menatap Muhammad buhulan rindu
tiada lidah yang tak kelu
tiada zarrah yang tak lebur
tiada alam yang tak lenyap
tiada mentari yang tak malu
tiada bintang-bintang yang tak bergetar-getar menahan segenap kelipnya
merintih akulah geletar cahaya Muhammad
aaakulahh geletar cahaya Muhammad
aaakulahh geletar cahaya Muhammad
dan tiada pula awan yang tak berarak-arak menanti pertemuan dengan Mu,
duhai Muhammad …
Sajak Maulid Nabi, dimitri mahayana, 1994
Wajah Asmara
dalam Nuansa
Nyala di dada
Buhulan Cinta !
dimitri mahayana, 1 November 1994
Wajah Asmara, Dia adalah puncak kesempurnaan yang mengatasi seluruh batas-batas terjauh alam imajinasi. Dia adalah puncak keagungan yang melampaui seluruh kebesaran rajanya raja di raja, dalam dunia, alam dan jutaan dan milyaran bahkan trilyun….. alam-alam yang ada (al-‘alamiin). Dia adalah puncak keindahan yang melampaui seluruh keindahan bidadari pencabut sukma. Di adalah Sang Maha Anggrek yang terselubung dalam hari Guruku YM Sayyid Musa yang keindahannya semoga senantiasa dipancakan-Nya ke maya pada. Sebatang Anggrek yang terkulai jika tiada dikenali. Anggrek dengan sejuta wangi kesturi. Dia-lah Sang Maha Gravitasi dengan segenap Keindahannya, KeagunganNya , KeCantikannya, Kewangiannya. Maulana Rumi Guruku tercintan mengatakan tentang Ia, ohh betapa pedih lengkingan sebatang seruling. Mengapa duhai seruling yang tak tahu darimana aku harus menyandarkan punggung-punggungku kalau aku lelah. Aku rindu Bambu tempat asal muasal aku mengada. Suaraku adalah geletar lara keterpisahan. Dimanakah Ia, duhai Bambu? Dimanakah Ia, duhai Sari-Sari Pusaran Cintaku? Dimanakah Ia, Wahai Sang Maha Rupawan?
Wajah Asmara adalah permukaan luar dari Kekasih Abadi yang senantiasa rapat tertutup dalam tabir-tabir kegelapan ataupun tabir-tabir cahaya. Wajah Asmara adalah tujuan tajalliyyat (penampakan Keindahan dan Kesempurnaan Tuhan) yang menerpa para pecintaNya. Hujan tajalliyyat ini begitu deras menerpa, sehingga remuklah talang-talang hati, hancurlah saluran-saluran beton “ego”, hancurlah semua bangunan kokoh yang ada di hati. Hujan tajalliyyat yang mahaderas terus-menerus menerpa sehingga lenyaplah semua yang ada di hati, imajinasi maupun konsepsi tersapu oleh airbah mahadahsyat. Airbah yang tiap percik zarrahnya adalah Gambar-Gambar Wjaha Kekasih. Airbah yang tiap-tiap buihnya adalah Luapan Kerinduan Kekasih. Airbah yang kedahsyatannya adalah Kehendak Yang Maha Agung. “Tiada apapun di hati kecuali Ia, Tiada Yang Maujud kecuali Ia.”
Telah berkata Guruku YM. Mir Budi Trisakti tentang hadirnya Sang Wajah Asmara. “Manakala seorang raja besar datang memasuki suatu negeri dihancurkannya segala yang ada sehingga hanya ialah yang duduk di singgasana agung dan mengatur seagalanya dengan kebijaksanaannya.” Manakala Ia telah hadir di hati maka tiada lagi selain Ia, karena Ia telah menghancurkan semua yang ada di hati dan duduk di singgasana kerajaan MahaAgung di hati kita. Jadi betapa mudah melihat apakah Ia Ada di hati atau tidak? Sekiranya dalam detak-degup jantung kita masih terukir hasrat untuk memperoleh kekayaan sekian-sekian, atau kedudukan yang cukup atau wanita cantik, pasti Ia tiada di hati! Sekiranya dalam detak-detak kekhawatiran masing terungkap cemas-cemas akan nasib anak dan istri sekiranya jiwa ini dipanggilNya, pasti Ia tiada di hati! Sekiranya dalam lubuk hati masih terbersit harapan-harapan pujian orang tua, handai taulan ataupun masyarakat luas, pasti Ia tiada di hati! Sekiranya dalam lubuk hati masih terbesit rasa takut kalau daging dan tulang kita dijadikan bahan bakar neraka, pasti Ia tiada di hati, karena dalam hati tertancap dalam sesembahan selain Ia yaitu “aku” yang mahabusuk dan pangkal semua kebusukan. Sekiranya dalam lubuk hati tersimpan hasrat yang amat kuat untuk beribadah agar memperoleh bidadari-bidadari surga, pasti Ia tiada di hati, betapa kotornya memanjangkan hasrat-hasrat birahi kita ke Alam Suci!
