Ketika Tuhan memanggilmu ke Pangkuan Nya datang dan dekaplah dalam hati nuranimu

Kamis, 16 Maret 2017

Uzlah dan Uzlah Hati | Suluk

## UZLAH  : menyendiri dalam urusan sendiri sekalipun berada bersama orang lain. Bukan semata- mata menjauhkan diri dan tempat. Hendaknya dapat menyendiri dalam hati walaupun jasadnya bergaul dengan orang-orang lain  Uzlah dari manusia adalah dengan jalan tidak mencampuri, tidak ikut, dan tidak memasuki urusan-urusan mereka. Adapun dapat bersama mereka dalam mengerjakan Jum’ah, berjamaah, dan memperbanyak syiar Islam.

Ibrahim bin Adham mengatakan : “Menyendirilah engkau sambil berkumpul. Sambil merasa tenteram dengan Tuhanmu. Namun merasa kesepian dengan manusia.”

Wajib engkau mengasingkan diri dari makhluk itu. Adapun yang mewajibkan engkau mengasingkan diri dari makhluk itu karena dua perkara.

PERTAMA : karena kebanyakan makhluk itu memalingkan engkau dari beribadah dengan memasukkan kebingungan-kebingungan di hatimu dan sebagainya.

Seperti yang telah dihikayatkan oleh seorang ulama. Beliau berkata : “Aku telah menemui sekumpulan orang-orang yang sedang main panahan. Di antara mereka ada seorang yang duduk menyendiri jauh dari kawan-kawannya. Maka aku ingin berbincang-bincang dengannya. Tapi dia mengatakan bahwa dzikir kepada Allah lebih baik daripada berbincang-bincang denganku.”

“Engkau menyendiri dan terpisah dari orang-orang yang lain”, kataku.

“Ah, tidak. Aku tidak sendiri. Aku bersama Tuhanku dan beserta kedua Malaikat yang di kiri kananku”, jawabnya.

“Siapakah yang menang di antara mereka?”.

“Yang mendapatkan ampunan Allah Swt”.

“Mana jalan yang menuju ke sana?”.

Dia mengarahkan tangannya ke atas, lalu berdiri dan pergi meninggalkan aku sambil berkata :”Ya Allah, kebanyakan makhluk itu memalingkan aku dari-Mu”.

Jika demikian, maka sebagian besar dari makhluk itu membimbangkanmu untuk beribadah. Bahkan terkadang menghalangimu dan membawamu ke jalan kejahatan dan kebinasaan. Karena kebanyakan mereka itu tidak mengetahui hak-hak ketuhanan, tapi hanya mengetahui hak-hak kehambaan. Dan hanya mengetahui lahirnya kehidupan dunia saja. Untuk akhirat, mereka lalai tidak memikirkannya.

Sesuai dengan ada yang dikatakan oleh Hatim Al ‘Ashom rahimahullah : “Aku minta dari makhluk lima perkara, namun aku tidak mendapatkannya.

“Aku minta mereka supaya mereka taat dan zuhud, tapi mereka tidak mau mengerjakannya.

“Aku minta supaya mereka menolongku dalam taat dan zuhud, mereka juga tidak mau.

“Aku minta agar mereka ridha jika aku taat dan zuhud, malahan mereka membenciku.

“Aku minta supaya mereka jangan menggangguku dalam menjalankan taat dan zuhud, tapi mereka menghalangiku dari taat dan zuhud.

“Aku minta supaya mereka jangan mengajak aku kepada jalan yang tidak diridhai oleh Allah dan jangan memusuhi aku jika tidak mengikuti mereka. Tapi mereka tidak mau demikian.

“Oleh karena itu, aku tinggalkan saja mereka dan aku khususkan mengurus diriku sendiri”.

** Dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Amr bin al’Ash r.a, beliau berkata : “Di kala kami berkumpul di hadapan Rasulullah Saw dan diceritakan tentang adanya godaan-godaan (fitnah), maka Nabi Saw bersabda :’Di mana kamu telah melihat manusia merusak janjinya, dan sedikit amanatnya. Dan mereka sudah menjadi demikian’. Nabi Saw kemudian memberi isyarat seraya menjalinkan jari-jari tangannya, sebagai isyarat campur aduknya kebaikan dan kejahatan).

“Aku bertanya : ‘Jika sudah demikian, kami harus bagaimana ya Rasulullah?’

“Jawab Rasulullah : ‘Maka kamu harus menetap di rumah. Kuasai lidahmu. Ambillah apa yang kau ketahui baik, dan tinggalkan apa yang tidak engkau kenal. Dan perbaiki khusus dirimu serta tinggalkan urusan umum”.(Hadits shahih)

[Kuasai lidahmu : lihat catatan berjudul Adab Suluk | Bicara dan Adab Suluk | Tidak Bersenda gurau ]

** Dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw telah mengatakan tentang zaman fitnah.

Ibnu Mas’ud bertanya kepada Rasulullah Saw : “Apakah itu?”

Sabda Rasulullah Saw : “Ialah bila seseorang sudah tidak merasa aman dari kejahatan temannya sendiri, apalagi dari orang lain”.

** Dari Sofyan bin ‘Uyainah yang mengatakan sebagai berikut : “Saya telah katakan kepada Tsauri : ‘Berilah saya wasiat’.

“Jawabnya : ‘Kurangi pergaulanmu dengan orang lain!’

