Ketika Tuhan memanggilmu ke Pangkuan Nya datang dan dekaplah dalam hati nuranimu

Jumat, 04 Maret 2011

Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah Hasan-Husein

Pengantar Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah Hasan-Husein (disingkat ; TQN Hasan-Husein) merupakan pendalaman dan pengembangan dari thoriqoh Qadiriyyah yang didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra, dengan memakai suatu pola atau metode pengajaran yang telah “dimodifikasi” oleh pendiri TQN yaitu Syaikh Ahmad Khatib al Sambas ibn Abdul Ghaffar ra. Yang kemudian dari jalur tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah ini turun dan diteruskan oleh para syaikh setelah syaikh Khatib Sambas sehingga sampai kepada mursyid kita saat ini yaitu ayahanda Syaikh Ghauts al Hasan ra. Nama tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah ini mendapat tambahan nama Hasan-Husein yang mengambil dari nama kedua guru syaikh Ghauts al Hasan yaitu Syaikh Ahmad Hasan dan Syaikh Husein. Pada prinsipnya dengan mengacu kepada silsilahnya, TQN Hasan-Husein adalah tarekat Qadiriyyah yang dimodifikasi oleh syaikh Khatib Sambas. Oleh karena itu untuk mempelajari mengenai TQN ini maka terlebih dahulu harus mengenal mengenai apa dan bagaimana Tarekat Qadiriyyah itu dan Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra sebagai penyampai ajaran ini.
Tentang Tarekat QadiriyahTarekat Qadiriyyah adalah suatu cara untuk melakukan penempuhan Jalan Spiritual yang risalahnya berasal dari jalur silsilah para Ahlulbait Rasulullah Saaw yang diajarkan secara turun temurun kepada keturunan dan para murid-muridnya. Nama tarekat ini dinisbatkan kepada Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra, karena melalui namanya tarekat ini menjadi besar dan harum, dan beliaulah seorang Quthubul Aulia (Wali Quthub) yang terkenal sebagai seorang Ulama Fiqih, Ahli tasawuf, dan manusia shaleh yang memiliki banyak karamah. Tarekat Qadiriyyah merupakan tarekat yang tertua didalam sejarah tasawuf Islam, dimana didalam praktek amaliahnya terkenal dengan Dzikir Jahar nya yang menimbulkan suara bergemuruh dan menggetarkan hati serta mencucurkan air mata orang-orang yang mendengarnya. Untuk mengenal tarekat Qadiriyyah ini sangatlah penting jika kita mengetahui tentang Syaikh Abdul Qadir Jailani ra yang oleh para ahli tasawuf disebut sebagai pendiri tarekat ini.Tentang Syaikh Abdul Qadir Jailani raGuru kami Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dilahirkan di Jilan pada tahun 470 H. (1077 M) dan meninggal di Baghdad pada tahun 561 H. (1166 M.).
Menurut Syaikh al Tadafy ra dalam kitabnya Qalaid al-Jawahir, nama lengkap al Jailani adalah Muhy al-Din Abu Muhammad 'Abd al-Qadir ibn Abi Shalih Musa ibn Abi 'Abdillah ibn Yahya al-Zahid Muhammad ibn Daud ibn Musan ibn 'Abdillah ibn Musa al-Jun ibn 'Abd al-Muhshin ibn al-Hasan al-Mutsana ibn Muhammad al-Hasan ibn 'Ali ibn Abi Thalib r.a.Silsilah ini mengantarkan kita pada suatu kesimpulan bahwa Syekh 'Abd al-Qadir al-Jaylani adalah keturunan Baginda Besar Sayyid al Musthafa Rasulullah Muhammad Saaw, melalui Imam Hasan ra yang merupakan cucu Rasulullah Saaw, melalui putri beliau Sayyidah Fatimah az Zahra ra istri dari Imam Ali ibn Abi Thalib kw.
Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra, merupakan seorang ulama yang alim di bidang fiqih dan ushul fiqih mazhab Hambali dan sekaligus sebagai seorang sufi besar, yang menjadi “Quthub al Aulia”, yaitu pusat para waliyullah, yang menjadi mursyid dari banyak ahli-ahli tasawuf. Beliau adalah peletak dasar tarekat Qadiriyyah yang merupakan salah satu tarekat yang tertua didalam sejarah tasawuf Islam.
Dalam usia 18 tahun Abdul Qadir muda meninggalkan tempat kelahirannya menuju Baghdad untuk menuntut ilmu pengetahuan. Pada tahun 488 H (1095 M) dia tiba di Baghdad. dia lalu menghabiskan 25 tahun dari usianya sebagai seorang pengembara sufi di padang pasir Iraq, sebagaimana telah dikemukakan oleh penulis Shorter Encyclopaedia of Islam.
