan Kasman Singodimedjo dan para tokoh Islam lainnya di Konstitante dengan masuknya komunis ke kubu pendukung Pancasila memiliki alasan yang sangat masuk akal. Sebab, berbagai ungkapan Karl Marx dan Lenin memang menunjukkan kebencian kepada agama. Dalam buku kecil berjudul Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia: Jejak Sebuah Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik Infinitum, 2007), sastrawan Taufiq Ismail mengutip sejumlah ungkapan Karl Marx dan Lenin tentang agama, seperti: “Agama adalah madat (candu) bagi masyarakat. Menghujat agama adalah syarat utama semua hujatan…” Juga, ungkapannya: “Agama harus dihancurkan, karena agama mengilusi rakyat dalam memperoleh kebahagiaan sejati…” Lenin juga berkata: “Setiap ide tentang Tuhan adalah semacam infeksi berbau busuk.” Juga, katanya, “Penyebaran pandangan anti-Tuhan adalah tugas utama kita. Kita harus memperlakukan agama dengan bengis. Kita harus memerangi agama. Inilah ABC materialisme dan juga ABC Marxisme.”

Bahkan, sebelum pemilu 1955, Mohammad Natsir sudah melihat gejala penafsiran Pancasila yang keliru dan kemudian digunakan untuk menyudutkan umat Islam. Dalam ceramahnya saat Peringatan Nuzulul Quran, Mei 1954, Natsir mengingatkan agar tidak terburu-buru memberikan vonis kepada umat Islam, seolah-olah umat Islam akan menghapuskan Pancasila. Atau seolah-olah umat Islam tidak setia pada Proklamasi. ”Yang demikian itu sudah berada dalam lapangan agitasi yang sama sekali tidak beralasan logika dan kejujuran lagi,” kata Natsir. Lebih jauh Natsir menyampaikan, ”Setia kepada Proklamasi itu bukan berarti bahwa harus menindas dan menahan perkembangan dan terciptanya cita-cita dan kaidah Islam dalam kehidupan bangsa dan negara kita.” Natsir juga meminta agar tidak ada yang merasa berhak memonopoli penafsiran Pancasila dan juga mengharapkan agar Pancasila dalam perjalannya tidak diisi dengan ajaran-ajaran yang menentang al-Quran, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar bangsa Indonesia. (M. Natsir, Capita Selecta 2, hal. 150.).

Kini, di tengah maraknya seruan “kembali ke Pancasila” umat Islam Indonesia perlu mewaspadai dan bersikap antisipatif tentang upaya penyelahgunaan Pancasila untuk menyeret bangsa Indonesia ke kutub ateisme atau liberalisme. Di era liberalism saat ini, sudah muncul suara-suara yang menyatakan, bahwa salah satu makna dari Ketuhanan Yang Maha Esa adalah “kebebasan untuk tidak beragama”. Dalam pidatonya di Konstituante, tokoh PKI, Ir. Sakirman mengakui, bahwa PKI memang menginginkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan sila “Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup.” (Pidato Ir. Sakirman dikutip dari buku Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, editor: Erwien Kusuma dan Khairul (Jakarta: BAUR Publishing, 2008), hal. 275).

Orde Lama dan Orde Baru diakui telah melakukan kekeliruan terhadap penafsiran Pancasila. Orde Reformasi masih “gamang” memahami dan menafsirkan Pancasila. Padahal, bagi kaum Muslim, makna Pancasila sejatinya sudah sangat jelas, jika diletakkan dalam konteks sejarah perumusan dan perspektif pandangan alam Islam (Islamic worldview). Orde Baru melakukan kekeliruan dengan meletakkan Pancasila sebagai worldview, sehingga Pancasila bersaing dengan agama.

Jadi, bangsa Indonesia tidak perlu merumuskan “konsep Tuhan menurut Pancasila”, “konsep manusia menurut Pancasila”, “konsep alam menurut Pancasila”. Sebab, konsep-konsep itu sudah dirumuskan dalam agama. Menurut analisis Adnan Buyung Nasution, terjadinya polemik dan konfrontasi ide antara Islam dan Pancasila dalam sejarah di Indonesia, adalah akibat dikembangkannya konsep Pancasila sebagai doktrin atau pandangan dunia (worldview) yang komplek dan khas, sehingga berbenturan dengan pandangan dunia lain, seperti Islam. Lebih jauh, Adnan Buyung menulis:

”Saya berpendapat bahwa kejadian ini sebagian ada hubungannya dengan kenyataan bahwa sejak tahun 1945 dan khususnya pada tahun-tahun berlangsungnya kampanye pemilihan umum, Pancasila dikembangkan menjadi doktrin atau pandangan dunia yang kompleks, yang berbeda dengan padangan-pandangan dunia lain. Perbedaannya dengan Islam, yang pada dasarnya sudah mempunyai pandangan dunia yang khas, menjadi semakin tajam karena setiap pandangan dunia selalu akan dianggap lebih benar, lebih lengkap dan sempurna dibandingkan dengan pandangan dunia lain oleh para penganutnya. Karena itu, perkembangan Pancasila menjadi doktrin dan pandangan dunia yang khas sebenarnya tidak menguntungkan, kalau dinilai dari tujuannya mempersatukan bangsa.... Pancasila juga menjadi saingan utama bagi agama Islam, yang bagi para penganutnya merupakan wahyu Ilahi mengenai kebenaran dan keadilan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat!” (Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hal. 63-64.

Kesalahan lain Orde Baru adalah menjadikan Pancasila sebagai landasan amal. Padahal, bagi kaum Muslim, amal harus berlandaskan pada keimanan Islam. Jadi, tidak perlu dirumuskan, bagaimana tata cara bangun tidur menurut Pancasila, tata cara masuk kamar mandi menurut Pancasila, cara menggosok gigi menurut Pancasila, cara makan menurut Pancasila, cara menghormati tamu menurut Pancasila, cara berpakaian menurut Pancasila, dan sebagainya. Sebab, bagi kaum Muslim, semua amal perbuatan itu sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW yang tak lain adalah suri tauladan (uswah hasanah) kaum Muslim, termasuk suri tauladan Bung Karno, Megawati, Habibie, dan juga Pak SBY.

Wallahu a’lam bil-shawab. (Depok, 2 Rajab 1432 H/3 Juni 2011).

Sumber: Seputar Hari Lahir dan Penggali Pancasila

Menguak Cinta Rahasia antara Israel dan Singapura



Oleh: Herry Nurdi

Mungkin tidak banyak yang tahu peran Israel saat awal berdirinya negara Singapura, negara kecil yang kini menjadi salah satu negara paling stabil dan kuat di Asia. Peran Israel itu terutama dalam membangun kekuatan militer negara itu, sehingga perlahan tapi pasti, membuat Singapura memiliki kekuatan militer yang cukup tangguh dengan peralatan militer canggih. Herry Nurdi penulis yang sudah menerbitkan buku tentang Zionisme dan buku berjudul "Nge-fans sama Rasul" ini, menelusuri apa dan bagaimana keterlibatan Israel dalam membangun kekuatan militer Singapura. Hasil penelusurannya bisa pembaca ikuti dalam tulisannya berikut ini, yang akan kami publikasikan secara bersambung. Selamat membaca....
Bagian dari Gerakan Zionisme Internasional
Pada tahun-tahun 1960-an awal dirintisnya keterlibatan Israel dan Yahudi untuk turut membangun negara yang baru mulai berdiri, Singapura. Pada awal tahun 1965, ketika di Indonesia terjadi gejolak PKI, di Malaysia juga terjadi sebuah gejolak yang kelak mengantarkan lahirnya sebuah negara baru, Singapura. Dalam penuturannya, Lee Kuan Yew mengatakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi konsentrasinya pada awal-awal berdiri Singapura.
Pertama, tentu adalah pengakuan internasional atas lahirnya negara baru ini. Dan untuk membantunya mengatasi masalah yang satu ini ia memilih Sinnathamby Rajaratnam menjadi Menteri Luar Negeri, seorang yang disebut Lee Kuan Yew sebagai seorang yang anti penjajahan tapi bukan seorang yang radikal. Rajaratnam pula yang menyiapkan segala kebutuhan untuk hajatan bulan September 1965, di markas PBB di New York, sebuah presentasi negara baru.