“Kata saya : ‘Bukankah telah diterangkan dalam hadits bahwa kita disuruh banyak berkenalan seperti bunyi hadits yang diterangkan Hakim dari Sayyidina Anas r.a : ‘Perbanyaklah berkenalan dengan orang-orang mukmin, karena bagi tiap mukmin ada syafaat nanti di hari Qiyamah’.

“Jawab Ats-Tsaury : “Ya, tapi engkau tidak akan menemui kekecewaan kecuali dari orang-orang yang engkau kenal”.

** Kata Ibnu Uyainah bahwa pada pintu rumah Ats-Tsaury ada tulisan : Terima kasih, semoga Allah membalas kebaikan kepada orang-orang yang tidak kami kenal. Tapi terima kasih ini tidak kami ucapkan pada teman-teman kami. Lantaran gangguan-gangguan itu sering datangnya dari mereka.

** Dari Abu Ubaidah : “Aku belum pernah melihat seorang yang bijaksana melainkan pada akhir katanya mengucapkan ‘Jika kau menyukai agar dirimu tidak terkenal di antara manusia, maka kau akan mendapat kedudukan yang tinggi dari Allah’.

Rasulullah Saw menyampaikan kata-kata Allah Swt : “Terbanyak para muqarrabun adalah mereka yang rendah hati, merasakan kesenangan dalam shalat, memuja Tuhannya dalam jalan yang Ku-suka, dan mentaati-Ku dengan cara tersembunyi dan terang-terangan. MEREKA TERSEMBUNYI, TIDAK DIKETAHUI BANYAK ORANG. Mereka tidak selalu ditunjuki Allah. Mereka puas dengan apa yang sedikit. Mereka bersabar dalam menerima dan menghadapi ujian. Rasulullah Saw memberikan pernyataan tentang para muqarrabun tersebut : “Kematian mendatangi mereka dalam usia muda, sedikit yang akan menangisi mereka, dan mereka memiliki keturunan yang sedikit”.(HR. Abu Umama r.a)

(* Catatan mengenai “Tidak Terkenal” dalam dilihat pada tulisan berjudul : Adab Suluk | Tidak Mencari Ketenaran );

KEDUA : Hal yang mendorong kepada uzlah ialah karena manusia itu kebanyakan dapat merusak ibadah yang engkau telah hasilkan dengan ajakan-ajakan yang menarik kepada riya dan hiasan jika tidak ada perlindungan dari Allah Swt.

Diceritakan bahwa Harim Ibnu Hayan berkata kepada Uwais Al-Qarni : “Ya Uwais, silahkan engkau datang bertamu dan berjumpa.” Jawab Uwais : “Aku sudah bersilaturahmi denganmu dengan jalan yang lebih bermanfaat dari keduanya itu, yaitu doa dari jauh. Karena bertamu dan berjumpa itu melahirkan hiasan dan riya.”

Jika seseorang tidak ingin ada hubungan dengan orang lain, maka jangan mencampuri salah satu urusan mereka apapun juga. Mulai dari urusan agama atau dunia.

Bergaul dengan masyarakat memerlukan dua perkara penting :

1] Kesabaran yang terus menerus atas segala penderitaan yang didapat dari pergaulan.

2] Hendaknya dapat menyendiri dalam hati walaupun jasadnya bergaul dengan orang-orang lain :

Jika mereka bicara dengan baik, hendaknya dibalas dengan setimpal. Jika mereka bertamu hendaknya dihormati menurut tingkatan dan disyukuri. Jika mereka diam dan berpaling, maka ambil faedah dari diamnya mereka. Jika mereka mengerjakan yang haq dan kebaikan, maka bantu mereka. Jika mereka mengerjakan hal-hal yang tidak berfaedah atau melakukan kejahatan,  jauhi mereka dan larang mereka jika sekiranya mereka menerima. Tunaikan hak-hak yang lazim untuk tetamu dan untuk berkunjung, tanpa meminta dan mengharapkan balasan dari mereka. Dan jangan memperlihatkan muka kecut terhadap mereka. Jika dapat, perbanyaklah menolong mereka. Jika mereka memberi hendaknya jangan bernafsu menerimanya. Dan hendaklah kuat menanggung akibat dari sikap mereka. Dan selalu menampakkan muka manis terhadap mereka. Dan menyembunyikan kebutuhan diri dari mereka.

“Jika engkau ingin mengikuti petunjuk dari para Imam,

maka kuatkanlah dirimu untuk menerima musibah-musibah.

Dengan jiwa yang hilim di waktu menghadapi tiap kepahitan.

Dan hati yang sabar terbentang dalam dada.

Lisanmu perlu dikunci.

Matamu dikendalikan.

Rahasiamu tersembunyi dan hanya dilihat oleh Tuhan saja.

Namamu jangan terkenal.

Pintumu ditutup. Mulutmu tersenyum. Perutmu lapar.

Hatimu luka. Pemasaranmu sepi. Pangkatmu dipendam.

Dan tiap hari menelan perasaan pahit dari pengaruh zaman dan teman. Sedangkan hatimu menurut.

Siangmu sibuk mengislahkan orang-orang tanpa membangkit-bangkit.