Pertama kali dia berguru dengan Abu al-Khair Muhammad ibn Muslim al-Dabbas ra (W. 525 H./1131 M) yaitu salah seorang Khalifah dari Mursyid tasawuf pada saat itu yang juga seorang Ulama ahli Tafsir al Qur’an yaitu Syaikh Abu Sa'id al Mubarak ibn Ali al Muharrami al Makhzumi ra, sampai mendapat Bai’at dan jubah darwis yang merupakan simbol dari jubah Rasulullah Saaw dari Syaikh al Qadhi Abu Sa'id al-Mukharrami al Makhzumi ra melalui jalur silsilah Syaikh al Qadhi Abu Sa'id al-Mukharrami al Makhzumi ra yang mendapatkannya melalui Syaikh Abul Hasan Ali bin Muhammad al Qirusy al Hakaari ra, dari Syaikh Abul faraj al Thirtusi ra, dari Syekh Abdul Wahid al Tamimi dari Syaikh Abu Bakr Dulaf al Syibli ra, dari Syaikh Abu al-Qasim Junaid al-Baghdadi ra, dari Syaikh Sari al-Saqathi ra, dari Syaikh Ma'ruf al Karkhi ra, dari Imam Abu al Hasan 'Ali al Ridha ra, dari Imam Musa al Kazhim ra, dari Imam Ja'far al-Shadiq ra, dari Imam Muhammad al Baqir ra, dari Imam Ali Zainal 'Abidin ra, dari Imam Hussein ibn 'Ali ra, dari Imam Ali ibn Abi Thalib kw, dari Rasulullah Muhammad Saaw.
Terhubungnya silsilah tarekat Qadiriyyah ini kepada Ahlulbait Rasulullah Saaw yang merupakan gerbang ilmu, adalah melalui Syaikh Ma’ruf al Karkhi ra yang menjadi murid dari Imam Ali ibn Musa al Ridha ra. Dimana Imam Ali al Ridha ini adalah keturunan langsung dari Rasulullah Saaw, melalui cucu beliau yaitu Imam Hussein ibn Ali ibn Abi Thalib.
Syaikh Abu Sa'id al-Muharrami ra berkata mengenai Syaikh Abdul Qadir ra, “Sesungguhnya Abdul Qadir menerima bai’at dan jubah darwis dariku, akan tetapi aku juga menerima jubah pelayanan darinya.” Hal ini merupakan pengakuan dari sang guru yaitu Syaikh Abu Said al Muharrami al Makhzumi ra, kepada Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra, mengenai keutamaan beliau didalam ilmu tasawuf.
Syaikh Abu Sa'id al-Muharrami ra mengajar disebuah sekolah miliknya di daerah Babul Azj kota Baghdad. Sejak tahun 521 H (1127 M), dimana beliau menerima ijasah dari gurunya dalam fikih mazhab Hanbali untuk mengajar dan berceramah dan kemudian mewariskan madrasah tersebut kepada Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra pada tahun 528 H bersama sebuah “zawiyyah” (tempat latihan para sufi) di Baghdad yang dijadikan sebagai tempat tinggal bersama keluarganya yang besar dan sekaligus tempat mengajar murid-muridnya yang juga tinggal bersamanya.
Selain itu, Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra mendapat restu pula dari seorang sufi besar bernama Abu Yusuf al Hamadani (440-535 H./1048-1140 M). Dan mendapatkan pengakuan tentang keutamaan-keutamaan beliau didalam ahlak dan ilmu.
Setiap minggu sekitar tiga kali Syaikh berbicara pada murid-muridnya. Dua kali di madrasah (sekolah) yaitu Jum'at pagi dan selasa sore; satu kali di ribath yaitu minggu pagi. Kemudian dibelakang hari, banyak diantara muridnya yang terkenal sebagai para wali yang keramat. Syaikh Abdul Qadir al Jailani meninggalkan beratus-ratus khotbah yang berisi ajarannya tentang agama dan tasawuf khususnya. Dari kumpulan khotbahnya itu kemudian disusun menjadi beberapa kitab yg merupakan karya dari Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra antara lain :
1. Al Ghunyah li Thalibi Thariq al Haqq (Bekal yang memadai bagi para pencari jalan kebenaran)
2. Al-Fath ar-Rabbâniy, berisi 62 khotbah yang disampaikan dalam tahun 545-546 H (1150-1152 M)
3. Al Malfuzhat (Tutur kata Syaikh Abdul Qadir) Kitab ini sering diperlakukan sebagai semacam lampiran atau suplemen bagi karyanya Al-Fath ar-Rabbâniy.
4. Futûh al-Ghayb (Pembuka tirai kegaiban), berisi 78 khotbah tentang berbagai masalah agama yang dikumpulkan oleh anaknya, Syekh 'Abd al-Razzaq.
5. Jala al Khawatir (Meniadakan kepedulian-kepedulan) Berisi 45 Bab.
6. Sirr al Asrar fi ma Yahtaj Ilaihi al Abrar. Kitab ini merupakan karya monumental dari Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra. Dimana didalamnya berisikan pengungkapan tentang makna-makna ibadah, dan berbagai macam hakikat.
Selain itu beliau juga meninggalkan beberapa kumpulan zikir dan wirid, antara lain :
1.
