PROFIL PENGARANG KITAB ILMU ALAT (1)
---------------
KH. M. MA'SHUM BIN ALI
---------------
KH. M. Ma’shum bin Ali; Penampilan Sederhana, Ilmunya Mendunia
Kesederhanaannya membuat banyak orang tidak mengenal tidak mengenal tokoh alim satu ini. Padahal beliau adalah pengarang kitab Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah. Sebuah k...itab ilmu sharaf yang amat masyhur di nusantara, bahkan di luar negeri.
Nama lengkapnya Muhammad Ma’shum bin Ali bin Abdul Jabbar Al-Maskumambani. Lahir di Maskumambang Gresik, tepatnya di sebuah pondok yang didirikan oleh sang kakek.
Setelah belajar pada ayahnya, Ma’shum muda pergi menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng Jombang. Ia termasuk salah satu santri generasi awal Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Pada masa itu, selain dituntut untuk belajar, para santri juga diharuskan berjuang melawan penjajah. Kedatangannya di Tebuireng disusul oleh adik kandungnya, Adlan Ali –yang kelak atas inisiatif Hadratus Syaik Hasyim Asy’ari, Kiai Adlan Ali mendirikan Pondok Putri Walisongo Cukir.
Bertahun-tahun lamanya pemuda Ma’shum mengabdi di Tebuireng, kemampuannya dalam segala bidang ilmu, terutama bidang falak, hisab, sharaf, dan nahwu membuat Hadratus Syaikh tertarik untuk menikahkan dengan putrinya, Khairiyah,
Mendirikan Pondok
Seblak adalah sebuah nama dusun yang terletak sekitar 300 m. sebelah barat Tebuireng. Penduduk Seblak kala itu masih banyak yang melakukan kemungkaran, seperti halnya warga Tebuireng sebelum kedatangan Hadratus Syaikh. Melihat kondisi ini, Kiai Ma’shum merasa terpanggil untuk menyadarkan masyarakat setempat dan mengenalkan Islam secara perlahan.
Jerih payahnya diridhai Allah SWT. pada tahun 1913, ketika usianya baru 26 tahun, beliau mendirikan sebuah rumah sederhana yang terbuat dari bambu. Seiring berjalnnya waktu, di sekitar rumah tersebut kemudian didirikan pondok dan masjid, yang berkembang cukup pesat.
Meski sudah berhasil mendirikan pondok, Kiai Ma’shum tetap istiqamah mengajar di Madrasah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng, membantu Hadratus Syaikh mendidik santri. Pada tahun berikutnya, beliau diangkat menjadi Mufattis (pengawas) di madrasah tersebut.
Karya Pena
Meskipun jumah karyanya tak sebanyak Hadratus Syaikh, akan tetapi hampir semua kitab karangannya sangan monumental. Bahkan banyak orang yang lebih mengenal kitab karangannya dibanding pengarangnya. Ada empat kitab karya beliau;
1. Al-Amtislah At-Tashrifiyyah. Kitab ini menerangkan ilmu sharaf. Susunannya sistematis, sehingga mudah difaham dan dihafal. Lembaga-lembaga pendidikan Islam baik di Indonesia atau di luar negeri, banyak yang menjadikan kitab ini sebagai rujukan utama. Ada yang menjulukinya kitab “Tasrifan Jombang”. Kitab yang terdiri dari 60 halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit, diantaranya Penerbit Salim Nabhan Surabaya dan Alawiyah Semarang. Pada halaman pertamanya tertera sambutan berbahasa Arab dari (mantan) Menteri Agama RI, KH. Saifuddin Zuhri,
2. Fath Al-Qadir. Konon, ini adalah kitab pertama di nusantara yang menerangkan ukuran dan takaran Arab dalam bahasa Indonesia. Diterbitkan pada tahun 1920-an, ketika Kiai Ma’shum masih hidup oleh penerbit Salim Nabhan Surabaya. Halamannya tipis tapi lengkap. Kitab ini banyak dijumpai di pasaran.
3. Ad-Durus Al-Falakiyah. Meskipun banyak orang beranggapan bahwa ilmu falak itu rumit, tetapi bagi orang yang mempelajari kitab ini akan berkesan “mudah”, karena disusun secara sistematis dan konseptual. Di dalamnya termuat ilmu hitung, logaritma, almanak masehi dan hijriyah, posisi matahari, dll. Kitab yang diterbtkan oleh Salim Nabhan Surabaya tahun 1375 H. ini terdiri dari tiga juz dalam satu jilid dengan jumlah 109 halaman.