Malammu rindu kepada Tuhan. Sepi dari pandangan.

Ambillah kesempatan pada malam itu. Jadikanlah ia jalan dan persiapan untuk Hari Qiyamah yang saat itu sulit sekali mencari jalan.”

INGAT! Orang-orang yang uzlah mesti tetap bergaul dalam hal-hal kebaikan dan menjauhi dalam hal-hal yang lain karena di dalamnya terkandung beberapa bahaya.

** Yang memudahkan untuk ber-uzlah itu ada tiga macam :

1] Menghabiskan waktu dalam beribadah.

Sehingga engkau tidak menjadi asyik dengan makhluk di mana hal itu pertanda engkau pailit.

Jika engkau asyik beribadah sebagaimana mestinya, tentu akan merasakan manisnya ber-munajat kepada Allah. Dan engkau  akan merasa senang dan gembira sekali dengan Al-Qur’an atau kitab-kitab agama lainnya. Sehingga kesibukan itu akan memalingkan engkau dari makhluk.

2] Memutuskan hubungan dari manusia sama sekali.

Dalam arti kata, engkau tidak terikat. Karena setiap orang yang tidak engkau harapkan manfaat daripadanya dan tidak khawatir apa-apa olehnya, maka ada dan tiadanya sama saja.

3] Mengamat-amati akan bahaya yang disebabkan oleh makhluk.

Bahaya seperti pergunjingan, hasud, dengki, dan sebagainya.

** Bila bertamu kepada saudara-saudara seagama dan menghubungi sahabat-sahabat untuk saling bertemu dan saling memperingati, berlaku dua syarat :

1] Jangan berlebih-lebihan dan jangan sering-sering.

Rasulullah Saw bersabda,”Bertamulah engkau pada waktu tertentu saja, nanti akan bertambah cinta.”

2] Dalam bertamu perlu mematuhi yang haq. Dengan menjauhi riya, atau kelakuan yang dibuat-buat, atau berkata yang tidak karuan, bergunjing, dan sebagainya.

(* Sumber : Minhajul Abidin, Imam Al-Ghazali; Penerjemah : K.H. Abdullah bin Nuh);

## UZLAH HATI :

Ibnu Athaillah r.a mengingatkan bahwa yang dikehendaki adalah sebagian uzlah, bukan menjadikan uzlah sebagai jalan hidup sehingga seseorang menghindari masyarakat dan menjauhkan diri dari dunia. Sebab, fitrah manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial.

Tidak ada yang bisa memberikan manfaat kepada hati seperti uzlah, karena uzlah dapat membersihkan hati dari kelalaian. Uzlah bisa dilakukan dengan melibatkan hati dan tubuh, yaitu dengan menjauh dari makhluk.

Uzlah bisa dilakukan pula hanya dengan hati, yaitu tetap bergaul  dengan manusia sementara hati tetap bersama Allah. Karena itu ada ungkapan berbunyi : “Hendaklah lahiriahmu bersama makhluk, tetapi jiwamu bersama Allah.”

Uzlah yang dimaksud oleh Ibnu Athaillah r.a adalah uzlah dalam pengertian yang pertama. Sebab, hati biasanya hanya bisa menyendiri jika pemiliknya menjauh atau berada jauh dari makhluk.

| Manfaat uzlah bagi hati dengan menjauh dari manusia untuk bertafakur adalah seperti manfaat diet bagi kesehatan tubuh orang yang sakit. Keadaan hati juga seperti itu. Hati akan menjadi sehat dan bagus jika sesekali ia menjalani diet dengan menjauh dari makhluk sehingga terbebas dari lintasan pikiran, bisikan, dan kelalaian yang menguasai dirinya dan yang bisa menjadi sebab kematian hatinya. Hati menjadi lapang dan tubuh menjadi lebih tenang. Sebab, pergaulan dengan banyak orang bisa jadi akan membuat kita merasa lelah, bosan, penat, dan sering kali pikiran kita pun lelah karena banyak memperhatikan urusan manusia. Tubuh juga kerap merasa penat karena banyak berusaha memenuhi kebutuhan diri dan keinginan sebagian mereka. Meskipun apa yang kita lakukan untuk orang lain akan mendatangkan pahala untuk kita, tetapi kita juga kehilangan sesuatu yang lebih agung dan penting, yaitu menyatunya hati di hadapan Tuhan. |

Selama uzlah, hamba bisa membaca kitabullah, memikirkan untuk apakah selama ini usianya dihabiskan, merenungkan kelalaiannya kepada Tuhan, serta memikirkan seperti apakah tempat kembalinya di hari akhir. Jadi, uzlah tidak dijalani dengan melakukan sesuatu yang terlarang, misalnya merenungkan sesuatu yang haram atau membaca bacaan yang penuh dengan tipudaya dan khurafat.

