Tuhan, dalam mengutus para Nabi dan Rasul-Nya mengacuh pada satu pandangan dunia universal yang agung, tujuan yang tinggi, dan paedah yang beragam untuk memekarkan benih ilmu dan amal manusia sehingga mereka bermikraj bertemu dengan Tuhan, yakni maqam yang paling tinggi bagi maujud mumkin. Sebagian dari tujuan dan paedah kenabian di antaranya adalah:
1. Mengajarkan Ilmu dan Makrifat
Al-Qur’an menyebutkan bahwa pengajaran dan tarbiyah merupakan tujuan dari pengutusan para Nabi dan Rasul As; “Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan apa yang tidak mampu kamu ketahui.”[1]
Ungkapan: “Dan mengajarkan kamu apa yang tidak mampu kamu ketahui” menyampaikan tentang keberadaan suatu pengetahuan dan hakikat yang tidak terjangkau oleh intelek dan pikiran manusia dengan segala kemajuannya dalam pengetahuan, ilmu, dan teknologi, tapi hakikat-hakikat tersebut hanya dapat diketahui lewat jalan kenabian dan wahyu. Jika tidak ada Nabi dan Rasul yang diutus Tuhan maka akal dan pikiran manusia yang paling pertama sampai yang paling akhir tidak akan sanggup mengkonsepsi dan mengetahui hakikat samudera tauhid dan maad yang sangat dalam.
Dari mana akal bisa tahu bahwa kiamat mempunyai lima puluh stasiun. Akal dan pengetahuan manusia, kendatipun setiap saat mengalami kemajuan dan kesempurnaan, namun tetap tidak akan dapat meraih makrifat dan pengetahuan semacam ini dengan sendirinya; hatta akal para nabi ulul azmi atau akal paling tinggi dari mereka, yaitu akal kull (total, semesta) Nabi Muhammad bin Abdullah Saw. Berpijak pada masalah ini maka Allah Swt menyatakan matlab tersebut kepada beliau Saw: “…Allah telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) dan Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar”.[2] Oleh karena itu, sekiranya bukan karena karunia dan inayah Allah Swt kepada Nabi-Nya maka beliau Saw tidak akan mampu memperoleh makrifat dari sebagian masalah-masalah gaib dan metafisika.
Di tempat lain dari al-Qur’an, Tuhan berbicara kepadanya dengan firman-Nya: “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan al-Qur’an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus”.[3]
Jelas bahwa fiil mâdhi manfi (kata kerja bentuk lampau negatif) “Maa kunta tadrii” menunjukkan penafian segala bentuk kemampuan pemahaman terhadapnya (sebelum diwahyukan), oleh karena itu, hanya karena berkat inayah dan wahyu Tuhan maka tirai dan hijab makrifat hakiki alam gaib terbuka bagi manusia dan manusia dapat menyingkap pengetahuan sejati serta hakikat-hakikat tak terbatas dan akal manusia dapat berkembang dalam dimensi ilmu dan makrifat ini (mabda, ontologi dan eskatologi).
Di samping itu, jika akal argumentatif dengan sendirinya cukup memahami seluruh hukum-hukum dan hikmah-hikmah alam gaib dan syahadah maka Tuhan tidak akan menyatakan bahwa: “Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana”.[4] Jika akal dan intelek, dengan sendirinya cukup untuk membimbing manusia dan tidak butuh kepada wahyu dan kenabian, maka Tuhan pada hari kiamat akan membawa para pendosa ke neraka dan berkata pada mereka: Saya dengan memberikan akal kepadamu telah menyempurnakan hujjah atasmu; sementara yang kita saksikan dengan ayat di atas Dia berkata: Saya, untuk sempurnanya hujjah atasmu telah mengutus para nabi dan rasul sehingga tidak seorangpun di antara kamu dalam medan maad dapat membantah Tuhan atas perkara ini.
Oleh karena itu, akal dan rasionalisasinya -pada saat yang sama daruri dan mesti- tidak cukup dengan sendirinya membimbing manusia dan sangat banyak dari subyek dan pengajaran dimana akal tidak mendapatkan jalan pemecahan dan penyelesaiannya tanpa pertolongan kenabian dan wahyu; demikian juga kenabian dan pengajaran wahyu tidak akan mendapatkan konklusinya jika tanpa bantuan aplikasi rasionalisasi dan pengajaran rasional akal. Berdasarkan ini, maka iman (wahyu) dan akal merupakan dua tangan dan dua sayap kokoh bagi manusia dalam mengantarkan mereka menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Berasaskan pandangan dunia ini, kutub rasionalisme ekstrim dan tanpa acuh pada agama akan menggiring pada kesesatan dan juga kutub Fideism (fideisme) radikal yang memenjarakan dan memerangi akal atau mengabaikan rasionalitas murni berada dalam kesalahan dan pandangan stratafikasi (memisahkan antara keberagamaan dan rasionalitas).
Al-Qur’an memuat banyak ayat-ayat yang menjelaskan ketidakcukupan akal dan menafikan ketidakbutuhannya kepada wahyu, seperti firman Tuhan berikut ini: “Wahai Ahli Kitab! Sungguh, Rasul Kami telah datang kepadamu, menjelaskan (syariat Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar kamu tidak mengatakan , “Tidak ada yang datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.” Sungguh, telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”[5]
Jelas bahwa jika rasionalitas dan intelektualitas adalah cukup, niscaya Tuhan akan berkata: Kami telah memberikan akal kepadamu dan Kami telah sempurnakan hujjah atasmu (dengan akal tersebut); bukannya Tuhan berbicara tentang pengiriman rasul-rasul As.