Al-Fuyudhât ar-Rabbâniyyah fi al-Awrâd al-Qâdiriyyah
2. Hizb Bash'ir al-Khayrat
Kebanyakan khotbahnya mengacu pada karyanya berjudul Al-Ghunya li Thalibi Thariqi al-Haqq, yaitu risalahnya yang berisi uraian tentang ibadah dan akhlak. Dari berbagai karyanya, tidak diragukan lagi bahwa Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra adalah seorang teolog (ahli kalam) seorang mujtahid dalam fiqih dan seorang orator yang pandai. Syekh Abdul Qadir al-Jailani ra adalah seorang yang keras berpegang pada kebenaran dan perjuangannya. Dia tidak takut memberi nasihat kepada para penguasa, kepada Khalifah sekalipun. Pada waktu Khalifah Al-Muqrafi li Amr Allah mengangkat Ibn al-Muzahim sebagai hakim, padahal dia dikenal sebagai seorang yang zalim, Al-Jailani pun naik mimbar dan berkhotbah antara lain : "Wahai Amir al-Mu'minin, tuan angkat seorang yang terkenal paling zalim menjadi qadhi bagi kaum muslimin, Apakah jawab tuan nanti bila ditanya hal itu oleh Tuhan sekalian alam, Yang Maha Penyayang ?" Pada saat itu Khalifah gemetar dan menangis mendengar khotbah tersebut. Qadhi yang diangkatnya pun dipecat dari jabatannya. Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra selalu menyeru murid-muridnya agar bekerja keras untuk kehidupan, dan menegaskan bahwa tarekat tidak berarti membelakangi kehidupan. Katanya, "sembahlah olehmu Allah 'Azza wa Jalla, mintalah pertolongan untuk memperkuat ibadah kepada-Nya dengan kerja yang halal. Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang mukmin, taat dan memakan yang halal dari hasil kerjanya. Dia mencintai orang yang makan dan bekerja, dan membenci orang yang makan saja tanpa bekerja, serta membenci pula orang yang nafkah hidupnya bergantung kepada masyarakat. Syaikh juga mengingatkan kepada para pengikut tarekatnya agar tetap berpegang kepada sunnah Rasulullah dan syari'at agama Islam. Beliau juga mengingatkan bahwa setan banyak sekali menyesatkan ahli tarekat dengan cara menggodanya agar meninggalkan syari'at karena sudah melaksanakan tarekatnya dan mengetahui makna ibadah.
Dengan kealiman dan kepribadiannya itu, wajarlah kalau Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra banyak mendapat pujian dari berbagai pihak. Misalnya dari Ibn 'Arabi (W. 1240 M), penulis kitab Al-Futuhat al-Makiyyah yang menganggap Syekh 'Abd al-Qadir sebagai seorang yang pantas menjadi wali "quthub" pada masanya Ibn Taymiyah (W. 728 H) seorang mujtahid dalam mazhab Hambali, yang sering memojokkan para sufi dan tasawuf, juga ikut memujinya, Abu al-Hasan al-Nadwi menulis dalam kitabnya Al-Imam 'Abd al-Qadir al-Jaylani tentang kepribadian pendiri thariqah Qadiriyah ini adalah sebagai berikut : 'Abd al-Qadir al-Jaylani telah menyaksikan apa yang telah menimpa kehidupan umat Islam pada masanya. Mereka hidup berpecah belah dan saling bermusuhan. Cinta dunia telah mendominasi mereka disamping berebut kehormatan disisi raja dan sulthan. Manusia sudah berpaling kepada materi, jabatan dan kekuasaan. Mereka berkeliling disekitar penguasa dan mengkultuskannya. Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra hidup ditengah-tengah mereka. Tetapi menjauh dari semua itu dengan fisik dan mentalnya. Dia berbalik menghadapinya dengan nasihat bimbingan, dakwah dan pendidikan untuk memperbaiki jiwa kaum muslimin dan membersihkannya.
Untuk memerangi kemunafikan dan kecintaan kepada dunia, dengan cara menanamkan jiwa agama, menguatkan akidah yang benar terhadap hari akhirat dan menghindar dari tipu daya dunia. Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra tetap memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak tahun 521 H sampai pada wafatnya pada tahun 561 H. Setelah dia wafat, madrasah dipimpin oleh anaknya bernama 'Abd al-Wahab (552-593 H./1151-1196 M) yang kemudian dilanjutkan pula oleh anaknya bernama 'Abd al-Salam (W. 611 H./1214 M.), sedangkan seorang anaknya yang lain bernama 'Abd al-Razzaq (528-603 H./1134-1206 M.) dan Abdul Aziz adalah sufi yang zahid dan terkemuka pada masanya. Madrasah dan ribath tersebut tetap bertahan dalam pimpinan keluarga Syekh 'Abd al-Qadir sampai hancur leburnya kota Baghdad pada tahun 656 H (1258 M) karena serangan tentara Momgol dibawah pimpinan Hulagu Khan, yang mengakibatkan sebagian besar keluarga Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra wafat. Meskipun demikian, ajaran-ajaran Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra yang diberikan dalam ribath yang dipimpinannya dan diteruskan oleh anak-anaknya tetap hidup dalam zawiyah-zawiyah, tempat para sufi melatih diri dalam kehidupannya. Ibnu Bathuthah, pengelana muslim di Dunia Islam abad ke-13 M, mencatat bahwa di Baghdad pada waktu itu terdapat zawiyah sufi yang mempraktekan ajaran-ajaran al Jailani dalam ribath yang dipimpinnya pada abad sebelumnya. Dari zawiyah-zawiyah inilah lambat laun terbentuk suatu komunitas muslim penganut ajaran Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra di bidang tasawuf yang kemudian dikenal tarekat Qadiriyyah. Syaikh menentukan bagi setiap orang yang baru memasuki tarekatya agar beritikad dengan akidah yang benar. Yaitu kaidah para pendahulu (salaf) yang shalih, akidah Rasulullah Saaw dan para Imam dari Ahlulbaitnya as yang diikuti oleh para sahabat dan tabi'in. Juga harus berpegang teguh dan mengamalkan Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah dengan sungguh-sungguh sehingga memperoleh petunjuk dan bimbingan dalam menapak jalan (thariq) yang menyampaikan ke akhirat Allah swt.