Hal kedua terbesar yang menjadi perhatian Lee Kuan Yew adalah masalah keamanan dan pertahanan. Pada awalnya ia hanya memiliki dua batalion pasukan, itupun berada dalam komando seorang brigadir dari Malaysia, Brigadir Syed Muhammad bin Syed Alsagoff yang menurut Lee seorang Arab Muslim dengan kumis yang siap setiap saat mengambil alih negara Singapura. Ia harus menyiapkan angkatan bersenjata dan sistem pertahanan dalam waktu dekat, untuk menghadapi kelompok-kelompok radikal, terutama beberapa pihak di Malaysia yang tak setuju dengan kemerdekaan Singapura. Kelompok yang satu ini, dipercaya akan mengganggu proses kemerdekaan Singapura, oleh Lee Kuan Yew.

Untuk mengatasi masalah pertahanannya, pada awalnya, Singapura meminta bantuan dan menghubungi Mesir untuk menyiapkan angkatan bersenjata. Tapi, Mesir tak segera memberikan jawaban yang pasti, padahal kebutuhan demikian mendesak untuk diselesaikan. Tapi sebenarnya, sebelum pemisahan terjadi, Israel telah menjalin hubungan dengan benih-benih founding fathers Singapura. Mordechai Kidron, duta besar Israel di Bangkok sejak tahun 1962 sampai 1963 telah mencoba untuk mendekati Lee Kuan Yew dan menawarkan jasa untuk menyiapkan pasukan bersenjata. Tapi saat ini, Lee Kuan Yew menolaknya dengan beberapa alasan, salah satunya adalah pertimbangan Tuanku Abdul Rahman dan masyarkat Muslim di wilayah Singapura yang kemungkinan tidak akan setuju. Dan jika mereka tidak setuju, menurut Lee, bisa memancing kerusuhan yang tidak terkendali dan merugikan bagi rencana kemerdekaan Singapura.

Tapi akhirnya, Lee melirik tawaran ini. Di saat yang sama, Lee Kuan Yew juga mengirim dan menunggu jawaban dari India dan Mesir. Ia mengirim surat ke Perdana Menteri India, Lal Bahadur Shastri dan Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser. Dari Mesir Lee Kuan Yew mendapat jawaban, bahwa Nasser menerima dan mengakui kemerdekaan negara Singapura, tapi tidak memberikan jawaban pasti atas permintaan bantuan militer. Dan itu yang memicu kekecewaan Lee Kuan Yew yang langsung memerintahkan untuk memproses proposal Israel untuk menyiapkan militer Singapura. Tokoh lain yang berpengaruh dalam hubungan Singapura-Israel adalah Goh Keng Swee. Lee Kuan Yew memerintahkan Keng Swee untuk menghubungi Mordechai Kidron, duta besar Israel yang berkedudukan di Bangkok pada tanggal 9 September 1965, hanya beberapa bulan setelah pemisahan Singapura dari Malaysia. Dan hanya dalam beberapa hari, Kidron telah terbang ke Singapura untuk menyiapkan keperluannya bersama Hezi Carmel salah seorang pejabat Mossad.

Bertahun-tahun kemudian Hezi Carmel dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa Goh Keeng Swee berujar kepadanya hanya Israel lah yang bisa membantu Singapura. Israel adalah negara kecil yang dikepung oleh negara-negara Muslim di Timur Tengah, tapi memiliki kekuatan militer yang kecil tapi kuat dan dinamik. Bersama Keng Swee, Kidron dan Hezi menghadap Lee Kuan Yew.

Perlu digarisbawahi di sini, bahwa proposal Israel yang telah diajukan sejak tahun 1960, adalah sebuah hasil dari kajian mendalam tentang masa depan Singapura dan percaturan politik di Asia Tenggara. Bukan Singapura yang aktif untuk meminta Israel masuk, tapi Israel lah yang pertama kali menawarkan diri agar bisa terlibat secara aktif di wilayah Asia Tenggara. Tentu saja ini bukan semata-mata kebetulan, tapi berdasarkan perencanaan yang matang dari gerakan Zionisme internasional. Menempatkan diri bersama Singapura, sama artinya menjadi satelit Israel dan kekuatan Yahudi di Asia Tenggara.
The Mexicans
November 1965, tim kecil dari Israel yang dikomandani Kolonel Jak (Yaakov) Ellazari tiba di Singapura (kelak ia dipromosikan pangkatnya menjadi Brigadir Jenderal, bahkan setelah pensiun pun ia menjadi salah satu konsultan senior untuk masalah-masalah pertahanan dan keamanan bagi Singapura). Dan disusul oleh tim yang lebih besar lagi pada bulan Desember 1965. Mereka menggunakan kata sandi The Mexicans untuk membantu Singapura.

Kedatangan tim The Mexicans ini sebisa mungkin dirahasiakan dari sorotan publik. Maklum, Singapura adalah negara muda yang dikeliling oleh negara-negara Muslim seperti Indonesia, Malaysia, dan juga Thailand. Lee Kuan Yew juga tidak ingin menimbulkan perdebatan di antara penduduk Singapura yang Muslim.

Pada saat yang sama dengan perintisan ini, Israel sendiri telah menyiapkan bantuan militernya langsung ke Singapura berdasarkan order dari Kidron dan Hezi Carmel. Tokoh-tokoh penting Israel yang turun berperan mengambil keputusan pembangunan militer Singapura ini adalah Yitzhak Rabin, kepala staff pemerintahan Israel kala itu, Ezer Weizmann dan juga Mayor Jenderal Rehavam Ze'evi, yang kelak menjadi menteri perumahan Israel dan tewas karena serangan Hamas pada tahun 2001.

Ze'evi sendiri yang menjadi pimpinan proyek dan terbang ke Singapura dengan nama samaran Gandhi. Rehavam Ze'evi yang telah menggunakan nama Gandhi berjanji akan membangun kekuatan militer Israel sebagai kekuatan militer yang belum pernah ada di wilayah Asia Tenggara. Dengan dibantu oleh Ellazari dan Letnan Kolonel Yehuda Golan, Ze'evi mulai bekerja. Salah satu yang dibangun dengan serius adalah buku panduan yang diberi nama "Brown Book" atau Buku Coklat, blue print buku panduan militer Singapura yang benar-benar dibuat Israel.

Buku Coklat adalah buku panduan untuk perang langsung atau combat. Setelah buku ini selesai, buku panduan lanjutannya digarap pula dengan nama sandi Buku Biru atau "Blue Book" yang mengatur segala macam strategi pertahanan dan gerakan intelijen. Buku Coklat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan segera dikirim ke Singapura dari Israel.