Dalam ayat lain Tuhan menyatakan bahwa undang-undang dan aturan-Nya adalah demikian ini, bahwa Dia sama sekali tidak akan mengazab seseorang kecuali sebelumnya Dia telah mengutus seorang nabi: “…Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”[6] Oleh karena itu, untuk mencapai hidayah dan kebahagiaan dengan bertumpu hanya kepada akal manusia dan ijma masyarakat serta mengabaikan wahyu, ini adalah suatu anggapan primitip dan jahiliah, sebagaimana firman Tuhan: “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”[7]
Tuhan mencela golongan orang yang mencukupkan diri mereka dengan rasionalitas dan intelektualitas manusia dan tidak mengacuhkan pengajaran wahyu Ilahi serta melebihkan ilmu humaniora dan natural yang materialistik daripada ilmu wahyu yang Ilahiah, dan mengunggulkan kestatisan tabiat daripada kedinamisan metafisik, Tuhan sangat tidak menyukai mereka: “Maka ketika para rasul datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka merasa senang dengan ilmu yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh (azab) yang dahulu mereka memperolok-olokkannya”.[8]
Pada hakikatnya, nabi dan rasul merupakan pemberian Tuhan yang paling baik bagi umat manusia, sebab dengan diutusnya mereka di tengah umat manusia, mereka menjalankan tugas membebaskan manusia dari penjara dan kungkungan tabiat dan melakukan pekerjaan yang lebih besar, lebih luas, dan lebih tinggi dari medan pekerjaan dan keterbatasan akal partikular; terlebih apa yang diperoleh dan dicapai oleh akal dapat ditimpa kesalahan, kekeliruan, dan perubahan, dan senantiasa hipotesa baru akan menggantikan hipotesa lama. Berangkat dari sinilah Nasiruddin Thusi seorang ilmuan dan filosof Islam berkeyakinan bahwa salah satu dari faedah diutusnya nabi adalah menegaskan dan menguatkan persepsi serta kognisi akal.[9]
Jumlah kesalahan dan kekeliruan akal dalam atmosfir zaman kontemporer ini masih sangat banyak dan nyata dapat kita saksikan. Di India dan negara-negara lainnya masih terdapat banyak masyarakat penyembah berhala, dan dibanyak negara-negara terdapat banyak masyarakat yang ateis dan menolak wujud metafisika, oleh karena itu, kita sampai pada suatu konklusi bahwa betapa bi’tsah dan pengutusan nabi itu adalah suatu nikmat dan karunia besar.
2. Menyempurnakan Akal dan Intelek
Menyempurnakan rasionalitas dan intelektualitas masyarakat adalah salah satu dari tujuan yang paling urgen dari tarbiyah dan pengajaran para nabi As: “Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”[10]
Nabi mulia Islam juga dalam sebuah hadis bersabda: Tuhan tidak mengutus seorang nabi dan tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk menyempurnakan akal dan intelek (umat manusia), dan akal dia (nabi dan rasul) adalah lebih tinggi dari seluruh akal umatnya;[11] sebab akal jam’î (kumpulan dan ijma masyarakat) tersusun dari sekumpulan ilmu dan pengetahuan hushuli dan komprehensi-komprehensi mental, dimana jenis ilmu dan pengetahuan ini tidak terjaga dari kesalahan dan kekeliruan serta tidak lepas dari mugâlatah (fallacy) lafzhi dan maknawi, dan selamanya ilmu dan pemahaman hushuli yang kurang tidak akan mungkin menggantikan peran dan posisi ilmu syuhud hudhuri yang sempurna; kendatipun akal jam’î diperoleh dengan jalan musyawarah dan dibanding akal fard (perorangan) lebih dekat kepada pengetahuan nyata (tapi ini hanya berlaku untuk orang biasa selain nabi dan rasul).
Singkatnya, masyarakat manusia dalam bidang pemikiran dan teoritis butuh kepada wahyu Tuhan; sebab apa yang mesti mereka ketahui, namun mereka tidak pahami dan ketahui (dengan jalan akal dan intelek), mereka dapat memahaminya dengan pertolongan wahyu, dan apa yang mesti mereka peroleh secara sâlim dan sempurna, tapi tidak punya kemampuan terhadapnya, tersempurnakan dan terpecahkan dengan bantuan wahyu.
3. Menegakkan Keadilan
Tegaknya keadilan di tengah-tengah masyarakat merupakan cita ideal setiap insan yang mendambakan keselamatan dan kebahagiaan di dunia. Karena itu salah satu tujuan penting dari bi’tsah adalah untuk tegaknya keadilan dalam masyarakat manusia: “Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan Mizan (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil”.[12]
Maksud dari “Bukti-bukti nyata” adalah persepsi dan konsepsi akal yang sahih dan ilmiah dan juga mukjizat para nabi As serta karamah-karamah amali para wali Tuhan. Demikian pula maksud dari “Kitab” adalah makrifat, hukum dan undang-undang, akidah, akhlak, dan ilmu-ilmu lainnya. “Neraca” atau “Mizan” yang benar juga menyertai Kitab yang di bawa para nabi As, dan tidak satupun mizan yang lebih akurat daripada sirah, cara, dan metode amaliah maksum dari para nabi dan para imam As.