Selain itu, al-Jailani juga menambahkan agar para “mubtadi” (pemula) bersikap dengan berbagai sifat, seperti bersih hati, jernih muka, memberi kebajikan, menyingkirkan kejahatan, faqir, memelihara kehormatan kepada Syaikh, bergaul baik sesama ikhwan, memberi nasihat kepada orang kecil dan orang besar, meninggalkan permusuhan dan memberi bantuan dalam masalah agama dan dunia.
Seorang pengikut tarekat Qadiriyyah harus berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah dan riyadhah) hingga dia memperoleh dari Allah apa yang telah dibukakan Nya kepada para Nabi dan wali. Bila sang murid sudah mencapai hal itu, maka tibalah saatnya masa perpisahan antara guru dengan murid. Pada saat itu guru memberikan ijasah "keguruan" (khirqah al-masyikhah) kepada muridnya sehingga si murid itu telah menjadi seorang Syaikh tarekat Qadiriyyah diantara para Syaikh yang sudah ada. Ada suatu keunikan pada tarekat Qadiriyyah ini, yaitu sifatnya yang luwes. Bila seorang murid telah mencapai derajat Syaikh seperti gurunya, dia tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya.
Seorang Syaikh tarekat Qadiriyyah yang baru dikokohkan berhak untuk tetap mengikuti metode-metode pengajaran dari guru sebelumnya atau melakukan pengembangan metode-metode menurut Syaikh yang baru tersebut. Hal ini karena adanya petuah dari Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra, bahwa murid yang sudah mencapai derajat guru maka dia menjadi mandiri sebagai Syaikh. Menurut Tirmingham, tarekat Qadiriyyah sampai sekarang masih merupakan suatu tarekat yang besar di Dunia Islam dengan berjuta-juta pengikutnya. Mereka tersebar di segala penjuru bumi, seperti Yaman, Turki, Syria, Mesir, India dan Afrika. Sejak zaman Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra sudah ada beberapa orang muridnya yang menyebarkan sistem tasawufnya ke berbagai negeri Islam, misalnya : 'Ali ibn al-Haddad di daerah Yaman, Muhammad al- Batha'ihi di daerah Baalbek dan di Syria, Taqiy al-Din Muhammad al-Yunani juga di daerah Baalbek dan Muhammad ibn 'Abd al-Shamad di Mesir. Menurut al-Washiti, ada dua orang diantara putra-putri Syaikh Abdul Qadir al Jailani yang berperan dalam penyebaran tarekat Qadiriyyah ini, yaitu : 'Abd al-Razzaq (W. 603 H) dan 'Abd al-Aziz (W. 602 H). Keduanya dengan ketulusan dan kerendahan hati telah bekerja keras menyebarkan ajaran tasawuf ayahandanya sehingga menimbulkan simpatik orang banyak untuk bergabung dengan ajaran tarekat ayahandanya tersebut. Malah menurut Le Chatelier, pada masa hidup Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra sudah ada beberapa orang anaknya yang menyebarkan ajaran ayahandanya ke berbagai negeri seperti : Maroko, Mesir, Arabia, Turkestan dan India. Menurut E. Mercier, pada abad 12 M sudah ada tarekat Qadiriyah memasuki daerah Barbar di Afrika utara.
Dengan demikian tarekat Qadiriyyah sudah tersebar luas ke berbagai negeri Islam di barat dan di timur dalam abad ke-12 dan ke-13 M. Hal ini merupakan hasil kerja keras anak-anaknya dan beberapa orang muridnya. Akan tetapi menurut Trimingham, tarekat Qadiriyyah yang berpusat di Syria dan Iraq pada abad ke-13 M belum mendapatkan indikator yang menegaskan adanya penyebaran besar-besaran sebelum abad ke-15 M. Menurutnya, meskipun ketokohan Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra sebagai seorang puncak wali yang mendunia sangat populer, tetapi Qadiriyyah sebagai tarekat kurang populer, terutama di Mesir. Di India, Qadiriyyah baru mantap perkembangannya setelah Muhammad Gwash (W. 1517 M), yang mengaku keturunan Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra. Di Turki, tarekat ini disebarkan oleh Ismail Rumi (W.1041 H./1631 M) yang diberi gelar sebagai "pir Tsani" (Mursyid kedua). Dia mendirikan sebuah ribath (khanaqah) di Top-khaneh dan mengaku telah mendirikan 40 buah taqiyah (zawiyah) di daerah ini.