Wajah Asmara artinya semua adalah wajah-Nya. Bila kita mencintai Rasul, Ahlul Bait, orangtua, istri, anak seperti kita bayangkan menikmati cahaya lilin yang telah dipantulkan melalui berbagai cermin atau prisma, itulah kekasihNya yang sejati! Selain Ia hanyalah bayangan. Selain Ia hanyalah citra. Selain Ia memperoleh keindahan, keagungan, kenikmatan, keanggunan, kebaikan dariNya. Ia-lah yang ada di balik segenap keindahan, di balik semua keagungan, di balik semua kenikmatan, di balik semua keanggunan, dn dibalik semua kebaikan dan kasih sayang. Ia-lah Semua Kesempurnaan dan Keindahan, dan tiada kesempurnaan dan keindahan apapun selain Ia. Saat hangat cahaya mentari menerpa, bukan cahaya itu memberikan hangatnya tapi Mentari. Semua keindahan adalah tahapan-tahapan pancaran emanasi Sang Maha Surya. Tapalah Sang Maha Surya, maka gelaplah segala yang ada, dan hanya Dia-lah Yang Ada. Sebagaimana yang telah diajarka oleh guruku Husein bin Mansur Al-hallaj melalui berbagai Mursyid mulia (semoga senantiasa dirahmatiNya). “Manakala engkau pandangi tinta, huruf akan menghilang. Makala engaki pandangi huruf, tinta akan menghilang.” Tanpa tinta hutuf itu tiada, tanpa tinta hanyala tergeletak seelai kertas putih kosong. Maka tataplah Rasul dan Ahlul Baitnya yang suci di pusat-pusat. Cahaya Sang Maha Surya, ibu-bapak di salah satu pusat-pusat. KeindahanNya yang langsung terpancar kepada jasad maupun ruh, surga sebagai sepercik pelangi di atas pelangi di alam mayapada yang terbias dari HasrtatNya untuk memberi karunia yang kekal pada selainnya, neraka sebagai perckan meteor Surya yang akan melimatkan semua keburukan. Neraka adalah kasih-Nya yang sejati sebagaimana surga adalah karunia-Nya yang abadi…, maka terucaplah untaian kata suci. “Sekiranya Engkau kuatkan aku untuk menahan AzabMu maka betapa mungkin aku kuat untuk berpisah denganMu, sekiranya Engkai tegarkan aku untuk menahan panasnya nerakaMu maka betapa mungkin aku mampu untuk tiada melihat KeagunganMu …..”. itulah rintihan PecintaNya yang paling sejati dan murni, Murid Agung dari Baginda Rasulullah (SAWW), Imam Ali bin Abi Thalib (kw).
Dalam Nuansa, Nuansa adalah udara-udara beserta segala cakrawala angkasa yang senantiasa menemani tanah lempung tiada arti ini. Membiru keindahan ufuknya, meluas kelapangan tatapannya. Sungguh hayat kehidupan kita tergantung pada elemen-elemen udara tak tampak ini. Tiada nafas tanpa udara. Walau tidak terlihat. Sebagimana disebutkan dalam sebuah lagu seorag Sufi besar Fariduddin Attar Naishapuri, yang kuburnya senantiasa mewangi,
“ Dar hawayat
Mi parayam
Mi parayam
Ruze syab.”
“ Dalam udaraMu
aku terbang
aku terbang
di suatu malam.”
Udara tidak nampak. Tapi kehidupan seluruh tubuh material kita tergantung padanya. dan tidak mungkin kita melepaskan diri darinya. Seandainya di sekeliling tidak ada udara, maka pasti tubuh-tubuh material ini kan segera kehilangan hari-hari kehidupannya.
Seperti itu pula-lah keadaan-Nya. Ia ghaib dari pandangan lahir. Tapi Ia melingkupi semua sebagaimana udara melingkupi tubuh ini. Ia meliputi malaikat setiap Wujud dan kehidupan (baca: keberadaan) setiap yang maujud tergantung pada keberadaan-Nya. Subhaanalladzii biyadihi malakutu kulli syai’in wa ilaihi turja’uun. Ketergantungan kehidupan (baca: keberadaan) setiap yang maujud terhadap keberadaanNya jauh lebih dari ketergantungan kehidupan tubuh material ini terhadap oksigen pada udara. Jauh sekali. Tidak bisa dibandingkan.