Oleh karena itu, masyarakat manusia dalam dimensi stimulus dan motif -sebagaimana dalam dimensi pemikiran- butuh kepada sirah dan sunah maksum dari insan kamil (manusia sempurna) sebagi pemilik rahasia-rahasia sifat malaikat, sehingga dapat mengaktualkan kesucian ilmu dan menurunkan perbendaharaan alam akal ke alam mitsal serta menjasadkan memori-memori itu ke dalam bentuk nyata.
4. Menyelamatkan Manusia dari Kegelapan
Di antara tujuan bi’tsah kenabian lainnya adalah melepaskan dan menganggkat manusia dari jurang kegelapan menuju lembah cahaya, Tuhan berfirman: “…(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa, Maha Terpuji.”[13]
Kejahilan ilmu dan amal, keduanya adalah kegelapan; orang jahil yang durjana dan orang alim yang fâjir, keduanya terperangkap timbunan kegelapan dan mengklaim diri mendapat petunjuk tanpa dalil ilmu dan bukti amal adalah bentuk keterselimutan dalam kegelapan yang tebal. Satu-satunya perahu keselamatan dan pelita hidayah adalah misykât kenabian, dimana ia akan memberangkatkan manusia dari istana ego menuju tempat kerja taklif dan kehambaan pada Tuhan dan menerangi hati-hati gelap serta menyusulkan orang-orang sesat kepada para penapak jalan cahaya.
5. Menyembah Tuhan dan Menjauhi Thagut
Juga yang menjadi tujuan inti dan pokok bi’tsah kenabian adalah seruan dan ajakan kepada masyarakat untuk menyembah Tuhan Yang Tunggal dan menjauhi Tagut beserta menifestasi-manifestasinya, di dalam al-Qur’an kita membaca: “Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang Rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah Tagut”, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).”[14]
Amirul Mukminin tentang ini berkata: Tuhan mengutus para nabi supaya hamba-hamba-Nya yang tidak mengetahui makrifat ketuhanan, mempelajarinya (dari para nabi), dan supaya mereka beriman kepada Tuhannya dan mengesakan-Nya, sesudah mereka ingkar dan ‘inad terhadap-Nya.[15]
Oleh karena itu, fokus asli dakwah para nabi As adalah menjaga tauhid fitri dan menolak segala bentuk penyekutuan Tuhan; sebagaimana dalam ungkapan “Tiada Tuhan selain Allah” maknanya tidak kembali kepada dua qadiyah (proposisi) negatif dan positif yang baru; sebab makna ungkapan tauhid ini adalah selain Tuhan Yang Mahaesa yang diterima secara rasional oleh pandangan dan diterima secara amal oleh perbuatan, semua yang lainnya adalah ternafikan. Jadi, pada hakikatnya makna menyembah Tuhan dan menjauhi thagut yakni segala bentuk penyembahan kepada yang lain selain penyembahan dan ibadah kepada Tuhan Yang Tunggal yang diterima akal teoritis dan akal praktis, adalah batil dan ternafikan.
6. Menghakimi dan Memutuskan Perselisihan Masyarakat
Menghakimi dan menghilangkan perselisihan di antara masyarakat, juga menjadi salah satu dari tujuan diutusnya (bi’tsah) para nabi As, firman Tuhan: “Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan dan Dia menurunkan bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan….”[16]
Ayat yang disebutkan di atas mengandung dua poin penting: pertama, memberi kabar gembira dan peringatan, dimana keduanya ini juga merupakan tujuan dari diutusnya para (bi’tsah) nabi-nabi, sebab motivasi dan ancaman adalah dua rukun signifikan dalam tarbiyah jiwa dan penjamin bagi keselamatan mereka. Kedua, memutuskan perkara secara benar berasaskan pengajaran kitab-kitab langit, khususnya kitab al-Qur’an; sebab dalam menghakimi manusia harus berdasarkan undang-undang yang sempurna, dan hanya kitab-kitab langit yang memiliki aturan yang universal dan sempurna.
Juga dari ayat ini dapat diketahui bahwa terdapat dua tipe pertentangan dan perselisihan dalam masyarakat manusia; pertama, perselisihan sebelum hak (kebenaran) jelas, tipe perselisihan ini adalah natural dan tidak tercela dan memiliki kesiapan untuk sampai pada kebenaran serta realitas, dan lainnya, perselisihan sesudah hak jelas, dimana jenis perselisihan ini adalah setani dan tercela, dan menjadi wasilah fitnah serta tersembunyinya kebenaran.
7. Mengajak kepada Kehidupan yang Lebih Baik dan Konstruktif
Wahyu dan ajaran para nabi As adalah penjamin kehidupan yang lebih baik bagi manusia, sebagaimana kita jumpai ungkapan ayat al-Qur’an: “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan (yang lebih baik) kepadamu….”[17]
Imam Sadiq As berkata: Hal yang menghidupkan manusia dan memberikan kepada mereka kehidupan abadi, adalah wilayah. Sementara itu Imam Baqir As berkata: Wilayah imam, Amirul mukminin Ali As dan mengikutinya akan mencegah masyarakat kamu dari ketercerai-beraian dan akan lebih menjaga tegaknya keadilan di antara kamu.[18]
Faktor terpenting kehidupan maknawi adalah keyakinan tauhid dan keyakinan ini disyaratkan dengan orbit wilayah; sebagaimana yang terdapat dalam hadis “silsilah adz-dzihab” Ahlulbait As.