Sebaliknya di Mekah, ribath tarekat Qadiriyyah sudah berdiri sekitar tahun 1180 H (1669 M) malah menurut penelitian Le Chatelier, sejak Syaikh Abdul Qadir masih hidup sudah ada ribath Qadiriyyah di kota suci tersebut. Mungkin karena keluwesan ajaran tarekat Qadiriyyah sebagaimana telah dikemukakan, tempat setiap syekh tarekat Qadiriyyah bersifat mandiri, maka wajarlah kalau di Dunia Islam terdapat berbagai tarekat sufi yang mandiri, tetapi termasuk dalam kelompok tarekat Qadiriyyah dan menisbatkan ajarannya kepada Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra. Trimingham mencatat ada sebanyak 25 buah tarekat di berbagai negeri Islam, yang dimasukannya ke dalam kelompok tarekat Qadiriyah (Qadiri Groups Order). Di India ada 7 buah thariqah yaitu : tarekat Banawa di Dekkan India pada abad ke-19 M. Tarekat Ghautsiyah, didirikan oleh Muhammad Ghauts yaitu Muhammad ibn Syah Mir ibn 'Ali (W. 923 H./1517 M) dia mengaku keturunan Syaikh Abdul Qadir al Jailani dari anaknya Abdul Wahab (W.1196 M). Dia berhasil memantapkan ajaran tarekat Qadiriyyah di wilayah India. Dan tarekat Junaidiyyah, didirikan oleh Baha'uddin al-Junaidi (W.921 H./1515 M) di India.
Dia mengambil tarekat Qadiriyyah Abu al-Abbas ahmad ibn al-Hasan yang mengaku keturunan Syaikh Abdul Qadir al jailani. Tarekat Kamaliyyah, didirikan oleh Kamal al-Din al-Khitali (W.971 H./1584 M) tarekat Miyan Kher, didirikan oleh Mir Muhammad, dia biasa disebut Miyan Mir, lahir di Sind tahun 1550 M, dan wafat di Lahore pada tahun 1635 M. tarekat Qumaishiyyah, didirikan oleh Abu al-Hayat ibn Mahmud (W.992 H./1584 M), dia mengaku keturunan Syaikh Abdul Qadir al jailani dari anaknya Abdul Rahman (W.623 H). tarekat ini dinamai Qumaishiyyah karena dimabil dari nama anak pendirinya yaitu Syah Qumaysh dari Benggali. tarekat Hayat al-Mir, tarekat ini sama dengan nama pendirinya.
Di Turki tercatat ada 6 buah yang termasuk kelompok thariqah Qadiriyah yaitu :
?
?
tarekat Hindiyah, didirikan oleh Muhammad Gharib Allah al-Hindi
Di Yaman juga ada 6 buah tarekat yang termasuk kelompok thariqah Qadiriyah, yaitu :
tarekat Ahdaliyah, didirikan oleh Abu al-Hasan 'Ali ibn 'Umar al-Ahdal, yang dimakamkan di Yaman.
Di Afrika ada 5 buah tarekat yang termasuk kelompok tarekat Qadiriyah, yaitu :
a. Zawiyah Manzal Bu Zelfa denga 3 cabangnya di Jerba, Sfax dan Gabes. Wilayah penyebarannya di Tunisia bagian timur laut b. Zawiyah Kef, pendirinya Syekh Muhammad al-Mazuni (abad 19 M). Dia menerima dari Sidi al-Hajj dan Abu 'Abdillah Muhammad al-Imam dari Muhammad al-Manzali. c. Zawiyah Nefta, didirikan oleh Abu Bakar ibn Ahmad Syarif, seorang murid Imam al-Manzali. Pengaruhnya di bagian selatan Algeria dan Tunisia.
tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan oleh orang-orang Maroko kepada Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra, yang lebih bersifat pemujaan daripada semacam tarekat sufi. Jilala dimasukan ke Marokko dari Spanyol dan diduga setelah keluarga (keturunan) Syaik Abdul Qadir pindah dari Granada beberapa waktu sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M.
?
?
tarekat 'Ammariyyah, nama tarekat ini diambil dari nama Ammar Bu Sena (W.1780 M) yang dimakamkan di Bu Hammam di Algeria. Didirikan oleh seorang negro bernama al-Hajj Mubarak al-Bukhari pada tahun 1815. tarekat ini trsebar di Algeria dan Tunisia. tarekat Bakka'iyyah, didirikan oleh Ahmad al-Bakka'i al-Kunti (W.1504 M). tarekat ini tersebar dikalangan bangsa Moor di Sahara barat dan Sudan sampai ke orang-orang Negro di Afrika barat.
Di Marokko terkenal terdapat kuburan mereka itu di Fez yang disebut "Syurafa Jilala".
Selain itu ada 2 buah tarekat di Syria, yaitu Da'udiyah yang didirikan oleh Abu Bakar ibn Da'ud (W.806 H./1403 M) di Damaskus; dan Shamadhiyah yang didirikan oleh Muhammad al-Shamadi (W.997 H./1589 M).
Sebaliknya di Mesir juga ada 2 buah tarekat yang termasuk kelompok tarekat Qadiriyah, yaitu Faridiyyah yang mengaku berasal dari 'Umar ibn al-Farid (W. 1234 M) dan muncul pada abad ke-16 M.; dan Qasimiyah, yang muncul di Mesir pada abad ke-19 M.
