Ketika Tuhan memanggilmu ke Pangkuan Nya datang dan dekaplah dalam hati nuranimu

Kamis, 16 Maret 2017

Makna dan Hakikat Doa

–Makna dan Hakikat Doa– (Syaikh Ibnu Athaillah)

“Bagaimana mungkin permintaanmu yang baru datang belakangan akan bisa mengubah anugerah-Nya yang terdahulu?”

Dalam bahasa sufistik, soal ikhtiar, doa, dan takdir dilihat dari dimensi hakikatnya.

Bahwa secara hakikat, upaya dan doa itu tidak akan menjadi sebab terwujudnya takdir, dan tidak akan mengubah takdir. Mengapa demikian? Karena takdir Allah Swt, dengan semua ketentuan-Nya telah mendahului ikhtiar dan doa kita.

Bagaimana mungkin, sesuatu yang baru (berupaya upaya dan doa kita) bisa mengubah sesuatu yang mendahului (ketentuan Allah Swt)?

Jadi, cara memahami hakikat doa dan ikhtiar adalah :

1. Doa dan ikhtiar itu sesungguhnya juga takdir.

2. Bila Allah Swt hendak memberi anugerah seseorang, maka si hamba juga ditakdirkan dan diberi kemampuan untuk berdoa dan ikhtiar.

3. Doa dan ikhtiar hanyalah tanda-tanda takdir itu sendiri.

4. Allah memerintahkan kita berupaya dan berdoa agar kita memahami bahwa kita sangat terbatas dan tak berdaya, sehingga doa dan upaya adalah bentuk kesiapan kehambaan balaka agar kita siap menyongsong takdir-Nya.

5. Aturan syariat mengharuskan kita berikhtiar dan berdoa, karena syariat adalah aturan bagi keterbatasan manusia, dengan bahasa dan tugas manusiawi (taklif), maka seseorang akan berdoa dan berikhtiar dengan penuh kepasrahan dan kerelaan pada ketentuan dan pilihan terbaik-Nya. Bukannya berdoa untuk memaksa-Nya mengubah takdir-Nya.

Maka, Ibnu Athaillah menegaskan dengan ucapan beliau : “Maha Besar (jauh) bila hukum Azali-Nya harus disandarkan pada sebab akibat yang baru.”

Allah Swt adalah sebab segalanya. Dan segalanya bergantung semua kepada Allah Swt. Allah Swt tidak pernah menjadi akibat; seperti akibat kita berdoa Allah menuruti apa yang kita mau, akibat kita berusaha Allah mengubah takdir-Nya. Jauh dan Maha Suci dari hal-hal seperti itu.

Berdoa kita lakukan semata untuk ubudiyah, manifestasi kehambaan kita akan terwujud ketika kita berdoa. Sebab dengan berdoa, manusia merasa hina dina, merasa butuh, merasa tak berdaya dan merasa lemah di hadapan-Nya. Dan itulah hakikat ubudiyah di balik doa, agar kita tetap menjaga rasa hina, rasa fakir, rasa tak berdaya dan rasa lemah. Karena dengan nuansa seperti itu kita akan cukup bersama Allah, mulia bersama-Nya, mampu bersama-Nya, kuat bersama-Nya. Wallahu a’lam.[]–(* Sumber : Cahaya Sufi, Edisi 79);

Doa kepada Allah (Dua’ Al-Haqq) :

“Dua’ Al-Haqq atau dalam sebuah catatan ditulis ‘thalqu al-lisan‘. Kedua kata ini sinonim. Jika Allah Swt ingin memberikan sesuatu kepada hamba-Nya, Allah menggiring lisan mereka untuk mengucapkan doa dan Allah akan mendengarkan doa itu.”- (Syaikh Al-Akbar Ibnu Arabi, dalam “Catur Ilahi”‘/ Syathranju Al-Arifin);

“Tersebutlah seorang wanita shalihah yang menjadi pelayan di sebuah rumah. Ia senantiasa melaksanakan shalat malam. Suatu hari, sang majikan mendengar doa-doa yang ia baca dalam sujudnya. Katanya,”Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan cinta-Mu kepadaku agar Engkau memuliakanku dengan bertambahnya ketaqwaan di hatiku…dan seterusnya. Begitu ia selesai shalat, sang majikan bertanya kepadanya,”Dari mana Engkau tahu kalau Allah mencintaimu? Mengapa engkau tidak katakan saja, Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan cintaku kepada-Mu?’

Ia menjawab,”Wahai tuanku, kalau bukan karena cinta-Nya kepadaku, mana mungkin Dia membangunkan aku pada waktu-waktu seperti ini. Kalau bukan karena cinta-Nya kepadaku, mana mungkin Dia membangunkan aku untuk berdiri shalat menghadap-Nya. Kalau bukan karena cinta-Nya kepadaku, mana mungkin Dia menggerakkan bibirku untuk bermunajat kepada-Nya.”– (*termuat dalam buku Haidar Bagir, berjudul “Islam-Risalah Cinta dan Kebahagiaan)[]

0 comments:

Followers