Dalam Nuansa. Hijau, kuning, ungu dan merah maupun berbagai warna-warna tajalliyyat, yang ada di hati, itulah sumber segala kesan. Tuhan, Tuhan, Tuhan dan Tuhan maupun Tuhan yang tercermin-cermin melalui berbagai mustika alam tujuh mengesankan kesejukan nan cerlang di nuansa-nuansa hati, Yaa, nuansa hati. Nuansa hati tiada lain sumber segala kesan dan geletar hati. Dalam juataan nuansa hati, hanya Ia yang Ada dan tiada selain Ia. Maha Suci Ia yang menggolakkan hati dalam nuansa Nama-Nama-Nya. Mukmin tergolak di antara Nama-Nama positif dan mukmin memandang nama negatif sebagai negatif. Sedang kafir tergolek dalam Nama-Nama negatif dan memandangnya sebagai positif
Nyala di dada. Bagaikan lensa-lensa dan cermin-cermin, akal dari perenung menangkap berbagai bayangan Wajah Asmara, yang tampak dalam segala nuansa. Kemana saja engkau menghadap, di situlah Wajah Allah. Bayangan terang, Bukan bayangan gelap. Bayangan maya, bukan bayangan nyata. Wajah Kekasih teramat cantik. Wajah Kekasih teramat lembut. Wajah Kekasih teramat terang. Benderang Sorot beribu, berjuta Cahaya Wajah Asmara terbias ke dalam loh-loh (lembar-lembar) hati nan bagaikan kertas ingin menangkap Seluruh Kesempurnaan Wajah itu. Namun seribu Wajah tergambarkan, sejuta Wajah pun datang menyorotkan seinarnya. Sejuta Wajah tercitrakan, milyard-milyard Wajah pun makin menyemarakkan citra-citra di hati. Ohh…, Ohh…, Ohh…, maka cahaya cahaya cahaya cahaya cahaya cahaya … tersebut menyalalah. Menyala terang menggambarkan himpunan citra-citra Wajah Kekasih yang bercampur dan bergolak dalam berbagai bentuk dan intensitasnya. Terbakarlah loh-loh lembara hati tiada mampu menahan hujan cahaya tajalliyyat tiada tara, sehingga lenyaplah satu demi satu ia ia yang lain selain Kekasih yang termaktub di hati. Api menyala degan terang. Dan Api nya pun merintih lirih
Aku akan membakar
Aku akan membakar
Aku akan membakar
Atau sirna……
Itulah watak nyala api yang ada di hati. Ia adalah Buhulan Cinta. Cinta pada satu Wajah Kekasih ditambah dengan Cinta pada Wajah Kekasih yang lain ditambah dengan Cinta pada Wajah Kekasih yang lain ………. Tiada terbayang intensitas Cahaya Wajah demi Wajah cahaya yang terkumpul pada Buhulan Cinta. Sampai di sini, sampailah sang salik pada satu maqam perjalanan ruhani yang disebut maqam al-mahabbah yang dilewati setelah semua selain ia melebur dengan sempurna karena terbakar oleh nyala api cinta yang ada di hati.
Hati yang dipenuhi dengan nyala cinta akan melihat berbagai bentuk (surah) Wajah-Wajah Kekasih yang semakin lama semakin menambah gairah cintahnya. Semakin lama semakin tindu. Semakin lama semakin dipenuhi oleh perihnya rindu. Semakin lama semakin Indah dan Cantik Wajah Kekasih. Semakin lama semakin jauh salik melangkah mendekati-Nya, semakin salik tiada tahu kapankah Ia akan sampai kepada Sang Kekasih Sejati?
Cinta menyuarakan gending-gending dan seruling
faqir merintih rindu sembari berkeliling
Cinta meniup lembut lembar-lembar mahkota bunga
faqir menjeritkan harapan ‘tuk bersua
Cinta menjanjikan kekasih yang dirindukan
faqir nanar menangis … menangis … dan menangis
Wahai Kekasih… Wahai Pupur dan Bedak Kesturi
Wahai Seribu Wajah Asmara!