Dalam irfan teoritis, pembahasan muwahhid (orang-orang yang sampai maqam wilayah) menjadi salah satu pembahasan yang paling asas sesudah pembahasan tauhid, yakni pembahasan tajalli tâm (manifestasi sempurna) seluruh nama-nama dan sifat Tuhan dalam mazhar-Nya, yaitu insan kamil. Dengan perantara insan kamil inilah faidh (emanasi) Tuhan sampai kepada maujud-maujud (mazhar-mazhar) lainnya. Dan paling sempurnanya mazhar-mazhar Tuhan adalah para nabi dan imam-imam As (wali-wali Tuhan), yakni misdak-misdak daripada insan kamil, dan paling sempurna serta paling agung dari insan kamil ini adalah nabi Islam Muhammad Saw serta kemudian Amirul Mukminin Ali As, orang yang paling dekat kepada Rasulullah Saw dari dimensi maqam batin dan lahir dan sebagai pemilik rahasia-rahasia seluruh para nabi As.[19]
Para nabi dan wali Tuhan inilah yang memimpin kafilah-kafilah ruhani menuju kedekatan kepada Tuhan dan memberi kehidupan maknawi sebagai sebuah bentuk kehidupan yang lebih baik dan konstruktif bagi umat manusia.
8. Mengingatkan Nikmat-nikmat Tuhan
Allah Swt, dalam berbagai ayat al-Qur’an menyebutkan bahwa salah satu dari misi kenabian mengingatkan manusia kepada nikmat-nikmat Ilahi. Di antara ayat-ayat itu adalah:
a. “…Ingatlah ketika Dia menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah setelah kaum Nuh, dan Dia lebihkan kamu dalam kekuatan tubuh dan perawakan. Maka ingatlah akan nikmat-nikmat Allah agar kamu beruntung.”[20]
b. “…Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi.”[21]
Membahas tujuan pengutusan (bi’tsah) terkadang matlab yang diutarakan secara langsung berkenaan tujuan inti dari risalah kenabian dan terkadang di samping meneliti tugas dan program para utusan Tuhan itu, juga diutarakan matlab yang berhubungan dengan tugas asli dan perintah resmi bagi mereka; dan masalah mengingatkan manusia pada nikmat-nikmat Tuhan ini termasuk pada kategori yang kedua.
9. Membebaskan Manusia
Hal yang terbaik dihadiahkan para nabi kepada umat manusia adalah penyebaran kebebasan dan kemerdekaan, yakni kebebasan dari sistem-sistem destruktif yang merusak jiwa-jiwa individual dan tatanan sosial maknawi. Al-Qur’an mengungkapkan tentang pemberian kebebasan dengan bahasanya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya, mereka itulah orang-orang beruntung.”[22]
Bisa saja dikatakan bahwa kebebasan dalam pengertian politik dan sosial merupakan suatu komprehensi modern; namun pada dasarnya prinsip kebebasan itu sendiri memiliki latar belakang sejarah dan peradaban yang sangat panjang. Pendahulu-pendahulu kita, ketika mereka berbicara tentang kebebasan, kebanyakan yang dituju mereka adalah kebebasan internal dan batin serta kebebasan dari sifat-sifat yang hina dan rendah. Terma-terma kebebasan internal dan batin ini banyak kita jumpai dalam karya-karya akhlak dan irfani.
Kebanyakan karya memperhatikan kebebasan ruh dan maknawi serta kesucian dan kebersihan jiwa dari sifat-sifat rendah dan hina; apakah kebebasan itu dalam jihad ausath (pertengahan), dimana kebebasan yang ingin digapai dalam jihad ini adalah kebebasan dari ahriman dosa dan kemerdekaan jiwa dari hal-hal mubah yang bisa mengotorinya, ataukah kebebasan dalam jihad akbar dan peperangan paling besar, dimana kebebasan yang ingin didapatkan dalam jihad ini adalah kebebasan dari setiap ta’alluq (dependency) halal dan mubah, dan kebebasan dari setiap ta’ayyun (keterikatan); kendatipun itu adalah mazhar sebagian dari asmaul husnâ.
Dalam jihad akbar ini, upaya seorang mujahid pemberani adalah melepaskan diri dari simpul dan jeratan hasil serta memburu syuhud, dan menyeberang dari sungai komprehensi akal berhijrah menuju lautan misdak yang sebenarnya.
Adapun bentuk kedua dari kebebasan -yakni kebebasan dan kemerdekaan politik- adalah suatu istilah yang terdapat dalam adabiyyât (kesusastraan) semua pemerintahan-pemerintahan autarki, perbudakan, penjajahan, kolonisasi, dan lainnya. Pengenalan terhadap bentuk kebebasan ini dan pengetahuan terhadap nisbahnya dengan keadilan, merupakan suatu kerja yang harus direalisasikan dalam atmosfir kekuasaan akal dan wahyu (syariat).