Tanggal 24 Desember 1965, enam orang perwira Israel tiba di Singapura. Mereka mengemban dua tugas yang berbeda. Tim perwira pertama bertugas untuk membangun dan membentuk kementerian pertahanan Singapura, tim ini dipimpin oleh Kolonel Ellazari. Dan tim kedua, yang dipimpin oleh Yehuda Golan bertugas untuk menyiapkan pasukan bersenjata. Persiapan pasukan bersenjata ini pada mulanya merekrut 40 sampai 50 orang yang telah memiliki pengalaman di bidang militer untuk dilatih lebih lanjut.

Terkuat di Asia Tenggara

Tapi kini, kekuatan yang berasal dari 40 – 50 orang yang dibangun oleh Israel itu telah menjelma menjadi kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara, bahkan mengalahkan Indonesia. Anggaran militer Singapura itu 4,4 milyar dolar US. Jauh sekali dibanding dengan Indonesia. Mereka juga punya industri militernya sendiri. Jadi tidak melulu bergantung pada negara-negara asing produsen senjata. Sama persis dengan Israel. Israel, meski dia juga bergantung pada negara produsen senjata dari Barat, tapi dia juga membangun persenjataan mereka sendiri. Singapura sudah bisa membuat dari senjata ringan, mesin hingga artileri, mereka sudah mampu membuat sendiri.

Angkatan bersenjata Singapura, keseluruhan, berjumlah 60.500 pasukan. Jauh di bawah Indonesia. Jumlah itu sudah termasuk 39.800 wajib militer dengan masa dinas 24 sampai 30 bulan. Tapi mereka juga memiliki pasukan cadangan berjumlah 213.800. Jadi, jumlahnya meliputi seluruh penduduk dan populasi Singapura.

Singapura benar-benar telah menjalankan total defense war. Mereka punya wajib militer untuk seluruh penduduk, setiap saat semua warga negara Singapura bisa dimobilisasi, dipersenjatai.

Setiap penduduk Singapura itu sudah ada registrasi militernya, kepangkatannya. Ketika terjadi ancaman atau serangan, maka mereka per daerah atau per wilayah sudah bisa langsung melapor dan bergabung pada markas-markas yang sudah ditentukan. Orang-orang sipil itu tahu pangkat mereka apa, berapa anak buahnya dan tugasnya apa. Bahkan senjatanya pun sudah disetor di masing-masing markas. Ini benar-benar seperti konsep Israel, bahwa semua penduduk dewasa adalah tentara. sipil yang militer. Bukan militer yang membangun supremasi di atas sipil.

Angkatan Darat mereka memiliki 50.000 pasukan, tidak terlalu banyak. Angkatan Laut 4.500 dan Angkatan Udara 6.000. Tapi yang menarik adalah, Singapura itu punya Forces Abroad, pasukan-pasukan yang di tempatkan di luar negeri. Bukan pasukan untuk misi internasional, tapi pasukan Singapura sendiri, kebanyakan adalah Angkatan Udara.

Singapura menempatkan pasukannya di Perancis, Australia, Brunei, Afrika Selatan, Taiwan, Thailand dan Amerika. Penempatan pasukan itu disertai dengan penempatan pesawat tempur, pesawat pengintai tanpa awak sampai pesawat pengisi bahan bakar di udara yang kebanyakan di parkir di Amerika.

Kalau dibandingkan dengan kekuatan militer Indonesia? Jauh sekali. Seandainya Indonesia membom Singapura, mereka bisa membalas dengan lebih kuat lagi dari yang bisa dilakukan Indonesia. Jika sekarang kita terbang dengan pesawat komersial ke Singapura butuh waktu 1 jam 20 menit. Tapi kalau untuk melakukan serangan pre-emptif strike, Singapura hanya butuh waktu kurang dalam 30 menit.

Didikan Israel yang sangat disiplin memang menghasilkan kekuatan yang bukan main. Salah satu disiplin yang diterapkan Israel pada para kadet Singapura adalah bangun pukul 5.30 untuk memulai aktivitasnya. Bahkan salah seorang kadet pernah membantah dan memberikan alasan kepada kolonel Golan dengan mengatakan, "Kolonel Golan, orang-orang Arab tidak ada di sini dan tidak akan menduduki kepala kita. Mengapa kita melakukan latihan segila ini?" Dan menjawab komplain para kadet itu, Goh Keng Swee memerintahkan para kadet itu untuk melakukan apa yang diperintahkan Kolonel Golan, jika tidak, mereka akan melakukannya lebih berat lagi. Hanya dalam setahun, latihan yang dibangun oleh Israel ini telah menghasilkan 200 komandan militer yang terlatih.

Selain kekuatan militer darat, Israel juga merancang strategi combating water bagi Singapura. Pada awalnya, mereka membuat sebuah sampan yang mampu mengangku 10 sampai 15 anggota pasukan untuk patroli laut bahkan ke rawa-rawa. Kekuatan tempur laut yang dibangut oleh Israel memang disiapkan untuk menghadapi negara-negara maritim seperti Indonesia dan Malaysia.

Balas Jasa buat Israel

Pada tahun 1967, pecah Perang Enam Hari antara Israel dan negara-negara Arab. Pecahnya perang ini membuat tim Israel di Singapura sempat ketar-ketir, sebab, moral pasukan yang mereka bangun di Singapura bisa saja habis sampai ke dasar cawan jika Israel menderita kekalahan perang. Namun, seperti yang tercatat dalam sejarah, Israel menang mutlak melawan negara-negara Arab dalam Perang Enam Hari tersebut.

Bisa dipahami, kekuatan dan sistem militer Israel di banding negara-negara Arab lainnya, jauh berada di depan. Kemenangan itu pula yang mengantar disepakatinya perjanjian rahasia pembelian 72 Tank AMX-13 light dari Israel yang konon kelebihan produksi. Pembelian dengan diskon ini cukup mengagetkan, pasalnya, pada tahun itu, Malaysia sendiri tak memiliki satu tank-pun.

Dan Singapura memang sengaja menyisakan kejutan tersendiri untuk hal ini. Pada peringatan kemerdekaan, 9 Agustus 1969, dalam parade militer para undangan dikejutkan dengan pameran kekuatan Singapura. Termasuk Menteri Pertahanan Malaysia yang diundang untuk menyaksikan 30 tank buatan Israel yang merayap di jalanan. "Sungguh momen yang dramatis," ujar Lee mengenang saat itu.

Dan sejak itu pula, terbuka secara umum hubungan Israel dan Singapura. Berikutnya adalah balas jasa yang harus diberikan Singapura pada Israel. Pada sidang umum PBB tahun 1967, negara-negara Arab mensponsori resolusi untuk menveto Israel. Tapi delegasi Singapura yang hadir pada waktu itu menyatakan diri abstain sebagai tanda satu barisan dengan Israel.

Selanjutnya, pada tahun Oktober 1968, Lee Kuan Yew menyetujui pembukaan perwakilan dagang Israel di negara tersebut. Setahun berikutnya, secara resmi tahun Mei 1969, Lee memberikan izin pada Israel untuk membuka kedutaannya di Singapura.

Kondisi yang berlainan terjadi di Indonesia. Dari tahun ke tahun, Indonesia yang menjadi negara besar tetangga Singapura kian tak menentu nasib strategi pertahanan dan militernya. Kondisi itulah yang membuat posisi tawar Singapura pada Indonesia meningkat, bahkan terkesan arogan. Indonesia saat ini berada pada masa transisi yang membuat posisinya lemah.