Laksana semut, fawir merayapi gunung-gunung…
di kala angin musim dingin menerpa salju-salju
O…Ratih…kaki fawir membiru, kaku, tiada mampu bergerak
O…Ratih…di manakah dikau harus kucari
O…Ratih…telah kulewati Fuji nun jauh di timur dan ratusan selat-selat berakitkan bambu
O…Ratih…kau tiadalah ada di satu kota-kota cinta
O…Ratih…hanyalah aroma wewangian asli yang kudapat ataulah gambar-gambar berpigura di pasar-pasar burung
Labuan hatiku yang tersembunyi…Latifah Ratih
Harapan rasaku yang tiada terjangkau…’Aliyyah Ratih
Pujaan nurani yang maha agung…’Azhiimah Ratih
Piala-piala anggur cinta…Waduudah Ratih
Kecantikan tiada tara tiada terbayang…Jamiilah Ratih
Raup-raup kesempurnaan kasih mesra…Rahiimah Ratih
Rahmat tiada terbatas bagai samudra…Rahmaniyyah Ratih
Puja dan puji yang sempurna….
Dimitri Mahayana, Hud-Hud Rahmaniyyah, Syair ke-16
Maka dikatakan, orang-orang mukmin amat sangat Cintanya kepada Allah. Cinta yang sejati dan murni Jauh dari seluruh khayal-khayal syahwati. Cinta yang sangat. Yang bertambah sangat dari hari ke hari. Seperti yang dikatakan di sebuah lagu
Tomorrow, I ‘ll love You twice more
Segera setelah balik mencapai maqam al-mahabbah, Wajah demi Wajah Kekasih yang telah bergolak dalam nyala menariknya ke dalam pusaran gravitasi Cinta Ilahi…, sehingga menghasilkan kerinduan mahadahsyat pada Yang Tunggal Tiada Tara. Salik akan memasuki suatu “Domain of Attraction”, daerah di mana dirinya akan menjadi butiran-butiran mazhar (manifestasi) yang melingkar-lingkar mendekat dan semakin mendekat pada Sang Maha Tunggal Tiada Banding. Tak mungkin lagi salik menatapkan wajahnya selain padaNya. Suatu kesetiaan tauhid tiada banding! Bukankah Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin As-Sajjad (a.s) telah bermunajat dalam Munajat Al-Muhibbiin;
“Ilaahi
mandzalladzii dzaaqa halaawata mahabbatik
faraama minka badalaa
waman dzalladzii anisa biqurbik
fabtaghaa ‘anka hiwalaa.”
“Ilaahi,
Apakah orang yang t’lah mencicipi manisnya cinta-Mu
akan menginginkan pengganti selain-Mu
Apakah orang yang t’lah bersanding di samping-Mu
akan mencari penukar selain-Mu.”
Dalam perjumpaan pertama Shamsuddin dari Tabriz dengan Maulana Rumi, Sang Matahari dari Tabriz menjelaskan, “Cinta adalah suatu penyakit, yang orang dihingapinya tidak pernah ingin disembuhkan.” Ya, Cinta kepada Tuhan itu perih, Kenapa? Perih karena rindu yang selalu menyayat, sedang Kekasih Sejati tiada terjangkau. Rindu yang makin menyayat. Karena semakin dekat sang pecinta tertarik mendekati Kekasih Sejati, semkain sadar sang pecinta ketakterjangkauan Kekasih dari haribannya. Maka ‘Arif besar abad ini, Ayatullah Al-‘Uzhma Sayyid Ruhullah Al-Musawi Khomeini telah bersyair;
“Asyiwam, Asyiqam
Marizh tu am
Ze in maraz
Ma dawa nami khoham.”
“Kasihku, duhai Kasihku
Aku sakit, karena-Mu
Dan akan sakitku ini,
ku tak ingin sembuh.”
Satu lagi pertanda agung dari maqam al-mahabbah ini adalah kemabukan. Betapa tidak? Nyala api Cinta nan terus bergolak menggambarkan Milyunan Kecantikan demi Kecantikan Yang Maha Cantik. Mulut terbelalak. Mata terpana. Syaraf-syaraf keindahan dan lokus-lokus wadah yang memahami keindahan dalam hati tiada mampu menyaksikan ini semua. Syaraf-syaraf pun rusak, Air Bah Kecantikan Wajah-Wajah Kekasih tertumpah dari wadah-wadah penerima keindahan, meyerang segenap syaraf. Kecantikan Wajah-Nya menyerbu seluruh indera-indera lahir dan batin. Maha Salik pun mabuk, terhuyung-huyung tak tahu arah tak tahu mata angin. Tak tahu di mana, ke mana, dan mau ke mana. Doyong kekiri tubuhnya dalam pelukan-Nya. Doyong ke kanan tubuhnya menggapai Bedak-Nya. Bukankah YM. Guruku tercinta Maulana Rumi telah merintihkan rintihan ini?