Syariat, Garis Demarkasi Kebebasan
Di seputar mafhum kebebasan senantiasa terdapat juga pembahasan tentang batas dan wilayah kebebasan. Dalam menentukan batas dan wilayah kebebasan, terdapat beragam pandangan yang didasari oleh pandangan dunia dan ideologi. Namun, yang pasti tak seorang pun di dunia ini yang memfatwakan kebebasan mutlak, tanpa batas dan tanpa kait; akan tetapi penentuan batas, syarat, dan kait kebebasan ini yang senantiasa menjadi bagian daripada wacana dan dialog para filosof politik.
Sebagian dari mereka berkeyakinan terhadap kebebasan yang berkeadilan; yakni hanya keadilan yang memiliki kelayakan dan kemampuan membatasi kebebasan; sebab tidak satupun komprehensi dan esensi yang dapat berhadapan dengan kebebasan selain sebuah komprehensi yang lebih penting, lebih besar, lebih luas, den lebih meliputi dari makna kebebasan. Oleh karena itu, gabungan antara nilai dan idealitas tidak lain adalah kebebasan yang berkeadilan, dimana penafsiran tentangnya berada dalam pancaran dan penataan syariat.
Keadilan, yakni menjaga totalitas hak-hak dan nilai-nilai, dimana kebebasan merupakan salah satu di antara mereka. Oleh karena itu, susunan tersebut (hak dan nilai), adalah keseluruhan yang berimbang yang memenuhi seluruh hak dan nilai dan di antaranya adalah kebebasan itu sendiri.
Dengan demikian, hak kebebasan tidak boleh mempersempit dan menyudutkan hak-hak yang lain, sebagaimana keadilan itu sendiri bukanlah suatu nilai yang independen yang menghalangi hak kebebasan; akan tetapi keadilan adalah suatu sifat yang memiliki totalitas kesetimbangan (equilibrium), dan sudah jelas kesetimbangan seluruh hak dan nilai ini baru dapat teraktual ketika kehidupan seluruhnya terjaga, bukan sebagian dari mereka, dan menjamin keberlangsungan seluruhnya, bukan meliburkan sebagian dari mereka.
Berdasarkan ini, maka sistem akhlak yang adil dan bebas merupakan sistem yang dinasihatkan dan dianjurkan oleh para nabi dan juga seluruh hukama dan reformer.
Dalam mengkritisi teori kebebasan berkeadilan ini harus dikatakan bahwa keadilan yang diperhadapkan dengan kebebasan yang membatasi kebebasan tersebut adalah suatu komprehensi yang datang dari tempat lain dan mesti dimaknakan dan ditafsirkan. Jika kebebasan juga dibebaskan dan dilepaskan -sesuai keinginannya dan keuntungannya- dalam memaknakan keadilan dan memberi artian untuknya; dalam bentuk ini maka apa saja yang menguntungkannya akan dihitungnya adil dan apa saja yang merugikannya akan dipandangnya buruk dan zalim.
Jika kita menerima kebebasan itu memiliki batasan dan itu adalah keadilan kebudayaan, maka penerimaan ini adalah salah; bahkan pembicaraan ini baru di tengah jalan dan mesti untuk mencapai akhir jalan kembali kepada awalnya, dan dari situ perjalanan yang akan dilewati akan diketahui secara sempurna. Ibaratnya seperti seorang yang kehausan, ia membuka kran air untuk menghilangkan dahaganya dan menyangka bahwa kran air itu akan melenyapkan hausnya, ia tidak mengetahui bahwasanya ia harus melewati proses (perjalanan) ini dan sampai kepada sumber air yang jernih dan segar.
Keadilan dan kebebasan -ibaratnya kran dan pipa air- berada dipertengahan jalan dan selamanya tidak akan dapat membatasi dan menentukan garis demarkasi. Karena itu, mesti batas kebebasan diketahui dalam ruang lingkup takwîn (tata-cipta), dan juga batasnya didapatkan dalam wilayah tasyrî’ (tata-laksana, canonization) sehingga menjadi maklum apa itu kebebasan takwini dan batasannya dimana, serta kebebasan tasyri’i itu apa dan batasannya dimana.
Kebebasan dalam sistem takwini, berada di seputar undang-undang illiyah (sebab-akibat); yakni manusia dalam sistem takwini adalah bebas, namun manusia tidak akan dapat merealisasikannya lebih tinggi dari undang-undang illiyah. Tanpa memperhatikan aturan yang berkuasa atas “sebab dan akibat”, adalah mustahil suatu pekerjaan sampai pada akhirnya. Tidak satupun akibat tercipta tanpa sebab dan tak satupun akibat tanpa sebab khususnya mumkinul wujud. Mustahil sistem sebab dan akibat dapat dihilangkan dan suatu akibat tercipta dari ketakberaturan dan kebetulan.
Sistem tasyri’ juga demikian halnya; yakni struktur tasyri’ membatasi kebebasan; sebab hanya tasyri’ yang mampu menjelaskan batasan kebebasan, bukan keadilan. Keadilan -apakah itu dihitung sebagai suatu sifat dari sifat-sifat manusia atau suatu akhlak dari akhlak manusia atau sifat dari keseluruhan yang setimbang- berada di bawah bundelan syariat, sementara syariat ditetapkan dan ditentukan oleh syâri’ muqaddas dan dzat aqdas ahadiyyah (Allah Swt.
