Ibnu Athaillah r.a. berkata,”Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili r.a. berujar,’Seseorang berkata kepadaku,”Hai Ali, bersihkan bajumu dari kotoran, pasti pada setiap tarikan nafas kau akan dijaga dengan pertolongan Allah.” “Baju apakah?” Ia menjawab,”Allah telah memberimu pakaian makrifat, pakaian tauhid, pakaian cinta, pakaian iman, dan pakaian Islam. Barang siapa mengenal Allah, segala sesuatu menjadi kecil dalam pandangannya. Barang siapa mencintai Allah, segala sesuatu menjadi remeh baginya. Barang siapa mengesakan Allah, ia tidak akan menyekutukan-Nya dengan sesuatu. Barang siapa beriman kepada Allah, ia akan selamat dari segala sesuatu. Barang siapa patuh kepada Allah, ia akan sulit bermaksiat. Kalaupun bermaksiat, pasti ia segera memohon ampunan. Dan kalau meminta ampunan, niscaya diterima.” Dari sana aku memahami firman Allah yang berbunyi,”Bersihkan bajumu!”
Tafsir lahiriahnya adalah bahwa Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk membersihkan pakaiannya dari segala najis dan kotoran. Sebab, seorang mukmin harus tampil baik dan bersih, tidak pantas membawa kotoran.
Berkaitan dengan tafsir batiniahnya, Ibn Abbas berkata,”Baju adalah kiasan dari hati. Jadi, ayat itu maknanya bersihkan hatimu dari dosa dan maksiat.” Untuk menguatkan tafsiran tersebut, Ibnu Abbas mengutip ungkapan Ghaylan : “Alhamdulillah aku tak memakai pakaian pendosa. Dan aku pun tidak berhias dengan sikap khianat.”
Menurut al-Razi, pakaian diibaratkan sesuatu yang melekat pada manusia. Karena itulah kata baju digunakan sebagai kiasan bagi apapun yang melekati diri manusia, termasuk dosa dan kotorannya. Ada ungkapan berbunyi,”Kemuliaan terletak pada pakaiannya dan pemahaman terletak pada sarungnya.”(Madarij al-Salikin, Ibn al-Qayyim, 2/22). Makna kedua inilah yang dimaksud oleh ungkapan di atas.
Siapa yang membersihkan hatinya dari cinta kepada selain Allah lalu ia mengisinya dengan cinta kepada Allah maka segala sesuatu menjadi remeh dan kecil dalam pandangannya. Siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, ia akan sulit bermaksiat. Kalaupun melakukan maksiat, ia akan segera bertaubat kepada Allah seraya memohon ampunan kepada-Nya sehingga permohonan maafnya diterima.[]
* Sumber : Taj al-Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus, Syaikh Ibnu Athaillah, 2011; (Tajul Arus, 2013)
Kamis, 16 Maret 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar