Ketika Tuhan memanggilmu ke Pangkuan Nya datang dan dekaplah dalam hati nuranimu

Kamis, 24 Februari 2011

Belajar Tashawuf dengan Thoriqoh (Bag.1)

Sering kita dapati jika ada orang yang membaca atau mendengar istilah “tashawuf” maka dalam fikiran atau benak thariqah-1hatinya muncul suatu negative image, walau sebenarnya dia belum faham betul terhadap seluk beluk dunia itu. Tak pelak memang munculnya negative image tersebut karena dipicu oleh pengkonotasian jika orang – orang yang hidup dalam dunia tashawuf itu adalah orang – orang yang tidak dapat menerima suatu modernitas, fikirannya jumud (beku), pakaiannya dekil, miskin, hidup dalam keterbelakangan, senang dengan dunia mistik dsb. Sungguh jika pandangan tentang tashawuf seperti itu adalah pandangan yang perlu diluruskan.
Sebagian orang memang ada yang mendefinisikan tashawuf sebagai suatu aliran mistisme dalam islam. Tapi bagi yang telah mengerti tentang pokok – pokok ajaran islam, maka yang sebenarnya tashawuf itu adalah nama bagi istilah lain dari ilmu yang mempelajari tentang Ihsan.

Konon munculnya penamaan tersebut karena dahulu orang – orang yang berusaha mempraktekan tuntunan ihsan ini banyak yang memakai jubah wol yang dalam bahasa Arabnya disebut dengan istilah “shuf”. Pemakainya dinamakan “Shufi” dan perbuatannya disebut “Tashawwuf”.

Sebagaimana diketahui bahwa islam mengenal 3 pokok ajaran utama, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Ilmu yang mempelajari tentang Iman kemudian dikenal dengan sebutan Tauhid, Ushuluddin atau Aqidah. Sedang ilmu yang mempelajari tentang Islam disebut dengan Fiqh. Dan ilmu yang mempelajari tentang Ihsan disebut dengan Akhlak, Tashawuf atau Thariqah. Jadi jika merujuk pada hal ini, maka pemahaman yang menyatakan bahwa tashawuf itu adalah sebuah aliran “mistisme” dalam islam jelas amat keliru.

Untuk dapat mempraktekkan Ihsan secara benar dikenal ada dua manhaj yang dapat dipilih sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. Pertama, berusaha senantiasa melakukan ibadah seolah – olah berada dihadapan Allah Swt. Kedua, berusaha senantiasa melakukan ibadah seolah – olah dilihat oleh Allah Swt. Dan inilah dua manhaj tashawuf yang benar. Jadi apabila ada penerapan tashawuf dengan tidak memakai salah satu diantara dua manhaj ini jelas telah terjadi penyimpangan system. Penyimpangan inilah yang tidak benar bukan tashawuf yang tidak benar. Karena tashawuf (baca ; Ihsan) itu juga mengikuti tuntunan Rasulullah Saw.

Pada prinsipnya tashawuf tidak boleh bertentangan dengan syari’at. Oleh karenanya selain asas yang dipakai, dua manhaj diatas dapat dijadikan sebagai sebuah parameter untuk menilai apakah faham tashawuf yang dijalankan oleh seorang muslim itu benar atau tidak. Jika bertentangan dengan syari’at pasti salah. Dan jika memakai salah satu diantara dua manhaj diatas, insyaallah sesuai dengan syari’at. Bila sesuai dengan syari’at maka itulah tashawuf yang tidak melenceng dari islam.

Memenej hati adalah bidang utama yang digarap dalam tashawuf. Oleh karenanya menurut para ulama ahli tashawuf, dzikir adalah amaliah yang mesti dijalani oleh para pelaku – pelakunya (salik). Karena dengan berdzikir maka seorang salik akan dapat ber-takhalli, tahalli dan tajalli.