Oleh karena itu, batas kebebasan dan keadilan dan juga batas sifat, hak, dan tanggung jawab, ditentukan dan ditetapkan oleh Tuhan; dengan konteks seperti itu maka memungkinkan manusia bergerak dalam pusaran batas kebebasan dan keadilan dan juga batas hak-hak serta sifat-sifat lainnya.
Tuhan telah memberikan hak bagi setiap pemilik hak, firman-Nya: “…yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.”[23] Oleh karena itu, jika kita katakan bahwa keadilan menentukan batas kebebasan maka dapat dipertanyakan, pertama, apa keadilan dan kezaliman itu? Kedua, siapa yang mesti menetapkan ruang lingkup keadilan? Jika keadilan adalah sesuatu yang ambigu, bagaimana dia dapat menjelaskan batas kebebasan?! Jadi mesti dikatakan: Mabda (causa prima) yang menciptakan alam dan Adam, yang mampu menentukan dan menjelaskan batas alam dan Adam dalam takwîn (genesis) dan tasyrî’ (canonization); sebagaimana dapat kita baca dalam a’mâl (amalan-amalan) bulan Rajab: “Pemberi batas segala yang terbatas, syâhid segala yang masyhud, dan pengada segala yang maujud[24]“; yakni Tuhan yang memberi batasan atas segala sesuatu, karena itu penjelasan tentang batas kebebasan dan keadilan serta penyampaiannya juga semuanya berada di tangan Tuhan.
Amirul Mukminin Ali As dalam maqam menafsirkan kebebasan berkata: Apa yang diperintahkan kepadamu dengannya lebih luas dari apa yang dicegah dan dilarang kamu darinya, dan apa yang dihalalkan bagimu lebih banyak dari apa yang diharamkan kamu atasnya; maka tinggalkanlah sesuatu yang sedikit untuk meraih sesuatu yang banyak dan jauhilah yang sempit dan sulit untuk mendapatkan yang luas dan mudah.[25]
Oleh karena itu, batas dan ruang lingkup kebebasan berada di tangan pemilik syariat; sebab halal dan haram berada di tangan-Nya dan perkara ini berpindah kepada masyarakat dengan perantara para pemikir matang (faqih) dan tidak semua orang mencapai harim (sanctum) suci ini tanpa memiliki syarat-syarat yang lazim terlebih dahulu.
Kebebasan adalah hak setiap insan, dan setiap insan memiliki hak bebas, tetapi manusia dalam hak ini adalah bertanggung jawab dan setia, bukan pemilik semata kebebasan. Hak ini ibaratnya penguasaan terhadap harta milik dan pengelolaan terhadapnya.
Untuk menjelaskan matlab ini perlu diutarakan beberapa hal yang lazim yang berkaitan dengan pemilikan harta, di antaranya:
1. Sesuatu yang disebut harta, seperti rumah, kebun, mobil, karpet, televisi, kulkas, binatang ternak, dan sebagainya.
2. Pemilikan manusia atas mereka dikarenakan produksi, pembelian, ihrâz (retain), warisan, dan semacam itu. Berdasarkan ini manusia mendapatkan penguasaan atasnya, sabda maksum As: Manusia berkuasa atas harta-harta mereka.[26]
3. Apakah kekuasaan atas harta adalah hak atau taklif? Jika kekuasaan atas harta adalah hak maka manusia dapat saja merusak harta miliknya, hatta menghancurkan rumahnya atau membakarnya; yakni apa saja yang dia ingin lakukan terhadapnya dia bisa saja lakukan dan tidak ada sama sekali penghalang, aral, dan problem yang muncul dari orang lain dan tak seorang pun yang akan mencegahnya serta perbuatannya pun tidak terhitung isrâf (pemborosan) dan mubadzir, dan yang paling akhir bahwa perbuatannya itu tidak termasuk perbuatan yang diharamkan Tuhan.
Adapun jika kekuasaan atas harta adalah taklif dan tanggung jawab, yakni bukan hak, maka dia harus konsisten untuk tidak isrâf dan mubadzir terhadap harta miliknya serta jangan sampai terjadi perbuatan haram atasnya. Jadi, dalam menghadapi kepemilikan harta dan hak penggunaan dengannya, jangan sampai kita melakukan maksiat karenanya; yakni kita mesti amîn (dapat dipercaya, setia) terhadap harta, bukan pemilik dan pengguna yang sewenang-wenang atasnya.
Oleh karena itu, Tuhan adalah penentu batas dan hudud serta penetap syarat kebebasan, dan kebebasan juga merupakan suatu hak yang diletakkan Tuhan pada ikhtiar manusia, maka itu manusia adalah penjaganya; dengan cara itulah kebebasan, reputasi serta harga diri terjaga. Jika seseorang berupaya dan berusaha serta dalam pelaksanaannya meraih reputasi atau jika sebuah negara dikarenakan kerja keras dan mujahadah memperoleh prestise di dunia maka dia mendapatkan hak besar, yakni semua warganya wajib menjaganya. Manusia yang bermartabat tidak punya hak menumpahkan identitas dan mengobral kepribadiannya di mana saja; sebagaimana kemerdekaan dan harga diri sebuah negara juga mesti seperti ini; sebab menghilangkan harga diri sebuah bangsa dan masyarakat merupakan suatu maksiat besar dan tentu saja balasan perbuatan ini adalah azab dan siksa akhirat.