Rasulullah Saw sendiri memberi kita contoh betapa beliau suka berkhalwat dan bertafakur demi mendapatkan pemahaman mengenai kaumnya dan juga alam semesta pada masanya. Secara lebih khusus, beliau banyak menyendiri menjelang Allah mengangkatnya sebagai Nabi dan Rasul. Beliau beribadah selama beberapa malam di Gua Hira hingga akhirnya turun wahyu dari Allah. Rasulullah Saw masih suka berkhalwat sesudah beliau diangkat sebagai nabi, yaitu ketika beliau diperintah mendirikan shalat malam.[]

* Sumber : Taj al-Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus, 2011; (Tajul Arus, 2013)

Makna “Bersihkan Bajumu” (“Dan pakaianmu bersihkanlah”-QS. Al-Muddatstsir : 4) | Suluk

Ibnu Athaillah r.a. berkata,”Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili r.a. berujar,’Seseorang berkata kepadaku,”Hai Ali, bersihkan bajumu dari kotoran, pasti pada setiap tarikan nafas kau akan dijaga dengan pertolongan Allah.” “Baju apakah?” Ia menjawab,”Allah telah memberimu pakaian makrifat, pakaian tauhid, pakaian cinta, pakaian iman, dan pakaian Islam. Barang siapa mengenal Allah, segala sesuatu menjadi kecil dalam pandangannya. Barang siapa mencintai Allah, segala sesuatu menjadi remeh baginya. Barang siapa mengesakan Allah, ia tidak akan menyekutukan-Nya dengan sesuatu. Barang siapa beriman kepada Allah, ia akan selamat dari segala sesuatu. Barang siapa patuh kepada Allah, ia akan sulit bermaksiat. Kalaupun bermaksiat, pasti ia segera memohon ampunan. Dan kalau meminta ampunan, niscaya diterima.” Dari sana aku memahami firman Allah yang berbunyi,”Bersihkan bajumu!”

Tafsir lahiriahnya adalah bahwa Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk membersihkan pakaiannya dari segala najis dan kotoran. Sebab, seorang mukmin harus tampil baik dan bersih, tidak pantas membawa kotoran.

Berkaitan dengan tafsir batiniahnya, Ibn Abbas berkata,”Baju adalah kiasan dari hati. Jadi, ayat itu maknanya bersihkan hatimu dari dosa dan maksiat.” Untuk menguatkan tafsiran tersebut, Ibnu Abbas mengutip ungkapan Ghaylan : “Alhamdulillah aku tak memakai pakaian pendosa. Dan aku pun tidak berhias dengan sikap khianat.”

Menurut al-Razi, pakaian diibaratkan sesuatu yang melekat pada manusia. Karena itulah kata baju digunakan sebagai kiasan bagi apapun yang melekati diri manusia, termasuk dosa dan kotorannya. Ada ungkapan berbunyi,”Kemuliaan terletak pada pakaiannya dan pemahaman terletak pada sarungnya.”(Madarij al-Salikin, Ibn al-Qayyim, 2/22). Makna kedua inilah yang dimaksud oleh ungkapan di atas.

Siapa yang membersihkan hatinya dari cinta kepada selain Allah lalu ia mengisinya dengan cinta kepada Allah maka segala sesuatu menjadi remeh dan kecil dalam pandangannya. Siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, ia akan sulit bermaksiat. Kalaupun melakukan maksiat, ia akan segera bertaubat kepada Allah seraya memohon ampunan kepada-Nya sehingga permohonan maafnya diterima.[]

* Sumber : Taj al-Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus, Syaikh Ibnu Athaillah, 2011; (Tajul Arus, 2013)

Shalat (Syaikh Ibnu Athaillah) – Bagian 2 | Suluk

[14] Ketahuilah, setiap shalat yang tidak mencegah dari perbuatan keji dan munkar tidak bisa disebut shalat. Karenanya, dirikanlah shalat disertai kesadaran bahwa jika shalat kita tidak dapat mencegah diri kita dari perbuatan keji dan munkar maka sesungguhnya shalat tersebut tidak diterima di sisi Allah meskipun kewajiban kita telah gugur.

[15] Shalat juga menjadi obat bagi hati agar tidak gelisah dan resah, serta selalu ridha kepada Allah. Sebab, hati orang yang shalat selalu terhubung kepada Allah. Ia tidak meminta kepada selain Dia, tidak takut kepada selain Dia, serta selalu memuji Allah, saat senang maupun susah.

[16] “Ibnu Athaillah berkata : Perumpamaan orang yang menunaikan shalat tanpa kehadiran hati adalah seperti orang yang menghadiahkan seratus kotak kosong kepada raja. Tentu orang itu pantas dihukum. Sementara, orang yang shalat dengan kehadiran hati adalah seperti orang yang menghadiahkan permata senilai seribu dinar kepada raja. Tentu saja raja akan selalu mengingatnya.”

[17] Apabila kau masuk dalam shalat, sesungguhnya kau sedang bermunajat kepada Allah Swt dan berbicara kepada Rasulullah Saw. Kau sedang berbicara dengan Allah, Sang Raja Diraja, dan berbicara kepada Rasul-Nya. Karena itu, berkomunikasilah dengan jasad, hati, dan ruhmu. Sungguh berbeda orang yang shalat disertai kehadiran hati dari orang yang shalat dengan hati yang lalai. Allah tidak menerima doa orang yang hatinya lalai. Orang yang mengerjakan shalat tanpa kehadiran hati maka shalat yang dikerjakannya adalah shalat yang kosong. Alih-alih mendapatkan pahala, ia malah layak mendapat hukuman. Ketahuilah, bahwa gerakan anggota badan laksana jasad, sementara kehadiran hati bersama Allah dan kekhusyukan merupakan ruhnya. Lalu, bagaimana shalat kita akan naik menuju Allah jika hanya berupa jasad tanpa ruh?! Mungkinkah bangkai mati bisa terbang kepada-Nya?!