Di Albania terdapat tarekat Zinjiriyyah yang didirikan oleh 'Ali Baba dan dianggap sebagai salah satu kelompok tarekat Qadiriyah.
Dalam pada itu, Snouck Hurgronje memberitakan bahwa di Kota suci Mekah pada abad ke-19 M terdapat seorang tokoh tarekat Qadiriyah yaitu Syaikh Ahmad Khatib al-Sambasi ra (Khatib Sambas) yang banyak mempunyai pengikut dari kalangan masyarakat Indonesia. Namun para muridnya yang pulang ke Jawa mengajarkan sejenis tarekat baru bernama "thariqah Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyah". Yang mereka terima dari Syaikh Ahmad Khatib al-Sambas tersebut. Dengan demikian ada lagi satu tarekat baru muncul pada abad ke-19 M. Di Mekah dan berkembang di Indonesia, yang termasuk dalam kelompok tarekat Qadiriyah tetapi terlepas dari jangkauan tulisan/penelitian Trimingham, penulis buku The Sufi Orders in Islam (1971).
tarekat Qadiriyyah dan Naqsyabandiyyah mempunyai keunikan. Namun, Hal ini didasari oleh berbagai elemen ajarannya dan pengalaman dalam sejarah perkembangannya. Keluwesan ajaran Qadiriyyah, yang memungkinkan seorang syaikhnya mandiri dalam menentukan tarekat selanjutnya untuk dikembangkan tanpa terikat dengan syaikh tarekatnya terdahulu, mengizinkan seorang syaikh Qadiriyyah untuk memodifikasi ajaran tarekat lainnya ke dalam tarekat baru yang mau dikembangkannya.
Keizinan inilah yang digunakan Syaikh Ahmad Khatib al-Sambas ra, seorang tokoh Qadiriyyah di Mekkah pada abad19 M, untuk mengembangkan tarekatnya yang baru bernama "Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyah". Sebagaimana dikembangkan murid-muridnya di Indonesia terutama di Jawa pada abad ke-19 M. Sebagai seorang Syaikh tarekat Qadiriyyah, dia diperbolehkan oleh tarekatnya untuk memodifikasi ajaran tarekat Qadiriyyah tersebut. Karena reputasinya didalam Ilmu dan ahlak, Syekh Khatib Sambas dapat merangkum banyak murid yang tidak saja berasal dari Indonesia, akan tetapi dari seluruh belahan dunia, dimana hal ini menjadi terlaksana karena beliau tinggal dikota suci Mekkah al Mukaramah dan menjadi imam di Masjid al Haram. Dari segi pengalaman sejarah, perkembangan penggabungan kedua tarekat tersebut juga tidak dimustahilkan. Di atas telah diturunkan sebanyak 29 buah tarekat yang termasuk dalam kelompok tarekat Qadiriyyah yang tersebar di berbagai negeri Islam. Namun sebenarnya Syaikh Ahmad khatib Sambas tidak hanya membakukan ajaran naqsyabandiyyah saja didalam tarekat Qadiriyyah yang dianutnya. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan dalam kitab yang disusunnya, yaitu kitab “Fathul Arifin”, Syaikh Ahmad Khatib Sambas menegaskan bahwa tarekatnya berdasarkan atas lima macam tarekat yaitu; Qadiriyyah, Naqsyabandiyah, Anfasiyah, Khalwatiyyah, Junaydiyah atau Muwafaqah. Kelima macam tarekat tersebut masing-masing mempunyai keunikan, yang digunakan dalam tarekat ini. Qadiriyah dengan zikir jahar (nyaringnya), Naqsyabandiyah dengan zikir khafi (diam)-nya, Anfasiyah dengan zikir peredaran nafas, khalwatiyyah dengan amalan menyendiri dan bermeditasi serta tafakur, Junaydiyah dengan zikirnya pada setiap hari selama seminggu dengan lafaz-lafaz tertentu dan dengan zikir Asmaul Husna, dimana semua terkat tersebut mendapat tempat dalam pengamalan tarekat ini (TQN). Dengan demikian TQN adalah tarekat yang lengkap baik itu ditinjau dari sisi keilmuan maupun praktek amaliahnya.