Imam Shadiq As berkata: Tuhan memberikan izzah dan kemuliaan kepada orang mukmin dan menyerahkan perkara-perkaranya kepada dirinya. Tuhan tidak menginginkan dalam penyerahan pekerjaan-pekerjaan kepadanya itu membuatnya terhina dan menumpahkan harga dirinya; sebagaimana Tuhan berfirman:…izzah itu hanyalah bagi Allah , Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin…”[27]. Oleh karena itu, orang-orang mukmin bermartabat dan punya harga diri serta mereka tidaklah rendah dan hina[28], karena itu orang-orang mukmin memiliki tanggung jawab untuk menjaga harga dirinya.
Juga Abu Basir berkata: Saya katakan kepada imam Shadiq As bahwa orang-orang bepergian musafir dengan sekelompok orang kaya, ketika mereka jatuh dalam pengeluaran maka dia tidak sanggup mengeluarkan seperti apa yang dikeluarkan oleh mereka (kelompok orang kaya) dan dia hanya punya sedikit biaya dan ongkos. Imam Shadiq As berkata: Saya tidak suka dia membuat dirinya hina dan menumpahkan air muka dan harga dirinya. Dia mesti bepergian seperjalanan dengan orang yang kemampuannya dari segi harta (dalam belanja dan biaya) seperti dirinya.[29]
Pelaksana dan pejabat negara juga tidak punya hak untuk membuat hina masyarkat dan bangsanya dan menumpahkan harga diri negaranya atau menjual dirinya kepada bangsa asing. Dia mesti menjaga kemerdekaan dan kebebasan (diri, masyarakat, bangsa, dan negerinya); sebagaimana yang dipesankan Amirul Mukminin hadhrat imam Ali As kepada putranya hadhrat imam Hasan al-Mujtaba As sekembalinya dari perang Shiffîn: Muliakanlah dirimu dan cegahlah dirimu dari setiap kehinaan dan kerendahan, meskipun dia (kehinaan) akan menyampaikan kamu kepada berbagai kenikmatan (duniawi); sebab apa yang berhadapan dengan air muka yang kamu tumpahkan, tidak akan kamu dapatkan gantinya, dan janganlah menjadi hamba dan budak yang lain; sebab Tuhan menciptakan kamu sebagai orang yang merdeka.[30]
Oleh karena itu, sebagaimana asas eksistensi kita berasal dari Tuhan, kesempurnaan-kesempurnaan yang menyertai dan mengikutinya juga, seperti kemerdekaan, kebebasan, keadilan, dan hak-hak lainnya, semuanya bersumber dari Tuhan dan mesti kita menggunakannya di jalan benar serta menjaganya.
Untuk lebih jelasnya apa yang telah diuaraikan tersebut di atas, beberapa poin berikut ini perlu diperhatikan:
1. Manusia, mempunyai hak-hak individual, sosial, politik, budaya, ekonomi, dan hak-hak lainnya seperti itu;
2. Hak-hak tersebut merupakan hibah Ilahi yang diberikan kepada manusia;
3. Manusia berhak atas hak-hak tersebut, namun dalam berhadapan dengan pemilik asli mereka, manusia harus amin dan setia terhadapnya serta berusaha menjaganya; manusia dinisbahkan dengannya tidak boleh berlaku sebagai pemilik yang berbuat sewenang-wenang hatta sampai mengobralnya;
4. Sebagaimana manusia berkuasa terhadap harta miliknya, akan tetapi selamanya dengan kekuasaannya itu dia tidak punya hak bertindak sewenang-wenang terhadapnya, dinisbahkan dengan hak-hak yang sudah disebutkan -seperti kebebasan dan kemerdekaan- dia adalah pemilik hak, tetapi dalam berhadapan hak ini, dia mempunyai tugas dan taklif; yakni dia bertanggung jawab memelihara nikmat ini dan dengan harmoni dan adil mengambil manfaat darinya tanpa meliburkannya, dan dia dinisbahkan dengannya bukanlah sebagai raja penguasa.
Oleh karena itu, penjelasan konsep dan teori pembatasan ruang lingkup kebebasan hanya di tangan Tuhan -yang termanifestasi dalam bentuk syariat- dapat dijelaskan berasaskan undang-undang dan hukum kausalitas, bahwasanya seluruh nilai-nilai -seperti kebebasan, keadilan, dan hak-hak lainnya- mesti berakhir pada ghanî mahdh (kaya sejati). Imam Sajjad As berkata: Orang butuh menginginkan sesuatu kepada seorang butuh adalah perbuatan yang bodoh. Oleh karena itu, dari satu sisi semua orang-orang butuh harus mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang butuh dan mesti berfikir untuk menghilangkan kebutuhannya dan di sisi lain, merujuk kepada orang seperti dirinya (yakni orang butuh juga) adalah perbuatan yang tidak logis.[31] Berdasarkan pemikiran ini maka untuk menghilangkan kebutuhan (setiap orang atau maujud butuh) mesti meminta bantuan dan bermohon kepada yang kaya sejati, dan nilai kebebasan serta nilai keadilan dan nilai hak-hak lainnya dan juga batasan-batasan mereka mesti dicari darinya, dan jika hak-hak yang bernilai ini sampai di tangan kita maka kita jangan mengobralnya begitu saja dan kita jangan serahkan di tangan orang yang tidak layak menerimanya serta kita jangan sampai menganggap seseorang sebagai pemiliknya; akan tetapi semua harus bertanggung jawab dan setia dalam berhadapan dengannya.