[18] Para ulama tidak mensyaratkan kehadiran hati dalam keseluruhan shalat, karena hanya segelintir  orang yang bisa melakukannya. Jadi, kehadiran hati hanya disyaratkan ketika nama-Nya disebutkan meskipun sesaat. Tentu yang paling utama adalah saat takbir. Kita membatasi syarat kehadiran hati hanya pada saat takbir. Namun, orang yang lalai pada keseluruhan shalatnya tidak seperti orang yang tidak shalat sama sekali. Sebab, secara lahiriah, amalnya lebih baik dan hatinya lebih hadir.

[19] Rasulullah Saw bersabda,”Ketika seorang hamba mendirikan shalat, tidaklah dicatat untuknya seperenam atau sepersepuluhnya, tetapi yang dicatat untuk hamba adalah apa yang ia hayati dari shalatnya.”(HR. al-Nasai dan Ibn Hibban)

[20] Jika ingin menghadirkan hati dalam shalat maka kau harus berusaha menolak berbagai lintasan pikiran berikut sebab-sebab kedatangannya. Selain itu, sebelum takbiratul ihram kau bisa menguatkan ingatan terhadap akhirat, nilai penting munajat, dan mengingat kedudukan mulia di hadapan Allah. Kau juga bisa selalu mengingat bahwa Allah sedang melihat dan mengawasimu. Selain itu, sebelum bertakbir, kosongkanlah hatimu dari segala kerisauan sehingga tidak ada sesuatu yang bisa mengalihkan perhatianmu.

[21] Ibnu Athaillah berkata : “Shalat adalah tempat munajat dan wahana penyucian hati. Di dalamnya medan rahasia demikian luas dan kilau cahaya bersinar. Dia mengetahui kelemahan dirimu sehingga menyedikitkan bilangannya. Dia juga mengetahui kebutuhanmu terhadap karunia-Nya sehingga melipatgandakan pahalanya.”

[22] Shalat adalah tempat munajat. Munajat adalah sebentuk hubungan. Hamba bermunajat dengan Tuhannya melalui bacaan Al-Qur’an dan dzikir. Sementara, Tuhan bermunajat kepada hamba melalui pemberian pemahaman dan penyingkapan hijab. Dalam hadits shahih disebutkan,”Orang yang shalat sebenarnya sedang bermunajat kepada Tuhan.”(HR. Bukhari)

[23] Shalat merupakan wahana penyucian hati. Maksudnya, shalat bisa membersihkan ruh dari gambaran makhluk serta membersihkan munajat dari perasaan campur aduk dan bisikan kotor. Istilah itu dipergunakan untuk menggambarkan permintaan hamba dalam shalat agar Allah mengampuni berbagai kesalahan yang telah dilakukan seraya menampakkan taubat dan tekad untuk tidak melakukan kesalahan itu lagi. Dengan demikian, Allah akan mengabulkan permintaannya, mengampuninya, serta menghapus dosa yang telah dituliskan oleh malaikat dalam lembaran amalnya.

[24] Medan rahasia yang turun melimpahi hati ketika seorang hamba mendirikan shalat sangatlah luas, begitu juga kilau cahaya Ilahi yang bersinar di dalamnya, yang kemudian mengalir ke seluruh tubuh, lalu bercampur dengan ruhnya.

[25] Ketika seseorang berada di luar shalat, ia dihadapkan pada berbagai jenis kelalaian dan berbagai sebab yang membuatnya lalai. Namun, ketika ia datang menyambut seruan untuk shalat, menghadap kiblat, dan masuk ke hadirat Allah dengan bertakbir maka Allah akan menyambut serta memberikan karunia, rahmat, dan penerimaan ke dalam hati dan perasaan spiritualnya. Ketika itulah berbagai rahasia Ilahi turun disertai cahaya manifestasi Tuhan yang memenuhi perasaannya, yang semuanya tercermin dalam sikap khusyuk, hormat, dan cinta.[]

* Sumber : Taj al-Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus, 2011; (Tajul Arus, 2013)

Makna dan Hakikat Doa

–Makna dan Hakikat Doa– (Syaikh Ibnu Athaillah)

“Bagaimana mungkin permintaanmu yang baru datang belakangan akan bisa mengubah anugerah-Nya yang terdahulu?”

Dalam bahasa sufistik, soal ikhtiar, doa, dan takdir dilihat dari dimensi hakikatnya.

Bahwa secara hakikat, upaya dan doa itu tidak akan menjadi sebab terwujudnya takdir, dan tidak akan mengubah takdir. Mengapa demikian? Karena takdir Allah Swt, dengan semua ketentuan-Nya telah mendahului ikhtiar dan doa kita.

Bagaimana mungkin, sesuatu yang baru (berupaya upaya dan doa kita) bisa mengubah sesuatu yang mendahului (ketentuan Allah Swt)?

Jadi, cara memahami hakikat doa dan ikhtiar adalah :

1. Doa dan ikhtiar itu sesungguhnya juga takdir.

2. Bila Allah Swt hendak memberi anugerah seseorang, maka si hamba juga ditakdirkan dan diberi kemampuan untuk berdoa dan ikhtiar.