Pada zaman Soeharto yang kuat, mereka susah untuk mempengaruhi atau masuk lebih jauh ke dalam kebijakan Indonesia secara politis maupun dari sisi supremasi militer. Kekuatan militer di Indonesia masa jayanya ada di bawah Soekarno. Ketika Soeharto berkuasa dengan sistem junta militernya, tidak ada perhatian secara khusus untuk membangun militer Indonesia secara profesional. Seperti kebanyakan rezim pemerintah junta militer, konsentrasi mereka terpecah-pecah untuk mematai-matai rakyatnya sendiri, mengontrol kekuatan politik lawan di dalam negeri, dan itu berakibat tidak terbangunnya militer Indonesia yang profesional. Sekarang ini baru kita melihat hasil ketidak profesionalan itu.

Dulu, Indonesia, menurut Ken Conboy dalam bukunya yang berjudul Kopassus, bisa disebut sebagai negara dengan kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara. Sebagai perbandingan, pada sidang parlemen Singapura tahun 1999 terkuak sebuah informasi, bahwa negara ini menghabiskan sekitar 7,27 milyar dolar dalam setahun, atau sekitar 25% dari anggaran belanja negara untuk alokasi pertahanan. Dan pada tahun 2000, menurut laporan Asian Defense Journal, tak kurang Singapura memiliki empat F-16B, 10 F-16D fighters, 36 F-5C fighters, dan delapan F-5T fighters.

Sedangkan Indonesia, kini hanya memiliki enam F-16, itupun tak semuanya bisa dan layak terbang karena terus-menerus melakukan kanibalisasi untuk perbaikannya. Dan pada pemerintahan Megawati, terjadi pembelian pesawat tempur Sukhoi, tapi itu pun tak sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Pesawat Sukhoi yang dibeli oleh Departemen Perdagangan itu dirancang untuk perang dan melawan tank yang di Indonesia sama sekali tidak dibutuhkan.

Bahkan saking unggulnya kekuatan Singapura yang dibangun oleh Israel ini, sampai-sampai Lee Kuan Yew membanggakan militernya jauh lebih efektif dari militer Amerika. Soal keamanan, menurut Lee Kuan Yew, Israel jauh lebih efektif dan hebat dibanding Amerika. Lee membandingkan kerja Israel di Singapura dan kerja Amerika di Vietnam. Pada Perang Vietnam Amerika tak kurang mengirimkan 3.000 sampai 6.000 ahli militernya ke Vietnam Selatan untuk membantu Presiden Ngo Dinh Diem yang menjadi kaki tangannya Paman Sam. Hasilnya?

Amerika dan kaki tangannya tetap tak bisa menang di Vietnam. Tapi dengan Singapura, Israel hanya mengirimkan sekitar 18 perwira-perwiranya untuk membangun angkatan bersenjata negara muda ini begitu kuat.

Hubungan Singapura-Israel: Ancaman Regional Asia Tenggara

Sejak saat itu berbagai kerjasama dalam jumlah besar tak hanya dalam bidang militer dan pertahanan, tapi juga ekonomi dan politik telah terjadi antara Israel dang Singapura. Dan tentu saja, pada tataran ekonomi dan politik, kekuatan Israel di Singapura telah pula merangsek negara-negara Muslim seperti Malaysia, Brunei dan Indonesia. Termasuk pembelian Indosat dan beberapa bank besar di Indonesia oleh Singapura, secara seloroh usaha aneksasi tersebut telah menjadikan Indonesia provinsi ke sekian dari Israel Raya.

Apalagi sejak Singapura menandatangani kesepakatan satelit mata-mata dengan Israel tahun 2000 lalu. Bisa jadi, tak sejengkal pun wilayah, khususnya area-area Muslim di Asia Tenggara lolos dari perhatian Israel. Tahun 2000 lalu, Israel, Singapura yang difasilitasi oleh Amerika Serikat meneken kontrak kerjasama dalam bidang satelit mata-mata senilai satu milyar dolar Amerika. Dan tentu saja untuk urusan keamanan.

Atas nasihat Israel pula kini Singapura punya interest yang kuat dalam perdagangan dan kerjasama yang dibentuknya untuk empat hal. Empat hal tersebut adalah di bidang komando, kontrol, komunikasi dan intelijen. Dan kini, lewat doktrin ini pula Singapura tak melepaskan kesempatan emas untuk membeli Indosat dari Indonesia.

Akankah Singapura dengan Israel di belakangnya kelak menjadi ancaman bagi negara-negara Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina dan Thailand yang notabene bisa disebut representasi negara Muslim? Jika kelak terbukti Singapura adalah ancaman, sesungguhnya tak mengherankan, sebab kini banyak signal dan indikasi yang menyebutkannya. Terlebih ketika isu terorisme menghantam Indonesia, Singapura menjadi corong paling dekat yang menyakitkan telinga warga Indonesia.

Tudingan Singapura terhadap Indonesia

Beberapa tahun lalu, Indonesia dibuat heboh oleh pernyataan Senior Ministry Singapore Lee Kuan Yew. Dalam pernyataannya yang dikutip harian The Strait Times, Singapura, Lee mengatakan, "Singapura tidak akan merasa aman selama teroris berkeliaran di Indonesia."

Media massa menjadikan berita ini sebagai komoditi utama dalam pekan itu. Hampir semua media menurunkan laporan utamanya tentang komentar Mr. Lee. Agar lebih obyektif menulis tentang Singapura dalam catatan kali ini, beberapa saat lalu, penulis pernah menghubungi Profesor Bilveer Singh, Guru Besar Political Science di National University of Singapore. Saat dihubungi ternyata beliau sedang berada di New Delhi, India, membuka sebuah seminar dan konferensi politik.

Lebih dari satu jam penulis berbincang dengan Profesor Bilveer lewat telepon. Tentu saja yang menjadi inti perbincangan tersebut adalah pernyataan Mr. Lee.

Menurut Bilveer Singh, pernyataan Menteri Senior tersebut menjadi terasa sangat pedas karena memang dipedas-pedaskan oleh media massa. "Saya kira pernyataan Pak Lee itu biasa saja dan tidak tajam. Pak Lee justru membela Indonesia dalam pernyataannya."

Lalu Bill, panggilan Profesor Bilveer, bercerita tentang latar belakang Lee Kuan Yew berkata demikian.

Beberapa waktu lalu, kepolisian Singapura, kata Bill, menangkap 18 orang yang berencana, bahkan sudah membeli sebanyak 21 ton TNT untuk meledakkan beberapa titik yang disebutnya sebagai tempat Israel dan Amerika di Singapura. Tapi ada lima orang lagi yang disebut-sebut melarikan diri ke Indonesia. Menurut Lee, kata Bill, pemerintah Indonesia sudah dihubungi tentang hal ini, tapi tidak menunjukkan respon yang berarti. Bill juga tak lupa memberi keterangan bahwa pelaku, semua pelaku itu adalah Muslim.

"Absolutely Pak, 100% Muslim Pak," ujarnya dari seberang telepon.

Penulis sempat melakukan cross-check pernyataan larinya pelaku teror dari Singapura ke Indonesia pada Pak ZA Maulani, mantan KABAKIN di era presiden Habibie. Dalam obrolan dengan Pak Maulani yang kebetulan mampir ke kantor, penulis bertanya apakah mungkin yang diungkapkan Bill di atas.
"Nggak mungkin, mustahil itu," jawabnya. Di Singapura, kata Pak Maulani, orang makan permen karet dan membuang, apalagi menempelkannya sembarang bisa ketahuan dan kena hukuman. Banyak turis yang ada di sana bermasalah dengan polisi setempat gara-gara di kantong mereka ditemukan buble gum.