Tawanan Agama
Amirul Mukminin Ali As berkata kepada Malik Asytar: Agama ini tadinya tertawan dan terpenjara di tangan para pembuat keburukan, dan mereka berbuat atasnya sesuai dengan keinginan hawa nafsunya dan mereka menjadikannya sebagai wasilah untuk mendapatkan dunia.[32]
Revolusi Islam mengambil bentuknya lewat tangan mulia Nabi Saw dan masyarakat terbebaskan dari kait dan perangkap penyembahan berhala dan tsanawiyyat jahiliah. Nabi Saw memerintahkan berhala-berhala di seputar Ka’bah dihancurkan dan mensucikan Masjidil Haram serta Ka’bah dari polusi mereka serta menguburkan semuanya di sisi pintu Bani Syaibah, dan Nabi Saw memerintahkan supaya orang-orang yang haji masuk Masjidil Haram lewat pintu ini sehingga permasalahan berhala dan peradaban berhala selamanya berada di bawah kaki para muwahhid.
Dalam hal ini, sekelompok besar orang memandang bahwa seluruh problema dan dilema kemasyarakatan serta keagamaan mereka disebabkan oleh kebudayaan penyembahan berhala ini, kekafiran, dan syirik, maka itu mereka menjadi muwahhid. Sekelompok lainnya tidak mengambil manfaat secara benar dari kebebasan ini dan tinggal dalam keadaan penuh keragu-raguan, dan terdapat kelompok ketiga yaitu kelompok thugyân (pemberontak), yang dikarenakan endapan-endapan jahiliah masih bercokol dalam jiwa mereka dan bayang-bayang kejahilan masih mengkristal dalam hati mereka maka mereka hanya masuk Islam secara zahir sebagaimana yang dikatakan Amirul Mukminin As tentang mereka: Mereka tidak masuk agama Islam, akan tetapi mereka berpura-pura memeluk agama Islam.[33] Kelompok ini pada hakikatnya bukanlah kaum muslimin, tetapi mereka secara zahir menampakkan bahwa mereka adalah bagian dari orang-orang Islam, mereka ini menunggu kesempatan kapan dapat menghabisi agama dan menyerahkan kemenangan itu di tangan para tagut, setan, dan iblis. Mereka hendak mematahkan ajaran agama dari dalam dan mengikat tangan serta kaki syariat dan merantai syariat serta menjadikannya sebagai tawanan, dan pada akhirnya melakukan balas dendam terhadap agama benar ini; sebagaimana Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan katakan: Tidak ada agama dan wahyu datang dan tidak ada al-Qur’an diturunkan (ini adalah bentuk puncak pengingkaran terhadap kedatangan dan bi’tsah Nabi Saw beserta agama Islam dan al-Qur’an).
Bani Umayyah dan bani Marwan berkhayal bahwa sesudah mereka mengikat dan merantai agama maka agama akan lenyap selamanya, dan sesuai dengan anggapan mereka bahwa agama adalah suatu permainan, sesudah itu tidak akan mungkin hidup lagi; akan tetapi hadhrat imam Sajjad As dan hadhrat Zainab As dalam menyertai pemimpin para syuhada (hadhrat imam Husain As) dan dengan kepemimpinan beliau As, mereka menghidupkan agama dan melepaskan ikatan dan rantai yang membelenggu tangan dan kaki agama serta memukulkannya pada pintu rumah tirani bani Umayyah dan bani Marwan serta mempermalukan mereka dalam catatan sejarah umat manusia untuk selamanya.
Ketika imam Sajjad As ditanya didepan pintu gerbang Syam (syiria) tentang siapa yang menang dalam peperangan di Karbala, beliau As berkata: Jika kamu ingin mengetahui siapa pemenangnya maka ketika masuk waktu salat, (baca) azan dan iqamahlah!; yakni bacalah azan dan iqamah sehingga diketahui bahwa kalimat “Aku bersaksi bahwasanya Muhammad Saw itu adalah utusan Allah” merebak dan menyebar secara agung dan mulia di alam kemanusiaan dan kebudayaan serta peradabannya meliputi seluruh umat manusia.
Oleh karena itu, kelompok thugyân menggunakan pemberian kebebasannya dan kemerdekaan yang ada dalam Islam secara menyimpang dan menjadikan agama dan hukum-hukumnya sebagai tawanan serta merantai sunnat dan syariat. Dalam kondisi ini sudah jelas bahwa salat, puasa, dan haji tidak mempunyai kekuatan dalam amr makruf dan nahi munkar; sebab pengaruh positif yang diprediksikan untuk hukum-hukum Ilahi tertuju pada keberadaan obyektifnya, bukan hanya komprehensi subyektif; apatah lagi dengan hanya keberadaan lafaz dan tulisannya.
0 comments:
Posting Komentar