3. Doa dan ikhtiar hanyalah tanda-tanda takdir itu sendiri.

4. Allah memerintahkan kita berupaya dan berdoa agar kita memahami bahwa kita sangat terbatas dan tak berdaya, sehingga doa dan upaya adalah bentuk kesiapan kehambaan balaka agar kita siap menyongsong takdir-Nya.

5. Aturan syariat mengharuskan kita berikhtiar dan berdoa, karena syariat adalah aturan bagi keterbatasan manusia, dengan bahasa dan tugas manusiawi (taklif), maka seseorang akan berdoa dan berikhtiar dengan penuh kepasrahan dan kerelaan pada ketentuan dan pilihan terbaik-Nya. Bukannya berdoa untuk memaksa-Nya mengubah takdir-Nya.

Maka, Ibnu Athaillah menegaskan dengan ucapan beliau : “Maha Besar (jauh) bila hukum Azali-Nya harus disandarkan pada sebab akibat yang baru.”

Allah Swt adalah sebab segalanya. Dan segalanya bergantung semua kepada Allah Swt. Allah Swt tidak pernah menjadi akibat; seperti akibat kita berdoa Allah menuruti apa yang kita mau, akibat kita berusaha Allah mengubah takdir-Nya. Jauh dan Maha Suci dari hal-hal seperti itu.

Berdoa kita lakukan semata untuk ubudiyah, manifestasi kehambaan kita akan terwujud ketika kita berdoa. Sebab dengan berdoa, manusia merasa hina dina, merasa butuh, merasa tak berdaya dan merasa lemah di hadapan-Nya. Dan itulah hakikat ubudiyah di balik doa, agar kita tetap menjaga rasa hina, rasa fakir, rasa tak berdaya dan rasa lemah. Karena dengan nuansa seperti itu kita akan cukup bersama Allah, mulia bersama-Nya, mampu bersama-Nya, kuat bersama-Nya. Wallahu a’lam.[]–(* Sumber : Cahaya Sufi, Edisi 79);

Doa kepada Allah (Dua’ Al-Haqq) :

“Dua’ Al-Haqq atau dalam sebuah catatan ditulis ‘thalqu al-lisan‘. Kedua kata ini sinonim. Jika Allah Swt ingin memberikan sesuatu kepada hamba-Nya, Allah menggiring lisan mereka untuk mengucapkan doa dan Allah akan mendengarkan doa itu.”- (Syaikh Al-Akbar Ibnu Arabi, dalam “Catur Ilahi”‘/ Syathranju Al-Arifin);

“Tersebutlah seorang wanita shalihah yang menjadi pelayan di sebuah rumah. Ia senantiasa melaksanakan shalat malam. Suatu hari, sang majikan mendengar doa-doa yang ia baca dalam sujudnya. Katanya,”Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan cinta-Mu kepadaku agar Engkau memuliakanku dengan bertambahnya ketaqwaan di hatiku…dan seterusnya. Begitu ia selesai shalat, sang majikan bertanya kepadanya,”Dari mana Engkau tahu kalau Allah mencintaimu? Mengapa engkau tidak katakan saja, Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan cintaku kepada-Mu?’

Ia menjawab,”Wahai tuanku, kalau bukan karena cinta-Nya kepadaku, mana mungkin Dia membangunkan aku pada waktu-waktu seperti ini. Kalau bukan karena cinta-Nya kepadaku, mana mungkin Dia membangunkan aku untuk berdiri shalat menghadap-Nya. Kalau bukan karena cinta-Nya kepadaku, mana mungkin Dia menggerakkan bibirku untuk bermunajat kepada-Nya.”– (*termuat dalam buku Haidar Bagir, berjudul “Islam-Risalah Cinta dan Kebahagiaan)[]

Anggota Badan (Syaikh Ibnu Athaillah) | Suluk

“…anggota badan manusia ibarat anak air yang mengalir ke hati. Janganlah menyiram hatimu dengan perbuatan hina seperti ghibah, namimah, perkataan kotor, melihat yang tidak halal, dan sejenisnya. Hati tidak dihijab oleh yang keluar darinya, tetapi dihijab oleh yang memasukinya. Hati akan bersinar dan bercahaya dengan makanan yang halal, dzikir, bacaan Al-Qur’an, pemeliharaan diri dari melihat sesuatu yang mubah, makruh, dan terlarang. Janganlah membuka mata kecuali untuk menambah ilmu atau hikmah…”-(Syaikh Ibnu Athaillah)

Sungguh celaka jika manusia mengutamakan ibadah lahiriah yang dilakukan anggota tubuh, tetapi melupakan ketakwaan hati. Amal lahiriah tidak bermanfaat jika hati dalam keadaan lalai.

Ibnu Athaillah memberikan perumpamaan tentang hati dalam hubungannya dengan anggota tubuh. Hati bisa mendapat pengaruh buruk dari anggota tubuh sehingga hati terhijab dari Allah meskipun sesungguhnya yang menjadi pimpinan dalam diri manusia adalah hati. Anggota tubuh laksana anak sungai yang tumpah mengalir ke hati. Apabila anak sungainya dipenuhi najis maka hati ikut menjadi najis.