Jika permen karet saya bisa diketahui, apalagi TNT yang bentuknya batang dan dalam jumlah yang tidak sedikit, 21 ton, maka tidak menutup kemungkinan ini adalah sebuah rekayasa. TNT dalam bentuk batangan pasti memerlukan beberapa kontainer untuk mengangkutnya. Saya jadi semakin curiga bahwa di balik ini ada operasi intelijen. Apalagi keterangan Pak Maulani tentang dokumen Jibril yang disebut sebagai pijakan pemerintah Singapura menindak dan menangkap 18 orang yang disebut sebagai teroris itu tidak valid dan bikinan pihak ketiga.

Tapi lagi-lagi, keterangan ini dibantah oleh Bill yang menyebutkan bahwa pemerintah Singapura telah melakukan penyelidikan mendalam. "Ini tidak mungkin operasi intelijen. Tidak Pak," ujar Bilveer Singh.

Penulis tidak akan memperdalam informasi mana yang benar, tapi yang pasti, penulis menggaris bawahi kalimat Bill yang mengatakan, "100% Muslim Pak, absolutely." Pernyataan itu bagi saya menjelaskan sesuatu, bahwa memang ada rencana yang memang sudah disiapkan entah oleh siapa untuk beberapa komunitas Muslim. Tentang hal ini, Bilveer sendiri mengakui memang ada sesuatu yang ia katakan sebagai rencana busuk. "Saya tahu benar bahwa Barat senang membusukkan Islam, kelompok Yahudi dan Kristen garis keras berusaha membusukkan Islam. Islam bagi mereka sama dengan teroris, ini bahaya Pak. Islam is peace," kata Bilveer.
Perjalanan Panjang Singapura menjadi “Singa” di Asia

Singapura yang pada zaman Singasari kita sebut sebagai Tumasik, adalah sebuah negara dengan luas, tak lebih besar dari Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Sebuah negara nir sumber daya alam dan kekayaan bumi. Sebuah negara yang benar-benar tak bisa menggantungkan kehidupannya dengan kekayaan alam. Sir Thomas Stamford Raffles pada awal abad 19, tepatnya 1819 mulai merintis “kehidupan” di Tumasik. Raffles yang tahu Tumasik secara geografis menjadi perlintasan dagang internasional mulai menyewanya dari seorang pangeran Melayu.

Tahun berjalan, zaman berganti. Pada tahun 1942 tentara Dai Nippon mengalahkan sekutu di beberapa wilayah Asia, termasuk Indonesia, Malaysia, Kalimantan Utara (kini Brunei, red) dan juga Singapura. Peristiwa ini adalah salah satu kurun yang paling mengejutkan bagi Singapura yang sama sekali tak pernah menyangka Inggris kalah oleh tentara Matahari Terbit.

Jepang masuk ke Singapura pada 12 April 1942 dan mengganti namanya dengan Syonan, yang artinya Cahaya dari Selatan. Penamaan ini berkaitan pula dengan posisi strategis yang dimiliki Singapura. Sebuah pulau kecil yang nantinya akan menjadi negara dari selatan dan turut berperan besar dalam percaturan dunia. Mengapa Singapura diidentikkan sebagai selatan, sekedar informasi, karena memang selamanya penjajahan konon selalu datang dari utara. Coba saja perhatikan, dan sebagai tambahan bahan tentang Utara-Selatan ini bisa membaca novel Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik.

Tapi Jepang tak lama-lama memegang kemenangan yang telah diraihnya. Setelah direbut kembali oleh Inggris, Singapura menjadi sebuah pulau tambang uang untuk melunasi utang-utang yang dimiliki Inggris. Tak hanya Singapura tepatnya, Malaysia dan Brunei pun terkeruk juga untuk melunasi utang yang diakibatkan perjanjian Lend and Lease Act, perjanjian pembayaran biaya sewa alat-alat perang pada Amerika. Tentang hal itu bisa dibaca di buku The Genesis of Malaysia Konfrontasi: Brunei and Indonesia 1945 – 1965 karya Greg Poulgrain.

Roda zaman terus bergulir dan Singapura pun menjadi negara mandiri setelah melepaskan diri dengan Malaysia pada tahun 1965. Lee Kuan Yew menjadi The Founding Father of Republic Singapore. Negara yang hanya memiliki garis pantai 150.5 kilo meter ini pelan-pelan tapi pasti menjadi negara yang berbeda dengan negara-negara di Asia Tenggara umumnya. Baik secara demografis, maupun sejara finansial. Secara demografis, etnis Cina menjadi mayoritas di negara ini dengan jumlah kurang lebih 75 persen dari total penduduk 3 juta. Sisanya 25 persen dibagi-bagi beberapa etnis, Melayu, Tamil dan juga India. Secara finansial, karena tidak memiliki sumber daya alam satu pun, orientasi ekonomi Singapura sejak awal mengarah pada industri jasa. Profit oriented inilah yang membuat Singapura membuka dirinya bagi siapa saja, atau negara mana saja yang ingin menanamkan modal dan bekerjasama.

Singapura tidak salah dalam hal ini. Singapura harus menggunakan cara ini sebab ia beda dengan Brunei yang melimpah sumber daya dan kekayaan alamnya. Satu-satunya cara agar Singapura eksis sebagai negara adalah membuka dirinya dan membangun besar-besaran industri jasa. Dan hal itu berhasil, selain karena Singapura memang strategis di jalur pasar dunia, ada beberapa hal lain yang membuatnya menarik di mata Israel dan Amerika.

Ya, dua negara itulah yang masuk Singapura dengan membawa segudang kepentingan. Ditambah lagi Singapura memang terobsesi dan menjadikan Israel sebagai negara model yang akan ia tiru dalam bidang keamanan dan pertahanan. Singapura menjadikan Israel sebagai model percontohan di bidang keamanan dan Switzerland sebagai model di bidang ekonomi. Sebab, Singapura dan Israel nyaris sama dalam bidang yang satu ini. Israel adalah negara kecil (merebut tanah dan berusaha menjadi negara tepatnya) di tengah-tengah komunitas Arab Timur Tengah. Israel adalah masyarakat Yahudi yang dikepung orang-orang Arab. Sedangkan Singapura merasa dirinya begitu pula, negara kecil dengan mayoritas etnis Cina yang hidup di kawasan Asia Tenggara dengan etnis mayoritas Melayu Muslim pula.

Di poin terakhir inilah (tentang mayoritas Muslim Melayu), kepentingan Israel, Amerika dan Singapura bertemu, melakukan simbiosis mutualisme, saling menguntungkan, saling memberi manfaat dan memanfaatkan.

Sebetulnya tak ada yang salah jika Singapura mengeruk keuntungan dari kerjasamanya dengan Israel dan Amerika. Negara harus tetap berjalan, dan untuk itu diperlukan biaya yang tidak ringan. Semua kemungkinan capital investment harus digali, dan lebih lanjut dimanfaatkan, dan yang mempunyai peran besar dalam hal ini adalah Israel dan Amerika. Memang tak ada yang salah, selama proses dan pencapaian tidak mengorbankan, melindas, melibas dan melakukan intrik politik yang tidak sehat. Tapi dalam kasus ini tampaknya memang ada yang salah.