4. Badi’ah Al-Mitsal. Kitab ini juga menerangkan ilmu falak. Kali ini beliau menerangkan bahwa yang menjadi pusat peredaran alam semesta bukanlah matahari, sebagaimana teori barat, melainkan bumi. Sedangkan matahari, planet dan bintang yang jumlahnya sekian banyaknya, berjalan mengelilingi bumi.
Pribadi yang Sederhana
Sebagai kiai yang berilmu tinggi, Kiai Ma’shum dikenal sebagai kiai yang akrab dengan kalangan bawah. Saking akrabnya, banyak diantara mereka yang tak mengatahui kalau sebetulnya beliau adalah ulama besar.
Dalam pandangannya, semua orang lebih pintar darinya. Kiai Ma’shum pernah berguru kepada seorang nelayan di perahu selama dalam perjalanan haji. Beliau tidak merasa malu, meski orang lain menilainya aneh. Hasilnya dari situ beliau menulis kitab Badi’ah Al-Mitsal.
Beliau juga dikenal sufi. Untuk menghindari sikap sombong di dahadapan manusia, menjelang wafat, beliau membakar fotonya. Padahal itu adalah satu-satunya foto yang dimiliki. Hal ini tidak lain kerena beliau takut identitasnya diketahui oleh banyak orang, yang nantinya akan menimbulkan penyakit hati seperti sum’ah, riya’, ujub, sombong dll.
Hubungan yang Harmonis
Kehidupan sehari-hari Kiai Ma’shum mencerminkan sosok pribadi yang harmonis,baik bersama masyarakat, keluarga, maupun santri. Khusus kepada Hadratus Syaikh, beliau sering menghadiahkan kitab kepada sang mertua yang juga gurunya itu. Sepulangnya dari Mekkah tahun 1332 H. beliau tidak lupa membawakan kitab Al-Jawahir Al-Lawami’ sebagai hadiah untuk Kiai Hasyim. Bahkan kitab As-Syifa’ yang pernah diberikannya, menjadi kitab referensi utama Hadratus Syaikh ketika mengarang kitab.
(Almh) Nyai Khoiriyah Hasyim menceritakan; suatu ketika Kiai Ma’shum pernah berdebat dengan Hadratus Syaikh tentang dua persoalan; foto dan penentuan awal Ramadhan (lihat; Heru Sukardi; 1979). Menurut Kiai Ma’shum, foto tidak haram, sedangkan Hadratus Syaikh mengatakan haram.
Begitu pula mengenai permulaan bulan puasa, Kiai Ma’shum telah menentukan dengan hisab, sedangkan Hadratus Syaikh memilih dengan teori ru’yat. Akibat perselisihan ini, keluarga Kiai Ma’shum di Seblak lebih dulu berpuasa daripada keluarga Kiai Hasyim dan para santri di Tebuireng.
Walaupun kedua ulama’ ini sering berbeda pendapat, namun hubungan keduanya tetap terjalin akrab. Ini merupakan bukti bahwa perbedaan pendapat di antara ulama’ merupakan hal yang wajar.
“Kepulangan” Sang Teladan
Pada tanggal 24 Ramadhan 1351 H. atau 8 Januari 1933 M. Kiai Ma’shum wafat setelah sebalumnya menderita sakit paru-paru. Beliau wafat pada usia 46 tahun. Wafatnya Kiai Ma’shum merupakan “musibah besar” terutama bagi santri Tebuireng. Karena beliau adalah satu-satunya ulama’ yang menjadi rujukan dalam segala bidang keilmuan setelah Hadratus Syaikh. Hingga kini, belum ada seorang ulama’ pun yang mampu menggantikan kedudukannya. Semoga amalnya diterima oleh Allah SWT. dan apa yang ditinggalkan bermanfaat. Allahummaghfir lahu wa nafa’ana bihi wa bi ulumini. Amin. (Atunk).
Sumber; Majalah Tebuireng edisi 04 tahun 2008
Sumber; Majalah Tebuireng edisi 04 tahun 2008
----------------
http://www.tebuireng.net/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=120
www.tebuireng.net
www.tebuireng.net
0 comments:
Posting Komentar