Sebaliknya, hati yang baik dan sehat akan melahirkan kehendak yang baik sehingga hamba kembali kepada fitrahnya dan tubuh pun kembali kepada keadaan azalinya. Beberapa jalan yang dapat ditempuh jika menghendaki hati yang bersinar dan bercahaya : [1] memakan makanan dan minuman yang halal, yang berasal dari usaha yang baik dan bebas dari syubhat; [2] berdzikir; [3] membaca Al-Qur’an.

Ada beberapa macam najis maknawi yang akan mengotori dan merusak keadaan hati, di antaranya :

– ghibah (menggunjing)

– namimah (mengadu domba), yaitu menyampaikan satu ucapan dari seseorang kepada orang lain dengan tujuan untuk merusak hubungan mereka.

– berkata buruk, yaitu ucapan yang mengandung kesombongan, kedengkian, dan rasa iri.

– melihat segala sesuatu yang tidak halal, karena ini bertentangan dengan perintah Allah : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya…”(QS [24]:30-31); Bukti bahwa perbuatan semacam itu mempengaruhi hati adalah sabda Rasulullah Saw : “Tatapan adalah salah satu panah beracun Iblis. Siapa yang menjaganya, Allah akan memberinya keimanan yang manisnya dapat dirasakan dalam hati.”

Menjaga diri dari melihat yang mubah, makruh, dan haram, jelasnya seorang mukmin harus mempergunakan penglihatannya sesuai dengan ridha Allah. Sikap tersebut merupakan bentuk syukur kepada Allah atas nikmat penglihatan. Sesungguhnya melihat yang mubah tidak terlarang. Namun, ketika melihat yang mubah akan melalaikan diri dari kewajiban, atau membuatnya menunda-nunda shalat, atau membuat hati menjadi lalai maka dalam keadaan seperti itu menghindari yang mubah menjadi lebih utama. Jadi, hati yang baik akan terus tumbuh menjadi hati yang bersinar dan bercahaya.[]

(* Dikutip dari sub-judul : Anggota Badan Bagaikan Anak-anak Sungai, dalam “Taj al-‘Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus“, 2011; “Tajul ‘Arus”, 2013)

Hakikat Berguru (Syaikh Ibnu Athaillah) | Suluk

[1] Ibnu Athaillah berkata : “Tidak semua orang yang berguru kepada seseorang mendapat petunjuk. Jangan merasa aman karena kau telah berguru kepada beberapa Syekh. Barang siapa terperdaya dengan Allah, berarti ia telah bermaksiat, karena ia telah merasa aman dari hukuman-Nya. Sikap seperti itu bagaikan ucapan orang bodoh,’Aku berguru kepada Tuan Fulan. Aku telah bertemu dengan Tuan Fulan.’ Ia mengungkapkan berbagai pengakuan yang semuanya dusta dan batil. Seharusnya ketika berguru kepada para Syekh, mereka semakin takut dan cemas. Para Syekh itu berguru kepada Rasulullah Saw sehingga mereka menjadi lebih takut dan cemas.”

[2] Lukman al-Hakim berwasiat kepada anaknya,”Anakku, apa hikmah yang telah kau dapatkan?” Ia menjawab,”Aku tidak akan memaksakan diri untuk sesuatu yang tidak penting.” Luqman kembali berkata,”Anakku, ada satu hal lagi. Duduklah bersama para ulama dan dekatilah mereka. Sebab, Allah menghidupkan yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana Dia menghidupkan tanah yang mati dengan air hujan.”(Ghayts al-Mawahib al-Aliyyah, al-randi, 2/42)

[3] Kepada orang yang merasa aman karena berguru kepada satu atau beberapa Syekh, kami bertanya : apakah Syekhmu sendiri aman sehingga bisa memberikan rasa aman dan keselamatan kepada orang lain? Jika kau merasa aman, sungguh itu merupakan bentuk penyimpangan dari prinsip Islam. Tugas seorang Syekh adalah mengantarkan kepada Allah serta mengajari murid bagaimana mencintai dan takut kepada-Nya.

Rasa takut yang sangat hebat, yang dimiliki para malaikat, para nabi dan para sahabat, muncul bukan karena banyaknya dosa dan kemaksiatan yang mereka lakukan, melainkan bersumber dari hati yang bening dan makrifat yang sempurna. Sementara, kita yang bodoh dan banyak dosa merasa aman dan tidak merasa takut semata-mata karena kebodohan dan dominannya keburukan kita. Tentu saja kita dan juga Syekh yang mengajari dan mendidik para muridnya harus lebih takut daripada mereka.

[4] Sesungguhnya, hati yang bening akan tergetar oleh rasa takut paling kecil sekalipun, sementara hati yang keras dan beku tidak mempan oleh nasihat sebanyak apapun.

[5] Setiap manusia tergadai oleh amal perbuatannya, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah : “Setiap jiwa tergadai oleh apa yang ia lakukan.”(QS [74]:15) Syekh atau guru pun tergadai oleh amalnya. Ia tidak mengetahui apakah akan selamat di hari kiamat atau tidak. Allah berfirman,”Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.”(QS [17]:15) Jika demikian, bagaimana mungkin seseorang akan aman di hari kiamat hanya lantaran berguru kepada Syekh. Sikap dan keyakinan semacam itu hanya dimiliki oleh orang yang bodoh.

