Andari Karina Anom
DUA profesi yang pada mereka kita “titipkan” nyawa kita: dokter dan pilot. Di dalam kamar operasi dan di atas pesawat, tiada yang bisa kita lakukan selain percaya pada mereka. Sebagai “alumnus” RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, saya pernah menitipkan hidup pada para dokter. Nah, hari ini, giliran saya menggantungkan nasib di tangan pilot.
Jam 7 pagi ini– Sabtu 2 Mei 2009– saya dan Ari Sutanti, my partner in crime, sudah duduk manis di dalam pesawat Air Asia QZ 7782 menuju Singapura. Setengah jam kemudian, pesawat pun take-off. Tak seperti biasanya, ketika sudah terbang, pesawat seperti tak naik-naik.
Lima belas menit pesawat mengangkasa, tiba-tiba terdengar dua kali suara seperti ledakan. Lalu sesekali badan pesawat agak oleng ke kanan. Satu-dua penumpang menjerit kecil. Pilot nampaknya berusaha keras menstabilkan posisi pesawat. Pengeras suara pun berkumandang: “Para penumpang yang terhormat, kami beritahukan bahwa mesin pesawat sebelah kanan mati, namun situasi dapat kami kendalikan. Mohon anda tetap tenang karena kami telah terlatih menghadapi situasi seperti ini. Kami sudah mendapat izin untuk kembali ke Soekarno Hatta…” Masya Allah!
Suasana di dalam kabin makin mencekam. Seorang ibu di sebelahku langsung mencengkeram tangan anak lelakinya. Seorang pria berwajah mirip Jamal Malik dalam Slumdog Millionaire meracau dalam tiga bahasa –India, Inggris dan Indonesia. Seorang bule bolak-balik menjerit: Did you hear that? Did you hear that? Para penumpang yang tak saling mengenal berpegangan tangan. Selebihnya hanya terdengar desisan doa.
Kecemasan makin menjalar. Baru belakangan kami ketahui, penumpang yang duduk sejajar sayap kanan melihat bagian bawah sayap memercikkan bola api di dua titik. Pesawat pun tersendat-sendat –seperti mobil tak bisa distarter– lantas agak miring lagi ke kanan. Laju pesawat makin tak stabil. Kengerian makin merambat tatkala dari arah kanan belakang terdengar bunyi bergedubrak berulang-ulang—seperti bunyi pintu yang terbanting-banting. Kami dicekam ketakutan luar biasa.
Ari sudah pucat pasi. Saya genggam tangan dan lengannya yang dingin. Meski badanku juga mulai menggeletar, saya berusaha tetap tenang, seraya menggumamkan zikir dan Al Fatihah. Saya sudah alami yang lebih buruk, maka saya pasrah kalau memang ini “sudah waktunya”. Toh, sudah disebut di Al Qur’an: Setiap manusia sudah mempunyai ajalnya. Apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sedetikpun dan tidak pula dapat memajukannya. (QS Al A’raaf:34).
Saya tak terlampau cemas akan diriku, tapi hatiku teriris-iris mengingat Aisha, anakku. Mama sayang kamu, nak. Air mataku menggenang membayangkan yang terburuk yang mungkin terjadi pagi itu.
Alhamdulillah. Pesawat akhirnya berhasil mendarat di Soekarno-Hatta. Ketegangan langsung lumer. Penumpang saling berpelukan dan menangis. Seorang bule memekik: “I’m back on the ground again, this is like my second life.”
Pihak Air Asia menawarkan penumpang menunggu –sampai pesawat selesai diperbaiki atau dialihkan ke pesawat mereka lainnya—atau menarik kembali uang tiket. Hampir seluruh penumpang memilih refund. Termasuk kami. Banyak yang beralih ke maskapai lain. Masih bergidik mengingat kejadian tadi, kami sepakat menunda terbang hari ini. Butuh waktu menenangkan diri sampai kami siap mengudara lagi. Tidak dengan Air Asia lagi, tentunya. There’s no way we’re getting back to that plane again. No, thanks.
0 comments:
Posting Komentar