Sebenarnya, setiap tarekat tersebut merupakan suatu tarekat hasil modifikasi tokoh pendirinya terhadap tarekat Qadiriyyah dan ajaran-ajaran lainnya. Dilihat dari sisi ini, sebenarnya "Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah" yang diajarkan oleh Syaikh Ahmad Khatib al-Sambasi, boleh saja disebut "Tarekat Sambasiyah" yang juga berinduk kepada tarekat Qadiriyyah. Namun, syaikh yang 'alim ini karena tawadhu'nya tidak sampai berbuat demikian,

Thoriqoh Qadiriyyah wa NaqsyabandiyyahThoriqoh Qadiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN) didirikan oleh seorang sufi putera Indonesia asli, yang menjadi Syaikh besar Masjid al Haram di Makkah al Mukarromah yaitu Syaikh Ahmad Khatib al-Sambasi ra. Dia berasal dari Kampung Dagang (ada yang mengatakan dari Kampung Asam) di daerah Sambas Kalimantan Barat. Nama lengkapnya ; Syaikh Ahmad Khatib ibn 'Abdl al-Gaffar al-Sambasi al-Jawi, tidak ada catatan kapan dia dilahirkan. Tetapi sejak perempat kedua abad ke-19 M dia menetap di kota suci Mekah sampai pada akhir hayatnya pada tahun 1289 H tau sekitar tahun 1872-5 M. Beliau adalah seorang Ulama besar dari tanah Nusantara yang sampai akhir hayatnya tinggal dikota suci Makkah.Di kota suci inilah dia belajar pelbagai ilmu agama Islam hingga dia menjadi seorang ulama besar yang mengajar di Mesjid al-Haram Mekah. Diantara gurunya dibidang tasawuf adalah Syaikh Syamsuddin ra, sedangkan gurunya dibidang fiqih dan syariat ialah Syaikh Muhammad Shalih Rays seorang mufti mazhab Syafi’i, Syaikh Umar bin Abdul Karim bin Abdul Rasul al Attar (wafat 1249 H atau 1833 M), Syaikh Abdul Hafizh al Ajami (wafat 1235 H atau 1819/20 M) Syaikh Da'ud ibn 'Abdullah al-Fathani, seorang ulama besar penyusun pelbagai kitab fiqih, ushuluddin dan tasawuf, yang hidup di Mekah semasa dengan Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (W.1812 M) dan Syaikh 'Abd al- Shamad al-Falimbani (W.1800 M). Diantara rekan-rekan beliau adalah Syaikh Muhammad bin Ali al Sanusi yang merupakan pendiri tarekat Sanusiyyah (wafat 1859 M), dan Syaikh Muhammad Utsman al Mirghani seorang pendiri tarekat Khatmiyyah. Selama mengajar di Mesjid al-Haram, Ahmad Khatib Sambas juga banyak mempunyai murid yang terkenal, diantaranya ialah ; Syaikh Nawawi al-Bantani, pengarang banyak kitab agama dan dijuluki sebagai "Sayyid 'Ulama al-Hijaz" (pemimpin para ulama di Hejaz). Zamakhsari Dhafir menyatakan bahwa peranan penting Syaikh Sambas adalah melahirkan syaikh-syaikh Jawa ternama dan menyebarkan ajaran Islam di Indonesia dan Malaysia pada pertengahan abad ke-19. Kunci kesuksesan Syaikh Sambas ini adalah bahwa beliau bekerja sebagai fath al-Arifin, yaitu pembuka jalan dan pembimbing bagi orang-orang arif, dengan mempraktekkan ajaran sufi yang dikemas dalam Tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah. Ketokohan Syekh Ahmad Khatib Sambas yang menonjol adalah dibidang tasawuf. Banyak legenda yang beredar di masyarakat tentang kekeramatannya sejak kecil. Snouck Hurgronje mencatat dalam bukunya "Mekah in the latter part of the Nineteenth Century" bahwa Khatib Sambas sebagai pemimpin tertinggi tarekat Qadiriyah yang berpusat di Mekah waktu itu. Sebagai pemimpin tertinggi tarekat Qadiriyyah di Mekah, beliau menggantikan gurunya, Syaikh Syamsuddin yang telah mengangkat Khatib Sambas sebagai mursyid yang akan menggantikannya serta meneruskan penyampaian ajaran tarekatnya setelah Syaikh Syamsuddin wafat.
Dengan status inilah, beliau banyak mempunyai murid-murid pemimpin tarekat yang menyebarkan Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah di Nusantara pada abad ke-19 M. Sebagai pemimpin tarekat, Syaikh Ahmad Khatib Sambas ra menulis sebuah buku berjudul Fath al-'Arifin, yang berisi pedoman praktis bagi para pengikutnya dalam mengamalkan tarekatnya. Dalam kitab tersebut terdapat penegasan pengarangnya bahwa tarekatnya berdasarkan atas lima macam tarekat yaitu; Qadiriyyah, Naqsyabandiyah, Anfasiyah, Khalwatiyyah, serta Junaidiyah atau Muwafaqah.
Nama tarekat ini berdasarkan silsilah yang digunakan Khatib Sambas sewaktu mengajarkan ajaran tarekat kepada para muridnya. Para murid inilah yang mengembangkan tarekat ini di Indonesia dengan bersumber pada silsilah tarekat Qadiriyah bukan Naqsyabandiyah, dalam silsilah yang terdapat didalam kitab Fathul Arifin tersebut telah ditegaskan bahwa beliau ( Syekh Ahmad Khatib Sambas ra) :
.Syekh 'Abd al-Qadir al-Jailani dari Syekh Abi Sa'id al-Makhzumi dari Syekh Abi Hasan al-Hakari dari Syekh Abu al-Faraj al-Thirtusi dari Syekh Abd al-Wahid al-Tamimi dari Syekh Abu Bakar Dulaf al-Syibli Syekh Abu al-Qasim Junaid al-Baghdadi Syekh Sari al-Saqathi Syekh Ma'ruf al-Karkhi Imam Abu al-Hasan 'Ali al-Ridha Imam Musa al-Kazhim Imam Ja'far al-Shadiq Imam Muhammad al-Baqir Imam Zainal 'Abidin Imam Hussein ibn 'Ali Imam Ali ibn Abi Thalib Rasulullah Muhammad Saaw
(Khatib Sambas) menerima dari Syekh Samsudin dari Syekh Muhammad Muriid dari Syekh Abdul Fattah dari Syekh 'Usman dari Syekh 'Abd al-Rahim dari Syekh Abu Bakar dari Syekh Nuruddin dari Syekh Syarf al-Din dari Syekh Syamsuddin dari Syekh Muhammad Hataak dari Syekh 'Abd al-'Aziz dari
Dengan demikian jelaslah bahwa tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN) adalah Tarekat Qadiriyah yang dikembangkan oleh Syekh Ahmad Khatib al-Sambasi dengan mengambil beberapa bentuk amalan dari berbagai tarekat lainnya. Sehingga sebenarnya telah ditegaskan oleh Syaikh Ahmad Khatib al Sambas ra, bahwa Nama Naqsyabandiyyah dalam TQN bukan merujuk kepada tarekat Naqsyabandi, akan tetapi merujuk kepada makna dari kata Naqsyabandi itu sendiri, karena tidak pernah ditemukan sumber-sumber sejarah mengenai darimana dan dari siapa Syaikh Ahmad Khatib al Sambas memperoleh ijazah Thoriqoh Naqsyabandiyyah.