Pernah kaulihat pecinta yang demikian kepayang akan birahi ini? Pernah kaulihat ikan yang demikian mabuk pada lautan ini?
Pernah kaulihat wayang yang minggat dari pengukirnya? Pernah kaulihat. Wamiz bertobat pada Adhra?
Waktu berpisah, pecinta bagai nama tanpa makna; namun sebuah makna seperti kekasih tak perlu nama lagi.
Kau luat, aku ikannya-genggam aku menurut maumu; beri aku tujuan, tunjukkan wibawa raja tanpa kau aku akan terlunta-lunta.
Raja perkasa, apa yang kurang dari penunjuk jalan ini? Karena kau tiada, api menjulang tinggi.
Jika api melihatmu, ia pasti menyingkir; karena itu siapa saja yang memetik mawar dari unggun api, api akan memberi mawar yang indah mempesona
Tanpa kau dunia adalah siksaan bagiku, mungkin ia akan sirna bila ku tiada; demi hidup kumohon ini, tanpa kau hidup adalah aniaya dan derita bagiku.
Bayang-bayangmu bagaikan seorang sultan yang sedang tamasya dalam hatiku, malahan bagaikan Sulaiman ketika berjalan menuju mesjid Al-Aqsa di Yerusalem.
Ribuan lentera menyala, tabir segala mesjid tersingkap; surga dan Telaga Kautsar dikelilingi Ridwan dan bidadari-bidadari.
Terpujilah Tuhan, Terpujilah Tuhan! Di Surga ribuan bulan bersinar terang. Rumah suci ini pun di huni malaikat dan bidadari-bidadari, hanya mereka tersembuyi dari mata si buta.
Burung molek dan bahagia itulah yang bersemayam dalam cinta! Siapa bisa mencapai puncak gunung Qaf kecuali burung ‘Anqa?
Molek si ‘Anqa mulia, maharaja Shamsi Tabriz! Ialah Matahari yang tak berasal dari Barat ataupun Timur, tak dari mana pun.
Nyala api Cinta Ilahi bergolak, membiaskan berbagai Wajah demi Wajah keindahan. Salik menatap Keindahan demi Keindahan Kekasih. Salik menatap Keanggunan dan Haibah Tuhan. Tiap saat dan tiap waktu. Hati salik-pun menangkap realitas segala peristiwa. Hati salik-pun memahami Makna Keindahan di balik segala peristiwa. Semua makna yang ada di hati salik sebelum mencapai maqam al-mahabbah akan dimaknakan ulang setelahnya. Tiada lagi kesedihan kecuali menjadi kebahagiaan. Tiada lagi kesulitan kecuali menjadi kenikmatan. Semua hal berubah substansi-nya, dengan sebenar-benar perubahan. Sebagaimana dilantukan oleh Maulana Rumi;
Karena cinta pahit berubah menjadi manis,
karena cinta tembaga berubah menjadi emas.
Karena cinta ampas berubah jadi sari murni,
karena cinta pedih menjadi obat.
Karena cinta kematian berubah jadi kehidupan,
karena cinta raja berubah menjadi hamba.
Jalaluddin Rumi
Lenyaplah berbagai dualisme-dualisme di hadapan sang salik. Tiada lagi pahit dan manis, semuanya manis. Tiada lagi tembaga dan emas, semuanya emas. Tiada lagi pedih melainkan ia adalah obat. Hilangnya dualisme-dualisme ini memasukkan salik kedalam alam monisme, alam kesatuan, alam ketunggalan, yang merupakan negasi dari alam al-katsrah atau alam kejamakan. Salik mulai akan masuk ke dalam daerah ketertarikan (domain of attraction) dari Tuhan Yang Tunggal Tiada Tara, yang di dalam daerah ini, salik akan memulai perjalanan barunya kembali menuju maqam-maqam berikutnya yang tiada terhitung banyaknya. Jauh, jauh sekali. Betapa sedikitnya bekal dan betapa jauhnya perjalanan. O..betapa jauhnya perjalanan dalam alam para muhibbiin ini…
Dan segala puji hanyalah bagi-Nya,
aku berlindung pada-Nya dari semua ke-iblisan diriku,
tiada daya upaya kecuali hanya dari-Nya selalu,
Wallahu a’alm bish-showab
0 comments:
Posting Komentar