“Ambillah hikmah dari mana pun!” Seruan ini berlaku pula untuk barang-barang “kurang berharga” yang “nilainya cuma seribu rupiah”. Nilai hikmahnya bisa jutaan, trilyunan, … bahkan tak terhingga. Kisah di bawah ini contohnya.
Semalam kami sekeluarga (aku + istri + anak2) jalan2 malam sabtuan ke pameran buku2 islam di Gedung Mandala Bakti Wanitatama, Jogja (Yogyakarta). Kesan pertama: Ini pameran buku ataukah peragaan busana? Judul pamerannya “book fair”, tapi gedungnya dipenuhi dengan stand busana. Aneh!
Eh, tapi mungkin juga nggak aneh. Aku jadi ingat cerita istriku. Katanya, setiap kali dia ketemu ibu-ibu orangtua/wali murid di sekolah anak kami, yang dibicarakan selalu kerudung, jilbab, busana muslim, pakaian, busana, pakaian lagi, busana lagi, … duuuh capek deh. Nggak ada yang ngomongin soal buku.
Eh, sori, ngelantur.
Mari kita kembali ke pameran buku. Begitu masuk, aku amati para penjaga stand buku. Kebanyakan mereka kelihatannya kurang bergairah gitu. Apakah karena buku jualannya kurang laku? Ataukah karena honornya kekecilan? Ataukah karena lelah bin letih lantaran sudah malam? Ingin rasanya aku bertanya, tapi nggak tega. Aku takut mendapat jawaban negatif. (Dasar penakut, ya.)
Berhubung aku merasa kasihan, okelah aku beli beberapa buku. (Hehe, sok dermawan. Padahal yang kubeli yang murah-murah saja.) Tapi kuputuskan, tiap stand cukup satu saja buku yang kubeli, supaya ada pemerataan. (Sok sosialis ni ye.)
Saat di stand Muhammadiyah, aku juga beli satu buku. Tak kusangka, aku mendapat bonus satu eksemplar majalah Suara Muhammadiyah terbaru. Wah, kejutan yang menyenangkan. Tapi heran juga sih. Dalam hati, aku bertanya-tanya: Apakah Muhammadiyah sudah begitu kaya, sehingga mampu memberi bonus kepada setiap buku yang terjual? Ataukah karena bukunya kurang laku, sehingga perlu memberi iming-iming bonus? Entahlah. Lagi-lagi aku tak berani bertanya langsung kepada si penjaga stand.
Tak lama kemudian, saat aku hendak menyudahi jalan2ku di pameran buku ini, tiba-tiba mataku tertumbuk ke sebuah stand di pojok. Mataku terpaku pada tulisan “Rp 1000″. Hah?! Seribu rupiah? Aku terperanjat. Mosok, harga sebuah buku lebih murah daripada segelas es teh? Lebih murah daripada ongkos parkir sepeda motor? Lebih murah ketimbang sepasang sandal jepit? Huuhh.. Kok tega banget, sih, penjualnya? Nggak tahu, apa, susahnya bikin buku? Enak aja pasang harga serendah-rendahnya. Penjualnya mesti kulabrak, pikirku.
Mataku segera kupalingkan ke meja penjaga stand ini. Tapi hatiku segera luruh. Dibandingkan penjaga lain, dialah yang paling tampak loyo. Jadilah aku lagi-lagi takut bertanya. Lalu karena kasihan (hehe..), kuputuskan untuk membeli buku seribuan itu. Walau penampilan buku-buku yang diobral murah ini agak lusuh dan teronggok begitu saja, ini bukan masalah. Tapi khusus di stand ini, aku putuskan untuk membeli lebih dari satu buku. Lagi-lagi alasanku adalah karena “nggak tega”. (Padahal, mumpung murah banget. Kapan lagi ada kesempatan sebagus ini?)
Ketika memilih buku-buku seribuan yang hendak kubeli ini, aku makin terperanjat lagi. Aku temukan buku-buku karya Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Karel A. Steenbrink, Muhammad Quthb, Francine Pascal… Mengapa buku-buku bermutu seperti itu nggak laku sampai diobral serendah-rendahnya? Selain diriku, kelihatannya tidak ada orang lain yang mendekat ke kotak obral berisi buku seribuan ini. Jangan-jangan, para pembeli memilih buku cuman berdasarkan kovernya, bukan isinya. Padahal, niatnya itu mau “beli ilmu” ataukah beli kertas?
Saat aku sudah memilih enam judul, dua diantaranya adalah buku anak-anak, anak bungsu kami mendekatiku. Dia merengek minta pulang. “Capek,” katanya. Ya sudah.
Aku menuju meja penjaga. Aku bayar enam ribu rupiah. Itu saja. Tapi tak kusangka, wajah penjaganya langsung tampak cerah. Ia menganggukkan kepala sambil tersenyum kepadaku. Wow! Rupanya, dia lebih pandai bersyukur jika dibandingkan dengan penjaga-penjaga stand terdahulu (apalagi bila dibandingkan dengan diriku). Walau di stand-stand sebelumnya kubayarkan 20-an ribu, 50-an ribu, 70-an ribu rupiah, tidak ada yang wajahnya berubah menjadi seceria dia ini. Ternyata yang seribuan rupiah itu lebih membawa berkah!
Saat beranjak pergi dari tempat pameran, kuserahkan dua buku anak-anak seharga seribuan itu kepada anak kami. Sebelumnya, dia sudah kami belikan dua buku seri KKPK terbitan DAR! Mizan pilihannya sendiri. Harganya masing-masing 20-an ribu rupiah. (Tadinya dia mau milih VCD cerita yang berisi pelajaran bahasa Inggris-Arab. Tapi dia membatalkannya sendiri karena harganya kemahalan. Lagipula, di perpustakaan sekolahnya sudah ada, katanya.)
Lalu diam-diam, aku hendak memperhatikan, buku manakah yang akan dia baca lebih dulu. Seperti anak-anak lain pada umumnya, dia biasanya lebih suka mendahulukan yang lebih dia sukai. Apakah dia akan membaca yang “mahalan” ataukah yang “murahan” lebih dulu?
Dalam perjalanan pulang, buku pertama yang dia baca adalah yang seribuan rupiah! Saat setiba di rumah, setelah menyelesaikan buku pertama, buku kedua yang dia baca ternyata yang seribuan juga! Alhamdulillaah, ucapku dalam hati. Anak kami ini telah tahu caranya memilih mana yang lebih baik. Dia lebih mengutamakan isi buku daripada penampilan kovernya. Benar-benar seribuan rupiah yang membawa berkah, bukan?
0 comments:
Posting Komentar