Takhalli adalah upaya mengosongkan atau meminimalisir diri seseorang dari perbuatan akhlakul madzmumah (perilaku tercela) seperti dengki, iri, takabur dan beberapa penyakit batin lainnya. Sedangkan Tahalli adalah menghias diri dengan akhlakul mahmudah (perbuatan terpuji). Dan Tajalli yaitu mendekatkan diri pada Allah Swt.

Cara seseorang mengolah dzikir inilah yang dikenal dengan istilah Thariqah. Ada ungkapan tentang hal ini yang terkenal dari Al-Imam Al-Qusyairi yaitu “Al-Ashlu fit Thariq Adz-Dzikru”. Artinya ; substansi pokok dalam thariqah adalah dzikrullah. Oleh karenanya jika anda mendengar istilah Thariqah As-Syzadziliyyah maka seharusnya yang muncul pada pemahaman ialah berarti suatu tunutunan metode berdzikir menurut Al-Imam Abil Hasan As-Syadzili. Thariqah Qadiriyyah berarti cara berdzikir menurut tuntunan Al-Imam Abdul Qadir Al-Jilani. Demikian dan seterusnya. Penamaan metode dzikir itu biasanya dinisbatkan kepada seorang tokoh waliyullah yang terkenal dan telah mengajarkannya kepada murid – murid beliau.

Bagi pandangan ulama ahli tashawuf, upaya seseorang dalam mengosongkan atau meminimalisir dirinya dari perbuatan akhlakul madzmumah itu akan sulit berhasil jika dia tidak melazimkan dirinya dengan dzikrullah. Karena manusia secara kodrati telah diberi oleh Allah Swt dua buah tabiat. Yaitu tabiat Malakutiyyah (tabiat yang mendorong kearah ketaatan kepada perintah ilahi) dan tabiat Hayawaniyyah (tabiat yang mengarah kepada penentangan terhadap tuntunan ilahi). Oleh karenanya agar yang mengisi pada pribadinya adalah tabiat malakutiyyah maka itu adalah sesuatu yang bukan mudah. Dibutuhkan sekali hidayah dari Allah Swt. Dan upaya terbaik mengharapkan naungan hidayah dari Allah Swt adalah dengan jalan dzikrullah lalu istiqomah.

Disebutkan dalam Al-Qur’an ;


Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikat rahmat akan turun kepada mereka dengan mengatakan “Janganlah kamu takut dan bersedih. Dan bergembiralah kamu sekalian dengan jannah (surga) yang telah dijanjikan Allah kepadamu“. (AQ. Surat (41) Fushilat, A. 30).

Tashawuf tidak boleh bertentangan dengan syari’at. Oleh karenanya bagi ulama tashawuf muttashil (bersambung)-nya sanad dzikir dari pelaku sampai kepada shahibus syar’i yaitu Rasulullah Saw menjadi dianggap penting dan vital. Karena jika sanad dzikirnya tidak tasalsul (bersambung mata rantainya) sampai kepada Rasulullah Saw maka thariqah yang dijalaninya menjadi batal secara riwayah (batal demi hukum). Dan jika batal maka 3 buah faedah dzikir seperti yang telah disebut diatas tidak akan diperoleh oleh si dzakir (pelaku dzikir). Oleh karenanya jangan heran jika kita melihat ada beberapa orang yang mengaku menjalani thariqah akan tetapi kelakuannya masih buruk akhlak. Hal itu terjadi bukan tidak mungkin karena sanad mereka munqathi’ (terputus) serta tidak shahih, namun mereka mengaku sanadnya muttashil. Untuk itu berhati – hatilah memilih seorang mursyid (guru pembimbing). Lihat dulu backgroundnya, nasabnya, haliahnya dsb. Insyaallah dengan kehati – hatian dalam memilih maka kita akan dapat terminimalisir dari ketergelinciran.


Sumber : http://al-kahfi.net

0 comments:

Followers