Dalam masa-masa kemerdekaan Indonesia, nama Singapura bukan barang baru dalam kosakata intelijen internasional, terutama intelijen Amerika dan Inggris. Lewat Singapura beberapa rencana menghalangi Indonesia merdeka pernah dirilis oleh Kerajaan Inggris.

Saat Republik Indonesia baru seumur jagung, beberapa aspirasi yang tak terakomodasi menjelma menjadi sebuah pemberontakan, baik dari tubuh yang menamakan diri kelompok nasionalis, komunis sosialis, maupun dari kekuatan Islam. Dan salah satu yang menonjol adalah PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera pada tahun 1958. Sebelumnya, letupan-letupan kecil yang menjadi embrio pemberontakan telah nampak dengan terbentuknya berbagai dewan, di Sumatera khususnya. Ada Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Banteng di Sumatera Barat, Dewan Garuda di Sumatera Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara. Ahmad Husein, Maludin Simbolon, Barlian dan Sumual adalah tokoh-tokoh dari berbagai dewan tersebut.

Riak-riak aspirasi yang tak terakomodasi ini kemudian menjelma menjadi gelombang besar, salah satunya adalah –dan ini yang paling dominan—karena pihak luar yang tak menginginkan Indonesia merdeka bermain, membantu membesarkan riak yang kecil baik dengan dana, senjata dan juga informasi-informasi intelijen dan strategi. Dalam sebuah buku yang terbit di London, pada tahun 1961 yang berjudul Rebels in Paradise: Indonesia Civil War, James Mossman menulis, “Bukan rahasia lagi bahwa Inggris dan Amerika Serikat selalu berhubungan dengan kaum pemberontak. Inggris melakukan kontak lewat agennya di Singapura dan Malaysia, dan Amerika lewat Formosa dan Manila.”

Bahkan tak hanya menyokong kaum pemberontak, Amerika dan Inggris khususnya melakukan provokasi terbuka di beberapa wilayah Indonesia bagian timur yang berbatasan langsung dengan Malaysia yang bekas koloni mereka. Dalam buku The Genesis of Malaysia Konfrontasi: Brunei and Indonesia 1945 – 1965 karya Greg Poulgrain Anda akan menemui banyak data yang saya kutip serba sedikit dalam paragrap ini. Inggris tak mau kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia mempengaruhi negara-negara jajahannya yang berbatasan langsung dengan Indonesia seperti Malaysia, Singapura dan juga Brunei. Sebab, jika di ketiga negara ini kemerdekaan Indonesia menjadi inspirasi, rakyat akan menuntut kemerdekaan yang sama dan jelas ini sama artinya Inggris akan kehilangan tambang uang. Karena tak rela kehilangan tambang uang inilah Inggris melakukan beberapa provokasi langsung di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Riau. Pada tahun 1964 saja tercatat 213 provokasi yang dilancarkan pihak Inggris di beberapa wilayah tersebut di atas.

Tentang keterlibatan Singapura, Audrey R. Kahin dan George McTurnan Kahin dalam Subversion as Foreign Policy, The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia menyebut Singapura sebagai sentral kendali di Asia Tenggara. “Singapura juga salah satu pusat pengendalian kekuasaan regional baik dengan intelijen maupun dengan pemasokan senjata dan serdadu.”

Waktu berjalan lagi, komunis tak mendapat tempat di Indonesia dan Islam meski tidak secara politis menguat dengan signifikan dan menjadi mayoritas dari tahun ke tahun. Konstalasi foreign relation yang tadinya Inggris, Amerika, dan Singapura pun berganti menjadi Amerika, Israel dan Singapura. Apalagi setelah Israel terlibat aktif dan sangat dalam pada pembentukan sistem pertahanan dan pasukan bersenjata milik Singapura. Maka tak berlebihan jika ada yang menyebutkan bahwa Singapura, sejatinya adalah satelit, bahkan kepanjangan tangan Israel di Asia Tenggara.

Sumber: www.eramuslim.com

"Sang Hyang Yesus?"




Oleh: Dr. Adian Husaini

PADA hari Senin (14/11/2011), bertempat di Jakarta, Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) dan Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilisation (Casis)—Universiti Teknologi Malaysia, menyelenggarakan suatu seminar internasional bertajuk "SEJARAH DAN PERANAN ISLAM DALAM PEMBANGUNAN DAN KESATUAN BANGSA."

Sejumlah pembicara dari Indonesia dan Malaysia yang hadir adalah Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud (Direktur Casis-UTM), yang bertindak sebagai keynote speaker. Prof. Dr. Muhammad Zainy Uthman (Casis), membahas masalah bertajuk: Tranformasi Minda Umat dalam Sejarah Dunia Melayu; Dr. Khalif Muammar (Casis) menyampaikan presentasi bertajuk: Kerangka Pemikiran Melayu Tradisional; Prof. Dr. Didin Saefuddin Buchori (Universitas Ibn Khaldun Bogor) menyampaikan presentasi dengan tajuk: Perlunya Pelurusan Pemahaman Sejarah. Pada sesi berikutnya, tampil beberapa sejarawan dan budayawan muda dari INSISTS, yaitu Tiar Anwar Bahtiar, Arif Wibowo, Susiyanto, dan Muhammad Isa Anshary.

Mereka membahas makalah-makalah yang bertemakan tentang Islam dan Budaya Sunda serta Budaya Jawa.

Dalam paparannya, Prof. Wan Mohd Nor berbicara tentang keberhasilan para pendakwah Islam yang mampu menjadikan Islam menjadi identitas peradaban Melayu. Persatuan Islam dan Melayu itu kemudian dalam sejarahnya dilembagakan menjadi identitas sosial, budaya, bahkan politik. Melayu adalah muslim. Jika seorang keluar dari Islam, maka dia tidak diakui lagi sebagai "Melayu".

Dalam buku karyanya, Budaya Ilmu dan Gagasan 1 Malaysia: Membina Negara Maju dan Bahagia – yang diberi kata pengantar oleh Perdana Menteri Malaysia, Prof. Wan menyebutkan bahwa: "Negara yang maju ialah negara yang mensejahterakan dan membahagiakan rakyatnya dengan mencapai maqasid al-syariah. Itulah Negara (baldatun tayyibah) yang diredai Allah Subhanahu wa Ta'ala. (QS Saba 34:15)."

Dalam buku yang disebarkan ke seluruh penjuru Malaysia ini, Prof. Wan Mohd Nor juga menguraikan konsep Negara ideal laksana "pohon yang kokoh dan rindang" menurut Imam al-Ghazali sebagaimaan dijelaskan dalam QS Ibrahim 14: 24-25.

Suatu Negara yang menerapkan konsep maqasid syariah, adalah yang menerapkan aqidah dan syariat Islam dengan tujuan: menjaga agama (hifdud-ddin), menjaga jiwa (hifdun-nafsi), menjaga akal (hifdul-aqli), menjaga keturunan (hifdun-nasli), dan menjaga harta (hifdul-maal).

Itu yang terjadi di Malasyia, yang meskipun jumlah kaum Muslim hanya sekitar 60 persen, tetapi menempatkan Islam sebagai "agama persekutuan". Malaysia meletakkan dirinya sebagai kelanjutan dari peradaban Melayu Islam, sehingga secara politik tidak mempertentangkan antara Islam dan negara.

