Ketika Tuhan memanggilmu ke Pangkuan Nya datang dan dekaplah dalam hati nuranimu

Kamis, 16 Maret 2017

Shalat (Syaikh Ibnu Athaillah) – Bagian 2 | Suluk

[14] Ketahuilah, setiap shalat yang tidak mencegah dari perbuatan keji dan munkar tidak bisa disebut shalat. Karenanya, dirikanlah shalat disertai kesadaran bahwa jika shalat kita tidak dapat mencegah diri kita dari perbuatan keji dan munkar maka sesungguhnya shalat tersebut tidak diterima di sisi Allah meskipun kewajiban kita telah gugur.

[15] Shalat juga menjadi obat bagi hati agar tidak gelisah dan resah, serta selalu ridha kepada Allah. Sebab, hati orang yang shalat selalu terhubung kepada Allah. Ia tidak meminta kepada selain Dia, tidak takut kepada selain Dia, serta selalu memuji Allah, saat senang maupun susah.

[16] “Ibnu Athaillah berkata : Perumpamaan orang yang menunaikan shalat tanpa kehadiran hati adalah seperti orang yang menghadiahkan seratus kotak kosong kepada raja. Tentu orang itu pantas dihukum. Sementara, orang yang shalat dengan kehadiran hati adalah seperti orang yang menghadiahkan permata senilai seribu dinar kepada raja. Tentu saja raja akan selalu mengingatnya.”

[17] Apabila kau masuk dalam shalat, sesungguhnya kau sedang bermunajat kepada Allah Swt dan berbicara kepada Rasulullah Saw. Kau sedang berbicara dengan Allah, Sang Raja Diraja, dan berbicara kepada Rasul-Nya. Karena itu, berkomunikasilah dengan jasad, hati, dan ruhmu. Sungguh berbeda orang yang shalat disertai kehadiran hati dari orang yang shalat dengan hati yang lalai. Allah tidak menerima doa orang yang hatinya lalai. Orang yang mengerjakan shalat tanpa kehadiran hati maka shalat yang dikerjakannya adalah shalat yang kosong. Alih-alih mendapatkan pahala, ia malah layak mendapat hukuman. Ketahuilah, bahwa gerakan anggota badan laksana jasad, sementara kehadiran hati bersama Allah dan kekhusyukan merupakan ruhnya. Lalu, bagaimana shalat kita akan naik menuju Allah jika hanya berupa jasad tanpa ruh?! Mungkinkah bangkai mati bisa terbang kepada-Nya?!

[18] Para ulama tidak mensyaratkan kehadiran hati dalam keseluruhan shalat, karena hanya segelintir  orang yang bisa melakukannya. Jadi, kehadiran hati hanya disyaratkan ketika nama-Nya disebutkan meskipun sesaat. Tentu yang paling utama adalah saat takbir. Kita membatasi syarat kehadiran hati hanya pada saat takbir. Namun, orang yang lalai pada keseluruhan shalatnya tidak seperti orang yang tidak shalat sama sekali. Sebab, secara lahiriah, amalnya lebih baik dan hatinya lebih hadir.

[19] Rasulullah Saw bersabda,”Ketika seorang hamba mendirikan shalat, tidaklah dicatat untuknya seperenam atau sepersepuluhnya, tetapi yang dicatat untuk hamba adalah apa yang ia hayati dari shalatnya.”(HR. al-Nasai dan Ibn Hibban)

[20] Jika ingin menghadirkan hati dalam shalat maka kau harus berusaha menolak berbagai lintasan pikiran berikut sebab-sebab kedatangannya. Selain itu, sebelum takbiratul ihram kau bisa menguatkan ingatan terhadap akhirat, nilai penting munajat, dan mengingat kedudukan mulia di hadapan Allah. Kau juga bisa selalu mengingat bahwa Allah sedang melihat dan mengawasimu. Selain itu, sebelum bertakbir, kosongkanlah hatimu dari segala kerisauan sehingga tidak ada sesuatu yang bisa mengalihkan perhatianmu.

[21] Ibnu Athaillah berkata : “Shalat adalah tempat munajat dan wahana penyucian hati. Di dalamnya medan rahasia demikian luas dan kilau cahaya bersinar. Dia mengetahui kelemahan dirimu sehingga menyedikitkan bilangannya. Dia juga mengetahui kebutuhanmu terhadap karunia-Nya sehingga melipatgandakan pahalanya.”

[22] Shalat adalah tempat munajat. Munajat adalah sebentuk hubungan. Hamba bermunajat dengan Tuhannya melalui bacaan Al-Qur’an dan dzikir. Sementara, Tuhan bermunajat kepada hamba melalui pemberian pemahaman dan penyingkapan hijab. Dalam hadits shahih disebutkan,”Orang yang shalat sebenarnya sedang bermunajat kepada Tuhan.”(HR. Bukhari)

[23] Shalat merupakan wahana penyucian hati. Maksudnya, shalat bisa membersihkan ruh dari gambaran makhluk serta membersihkan munajat dari perasaan campur aduk dan bisikan kotor. Istilah itu dipergunakan untuk menggambarkan permintaan hamba dalam shalat agar Allah mengampuni berbagai kesalahan yang telah dilakukan seraya menampakkan taubat dan tekad untuk tidak melakukan kesalahan itu lagi. Dengan demikian, Allah akan mengabulkan permintaannya, mengampuninya, serta menghapus dosa yang telah dituliskan oleh malaikat dalam lembaran amalnya.

[24] Medan rahasia yang turun melimpahi hati ketika seorang hamba mendirikan shalat sangatlah luas, begitu juga kilau cahaya Ilahi yang bersinar di dalamnya, yang kemudian mengalir ke seluruh tubuh, lalu bercampur dengan ruhnya.

[25] Ketika seseorang berada di luar shalat, ia dihadapkan pada berbagai jenis kelalaian dan berbagai sebab yang membuatnya lalai. Namun, ketika ia datang menyambut seruan untuk shalat, menghadap kiblat, dan masuk ke hadirat Allah dengan bertakbir maka Allah akan menyambut serta memberikan karunia, rahmat, dan penerimaan ke dalam hati dan perasaan spiritualnya. Ketika itulah berbagai rahasia Ilahi turun disertai cahaya manifestasi Tuhan yang memenuhi perasaannya, yang semuanya tercermin dalam sikap khusyuk, hormat, dan cinta.[]

* Sumber : Taj al-Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus, 2011; (Tajul Arus, 2013)

0 comments:

Followers