[6] Ibnu Athaillah berkata : “Dalam dirimu terdapat rasa cinta kepada kedudukan, jabatan, dan sebagainya. kemudian kau berkata,’Syekh tidak menarik hati kami.’ Alih-alih berkata begitu, katakanlah,’Aral bersumber dari diri kami.’ Sebab, jika kau telah siap pada hari pertama, tentu kau tidak perlu hadir pada majelis yang kedua. Namun, kau perlu untuk hadir kembali karena karat hatimu begitu kuat dan tebal sehingga setiap majelis diharapkan bisa membersihkannya.”

[7] Barang siapa yang ingin membersihkan jiwanya dengan menghadiri majelis guru maka ia harus mempersiapkan dirinya dengan cara melepaskan diri dari semua kecenderungan nafsu dan penyakit hati. Hanya dengan keadaan seperti itulah ia bisa mengambil manfaat dari guru atau mursyidnya. Hanya saja, karat hati teramat kuat akibat kecenderungan nafsu sehingga seorang murid perlu berkali-kali duduk dalam majelis sampai hatinya bersih sedikit demi sedikit.

[8] Ibnu Athaillah berkata : “Jika kau menghadiri majelis, lalu kembali melakukan pelanggaran dan kelalaian, jangan kemudian berujar,’Apa gunanya hadir?’ Namun, tetaplah hadir! Selama empat puluh tahun kau mengidap penyakit, lalu kau berpikir penyakitmu akan hilang dalam sekejap atau satu hari?! Keadaanmu seperti pasir yang dilemparkan ke satu tempat selama 40 tahun, mungkinkah ia lenyap dalam sesaat atau dalam sehari?! Orang yang melakukan maksiat lalu tenggelam dalam suatu yang haram, niscaya ia tidak akan bisa membersihkannya meskipun menyelam tujuh lautan jika belum bertaubat kepada Allah.”

[9] Jangan menjauhi majelis hikmah meskipun kau masih terus bermaksiat. Namun, teruslah mendekat dan menghadiri majelis. Kau harus tetap menghadiri majelis ilmu meskipun masih melakukan maksiat. Jika hari ini tidak mendapat manfaat, mungkin esok kau akan mendapatkannya. ketahuilah, satu kali duduk di majelis seorang ulama yang tulus dapat membuatmu berubah dari sosok pelaku maksiat menjadi hamba yang taat dan takut kepada Allah.

[10] Menghadiri majelis ilmu harus disertai sikap taubat dari dosa dan kelalaian agar hati menjadi bersih dan mendapat manfaat besar dari berbagai hakikat Islam yang ia dengar. Jika kelalaian masih bersarang dan hatimu masih berkarat serta terhijab oleh maksiat, bagaimana mungkin hatimu bisa memahami apa yang didengar. Ketahuilah, obat penyembuh ada di tanganmu. Lenyapkanlah hijab yang menutupi hatimu. Dengan begitu, kau akan mendapatkan manfaat besar dari kehadiranmu di majelis dan mendengarkan nasihat.[]

* Sumber : Taj al-Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus, 2011; (Tajul Arus, 2013)

MUTIARA HIKMAH AL HIKAM (Syekh Ibnu Athoillah)


MUTIARA HIKMAH AL HIKAM (Syekh Ibnu Athoillah)Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary 


“Pedihnya bencana menjadi ringan﹑ manakala anda mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala adalah yang memberi cobaan bagimu. Dzat Yang menghadapkan takdir-takdir padamu adalah Dia yang mengembalikan padamu agar ada kebaikan ikhtiar darimu''.
 “Siapa yang bertaubat menang,
 dan siapa yang tidak bertaubat pecundang”.
“Ramai yang menafkahkan dinar dan dirham,
tapi yang menafkahkan airmata sedikit”.
“Memadai kamu dikira sebagai jahil
bila Tuanmu melayanmu dengan sempurna,
 namun kamu melayanNya dengan sambil lewat”.
“Sucikan hatimu dari aib,
akan dibuka untukmu pintu ghaib”.
“Alangkah banyaknya kasih sayangmu kepada makhluk,
dan alangkah sedikitnya kasih sayangmu kepada al-Haq (Allah)”.
 “Nilai dirimu adalah
 menurut nilai apa yang kamu disibukkan dengannya”.
“Jangan kamu percaya
 bahwa manusia kekurangan ilmu,
 bahkan mereka  kekurangan taufik lebih banyak dari ilmu”.
 “Bukan dinamakan orang yang sesat  di daratan,
bahkan orang yang sesat ialah orang yang sesat dari jalan hidayah”.
 “Siapa yang ingin bertemu dengan Allah,
maka hendaklah ia melaksanakan perintah-perintah Allah”.
“Siapa yang ingin mencapai puncak,
 maka hendaklah ia memperbetulkan langkah permulaan”.
 “Siapa yang tidak meninggalkan perkara-perkara haram,
tidak memberi manfaat baginya menunaikan perkara-perkara wajib.
Siapa yang tidak memberi manfaat baginya obat”.
“Tidak ada yang merusakkan hati-hati manusia itu melainkan karenasedikitnya rasa takut”

Followers