Bagaimana dengan Indonesia? Para pejabat Indonesia sering menyatakan, bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Namun, hingga kini, para pemimpin Negara yang Muslim yang banyak yang enggan untuk mengidentikkan Indonesia dengan Islam. Lihatlah, saat upacara pembukaan Sea Games, di Palembang, 11 November 2011! Simbol yang ditampilkan oleh delegasi Indonesia adalah Candi Borobudur, Komodo, dan Batik. Simbol Islam ditampilkan oleh Presiden SBY dalam sambutan pembukaan yang mengucapkan "Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh", "Dengan memohon ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala" dan "Bismillahirrahmanirrahim".

Dalam makalahnya yang berjudul "Mencari Wujud Kebudayaan Jawa", Arif Wibowo – alumnus Magister Pemikiran Islam—Universitas Muhammadiyah Surakarta -- mengungkapkan pembangunan dan eksistensi Candi Borobudur yang kontroversial.



Penggambaran seolah-solah bangunan-bangunan besar Candi Borobudur dan Prambanan menunjukkan kokohnya eksistensi agama Budha dan Hindu Jawa, tidaklah benar. Kedua bangunan itu lebih mencerminkan pertarungan antar elite kekuasaan. Dinasti Syailendra, kaki tangan Kerajaan Sriwijaya Palembang di Jawa membangun Borobudur. Para penguasa lokal yang beragama Hindu Syiwa memandang keluarga Syailendra sebagai penjajah asing yang baru saja menancapkan pengaruhnya.

Akhirnya pada tahun 856 M, Syailendra berhasil dikalahkan. Untuk mengenang kemenangan ini Rakai Pikatan membangun candi Prambanan, sebagai monumen kemenangan kekuasaan Hindu atas kekuasaan Budha. (Lihat, Paul Michel Munoz, Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia (Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara, Jaman Prasejarah – Abad XVI) , (Yogyakarta : Media Abadi, 2009) hal. 318-323).

Yang paling menderita di era kebudayaan candi ini tentu saja rakyat jelata dari kasta Sudra dan Paria. Para petani, peternak dan pedagang kecil yang termasuk dalam kasta tersebut dipaksa untuk melakukan kerja bakti membangun candi yang berlangsung selama puluhan tahun. Akibatnya mata pencaharian pun terbengkalai, demikian juga kehidupan keluarganya.

Oleh karena itu, untuk menghindari kewajiban kerja bakti kepada para raja, penduduk memilih untuk eksodus keluar dari pusat-pusat pembangunan candi. (Ahmad Manshur Suryanegara, Api Sejarah, Jilid. I, (Bandung : Salamadani, 2009) hal. 55.).

Hal ini juga dikuatkan oleh kajian dari Prof. Denys Lombard yang menyatakan bahwa penghentian pembangunan gedung-gedung batu berskala besar lebih banyak disebabkan karena kerajaan Budha dan Hindu mengalami kemunduran karena ditinggalkan rakyatnya sendiri yang lebih memilih eksodus ke kota-kota pelabuhan dan sekitarnya. (Dennys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya 2 : Jaringan Asia (terj). (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008) hal. 189).

Penguasa selanjutnya dari kalangan Hindu juga masih tidak membawa kenyamanan bagi masyarakat. Sebab pada masa selanjutnya, Hindu, Budha dan aneka kepercayaan lokal telah merubah wajah ajaran Hindu dan Budha pada bentuk baru yakni Syiwa Budha Bhairawa Tantra. Kepercayaan Siwa-Budha Bhairawa Tantra ini menghasilkan bentuk ritual yang disebut sebagai upacara Pancamakara atau lebih dikenal dengan upacara Ma-lima.

Menurut S. Wojowasito, bentuk upacara (ritual) dari sekte ini sangat mengerikan.. (Wojowasito,S, Sedjarah Kebudajaan Indonesia, Indonesia Sedjak Pengaruh India, (Jakarta : Penerbit Siliwangi, 1952) hal. 148).

Ritual ma lima terdiri dari matsiya (memakan ikan gembung beracun), manuya (minum darah dan memakan daging gadis yang dijadikan kurban), madya (meminum minuman keras hingga mabuk), mutra (menari sampai ekstase), dan maithuna (ritual seks massal di tanah lapang yang disebut setra). (HM Rasyidi, Islam dan Kebatinan (Jakarta : Bulan Bintang, 1967) hal. 95).

Adityawarman, seorang Radja dari kerajaan Melayu (yang menjadi menantu raja Majapahit) menerima penasbihannya di tengah-tengah lapangan bangkai, sambil duduk di atas timbunan bangkai, tertawa minum darah, menghadapkan kurban manusia yang menghamburkan bau busuk, tetapi bagi Adityawarman sangat semerbak baunya. (Wojowasito, Sedjarah Kebudajaan Indonesia, Indonesia Sedjak Pengaruh India, hal. 149).

Proses ini jelas tergambar dalam patung Adityawarman di Museum Nasional yang digambarkan tengah memegang cawan darah, gelas anggur dan ratusan tengkorak yang mengalungi hampir semua bagian tubuhnya.

Proses Islamisasi di Nusantara kemudian berhasil mengubah identitas agama dan budaya sebagian besar masyarakat Nusantara menjadi Islam. Peradaban Melayu mencakup seluruh wilayah di Nusantara, apa pun suku bangsanya. Identitas Islam inilah yang kemudian secara sistematis berusaha dipisahkan oleh kaum penjajah.

Salah satunya adalah dengan cara mengangkat dan membesarkan zaman pra-Islam. Itulah yang misalnya dilakukan dengan memitoskan kebesaran Majapahit.

Pada CAP lalu, sudah kita kutip, misalnya, suara dari Majalah Media Hindu (Oktober, 2011) yang menyatakan: "Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara dan mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi negara maju."

Namun, suara-suara yang memitoskan kebesaran Majapahit ("Majapahitisme") juga telah mendapatkan kritik dari kalangan kaum Hindu sendiri. Majalah Hindu, RADITYA, (edisi September 2008) menurunkan laporan utama yang mengkritik pengagungan Majapahit:

"Majapahitisme atau keterpesonaan terhadap Hindu di zaman majapahit tidaklah ideal. Pertama, karena pada masanya saja, masyarakat Hindu Majapahit gagal mempertahankan eksistensinya, gara-gara lebih banyak terlibat konflik internal bikinan elite Majapahit ketika itu. Siwa-Budha kala itu pun tidak bisa berperan banyak dalam mewujudkan masyarakat yang rukun, tat twam asi dan sejenisnya. Majapahit selain berhasil menundukkan banyak daerah bawahan, juga sibuk perang saudara. Agama di dalam masyarakat seperti ini lebih menjadi bersifat gaib, eksklusif, hanya untuk berhubungan dengan dewa-dewa yang abstrak. Agama Siwa Budha meskipun sudah menjadi agama kerajaan tidak bisa diamalkan oleh elite di sana yang lebih dikuasai motif politik, motif perebutan kekuasaan. Agama gagal menginspirasi kehidupan sehari-hari tentang hal-hal lebih praktis menyangkut pola interaksi antarindividu...Jika Majapahit meninggalkan hal-hal pahit bagi penganut Hindu ketika itu, lantas apa enaknya mengenang hal-hal pahit?"

Jadi, menurut majalah RADITYA, impian untuk kembali ke Majapahit justru merugikan kaum Hindu sendiri. Analisis majalah Hindu ini menarik, sebab ini terkait dengan identitas nasional Indonesia yang sering dicitrakan identik dengan Hindu, Budha, dan Sansekerta. Jika ditampilkan Candi Hindu Prambanan dan Candi Budha Borobudur, maka itu dikatakan sebagai "identitas nasional". Tapi, jika ditampilkan Masjid, maka seolah-olah dianggap bukan identitas nasional. Tengoklah ornamen-ornamen di Bandara Soekarno-Hatta! Bandara internasional itu dipenuhi dengan simbol-simbol Hindu-Budha yang dianggap sebagai symbol nasional. Tapi, tidak tampak simbol-simbol Islam, seperti kaligrafi ayat al-Quran, Masjid, dan sebagainya.

Masalah simbol atau identitas bagi suatu agama atau peradaban merupakan hal yang penting dan terkadang juga sensitif. Kaum Hindu di Bali melakukan protes ketika simbol-simbol dan identitas agamanya direbut oleh kaum Kristen. Sebab, menurut mereka, identitas Hindu dibajak untuk tujuan pengkristenan orang Hindu. Majalah Media Hindu, (edisi November 2011) menulis tentang masalah ini:

"Sebenarnya bahaya laten yang seolah tidak kelihatan tapi jauh lebih berbahaya adalah upaya-upaya sistematis orang-orang Kristen untuk menjadikan seluruh penduduk Bali menjadi pengikut Yesus (menjadi Kristen) dan saat ini pun masih berjalan terus. Penampilan fisik yang sama dengan pura, memakai upacara mirip "Hindu Bali" bisa menyesatkan orang-orang Bali beragama yang umumnya lugu dan toleran. Lebih lagi bila sebutan tuhan yang disembah di "Pura Gereja" ini dimirip-miripkan dengan Tuhan orang Hindu Bali, misalnya Sang Hyang Yesus, Sang Hyang Allah Aji, Ratu Biang Maria, misalnya."

Tahun 2011 ini, Penerbit Paramita Surabaya, menerbitkan buku berjudul "Membedah Kasus Konversi Agama di Bali: Kronologi, Metode, Misi dan Alasan di Balik Tindakan Konversi Agama dari Hindu ke Kristen dan Katolik di Bali serta Pernik-pernik Keagamaan di Dunia", karya Ni Kadek Surpi Aryadharma.
Penulis buku ini mengkritik penggunaan atribut kebudayaan Hindu Bali dalam aktivitas keagamaan Kristen: "Jika dicermati, sesungguhnya apa yang dilakukan oleh umat Kristen di Bali adalah keliru. Sebab dalam aturan yang disepakati oleh lembaga-lembaga agama dan pemerintah telah ditentukan tidak boleh mengambil tatanan ibadah dari agama lain. Karena itu orang Kristen di Bali mestinya tidak mengambil simbol-simbol keagamaan Hindu." (hal. 55). "...karena itu budaya agama Hindu itu 100% tidak boleh digunakan oleh orang Kristen." (hal. 260).

Menurut buku ini, misi Kristen merupakan kejahatan agama yang harus diperangi. "...program misi dan konversi agama harus diperangi, dilawan dan diberantas habis sampai tuntas karena hal itu merupakan kejahatan atas nama agama." (hal. 260). "Jadi, janganlah sapi-sapi Hindu ditangkapi oleh penggembala domba Kristen dan dimasukkan ke dalam kandang domba. Ingat, jika sapi-sapi yang ditangkapi itu suatu saat jengkel karena stress dan kemudian ngamuk dalam kandang domba, maka bukan saja domba-domba dalam kandang yang kacau-balau, bisa-bisa penggembalanya juga ikut diseruduk. Ingat peristiwa seorang misionaris dibunuh oleh convert-nya sendiri." (hal. 258).

Salah satu yang diprotes kaum Hindu tadi adalah penggunaan istilah Hindu untuk menyebut Tuhan kaum Kristen, seperti "Sang Hyang Yesus", "Sang Hyang Allah Aji", "Ratu Biang Maria", dan lain-lain. Pemerintah Malaysia juga melarang kaum Kristen untuk menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka. Sebab, Allah adalah nama Tuhan yang resmi disebut dalam al-Quran. Allah – dalam al-Quran – memiliki sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diberi sifat sembarangan. Misalnya, Allah sendiri yang menjelaskan sifat-sifat-Nya, bahwa Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan; bahwa Dia tidak serupa dengan sesuatu pun.

Sementara itu, kitab kaum Kristen – baik Perjanjian Lama (bahasa aslinya Ibrani) dan Perjanjian Baru (bahasa aslinya Yunani Kuno) – memang tidak menyebut nama Tuhan mereka. Karena itulah, dalam tradisi Kristen, tidak ditemukan penyebutan nama Tuhan yang baku, sehingga mereka boleh menyebut Tuhan mereka, sesuai dengan tradisi atau kemauan mereka.

Pendeta A.H. Parhusip, dalam sebuah buku kecil yang ditulisnya, dengan judul Waspadalah terhadap Sekte Baru, Sekte Pengagung Yahweh (2003), menulis tentang kebebasan menyebut nama Tuhan ini:

"Lalu mungkin ada yang bertanya: Siapakah Pencipta itu dan bagaimanakah kalau kita mau memanggil Pencipta itu? Jawabnya: Terserah pada Anda! Mau panggil; Pencipta! Boleh! Mau panggil: Perkasa! Silahkan! Mau panggil: Debata! Boleh! Mau panggil: Allah! Boleh! Mau panggil: Elohim atau Theos atau God atau Lowalangi atau Tetemanis...! Silakan! Mau memanggil bagaimana saja boleh, asalkan tujuannya memanggil Sang Pencipta, yang menciptakan langit dan bumi... Ya, silakan menyebut dan memanggil Sang Pencipta itu menurut apa yang ditaruh oleh Pencipta itu di dalam hati Anda, di dalam hati kita masing-masing. Lihat Roma 2:14-15."

Kaum Kristen menggunakan nama Tuhan sesuai dengan budaya setempat dan untuk tujuan tertentu, seperti tujuan misi Kristen. Di Barat mereka tidak menyebut nama Tuhan. Di wilayah Arab, kaum Kristen meminjam sebutan Tuhan yang biasa digunakan oleh masyarakat di sana, yaitu "Allah". Dalam Penjelasan Lembaga Alkitab Indonesia, tertanggal 21 Januari 1999, ditandantangani oleh Sekretaris Umumnya, Supardan, kata Allah di Indonesia mulai digunakan sejak abad ke-16. Tentu, ini juga untuk tujuan Misi, karena kaum Muslim di wilayah ini sudah menyebut Tuhan dengan nama Allah, sesuai dengan yang tercantum dalam Kitab Suci al-Quran. Kaum Kristen yang menyebarkan agama di wilayah Nusantara adalah Kristen Barat yang tidak punya nama Tuhan.

Samin Sitohang dalam bukunya, Siapakah Nama Sang Pencipta? Menjawab Kontroversi Sekitar Pemakaian Nama Allah dalam Alkitab, menulis: "Jadi, jika Alkitab bahasa Indonesia menggunakan Allah untuk nama Sang Pencipta, itu berarti Roh Allah sedang menyiapkan umat-Nya yang berasal dari golongan lain untuk menerima Injil karena mereka tidak perlu harus membuang Allah untuk mendapatkan nama Sang Pencipta yang baru."

Jika kaum Hindu memprotes penggunaan istilah "Sang Hyang Yesus" oleh kaum Kristen, apa umat Islam juga harus protes kepada kaum Kristen, karena kata Allah dipinjam oleh mereka? Wallahu a'lam bil-shawab. (Depok, 18 November 2011).

Penulis Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor

Sumber: hidayatullah.com

Followers