Berdasarkan riwayat serta catatan sejarah, tidaklah diketemukan dari siapa atau dimana Syaikh Ahmad Khatib al Sambas ra mendapatkan bai’at tarekat Naqsyabandiyyah. Hal ini kami ungkapkan berdasarkan penegasan dari guru kami sendiri, yaitu Syaikh Ahmad Khatib Sambas ra sebagai pendiri tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah. Sebagaimana yang diterangkan diatas, bahwa jalur silsilah Syaikh Ahmad Khatib Sambas ra, merupakan jalur dari silsilah Qadiriyyah murni, tanpa adanya pencantuman nama-nama Syaikh dari tarekat Naqsyabandiyyah.
Mengenai hal ini kami kutipkan sebagian dari pendapat-pendapat ahli sejarah yang menyatakan hal tersebut.
Martin van Bruinessen menyebutkan didalam bukunya yang berjudul “Tarekat Naqsyabandiyyah di Indonesia.” Bab VI, hal. 91. terbitan Mizan, Bandung. Menyebutkan :“Syamsuddin, mursyidnya dari tarekat Qadiriyyah, adalah satu-satunya guru yang disebut oleh Ahmad Khatib. Tetapi tidak jelas dari siapa dia menerima pembai’atan ketika masuk tarekat Naqsyabandiyyah.” DR. H. Kharisudin Aqib. M.Ag, didalam bukunya “Al Hikmah” Bab.3, hal. 53, terbitan Bina Ilmu, Surabaya. Menyebutkan :“Syaikh Ahmad Khatib adalah seorang mursyid tarekat Qadiriyyah, disamping itu juga ada yang menyebutkan bahwa beliau adalah juga mursyid dalam tarekat Naqsyabandiyyah. Akan tetapi beliau hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad tarekat Qadiriyyah. Dan sampai sekarang belum diketemukan dari sanad mana beliau menerima bai’at tarekat Naqsyabandiyyah.”Karena sumber-sumber sejarah itu terlalu banyak untuk kami sebutkan satu persatu, maka untuk mengetahui kejelasan mengenai hal ini, silahkan para pembaca untuk melakukan penelitian lebih intensif. Selain yang kami sebutkan diatas, yang menegaskan bahwa tarekat yang dianut oleh Syaikh Khatib Sambas ra adalah tarekat Qadiriyyah, tanpa adanya hubungan dengan silsilah tarekat Naqsyabandiyyah. terdapat juga didalam buku tersebut dibawah ini.
Harun Nasution, “Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, Sejarah Asal Usul dan Perkembangannya.” Hal. 1963, terbitan IAILM, Tasikmalaya. Zurkani Yahya, “Asal Usul Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah dan Perkembangannya.” Muslikh Abdul Rahman, “Al Futuhat al Rabbaniyyat fi al Thariqat al Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah” , terbitan Toha Putra, Semarang. Zamroji Saeroji, “al Tazkirat al Nafi’at fi Silsilati al Thariqat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah” (Pare. T. P. ; 1986) Bahkan didalam buku tersebut Syaikh Djalaluddin berdoa dengan bertawassul kepada Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra, padahal beliau adalah seorang mursyid tarekat Naqsyabandiyyah. Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah Hasan-HuseinSyaikh Ahmad Khatib Sambas ibn Abdul Ghaffar ra mempunyai beberapa orang murid yang diangkat oleh beliau menjadi khalifah TQN. Dimana para khalifah tersebut yang kemudian menyebarkan ajaran TQN ini di Indonesia. Para khalifah tersebut adalah sebagaimana kami sebutkan dibawah ini :
Hawas Abdullah, “Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara”, hal. 177, terbitan al Ikhlas, Surabaya. Muhammad Usman ibnu Nadi al Ishaqi, “al Khulasah al Wafiyah fi al Adab wa Kaifiyat al Dzikr ‘Inda Sa’adat al Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah”, hal. 16-18, terbitan al Fitrah, Surabaya. Sri Mulyani, “Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia”
Berdasarkan kepada fakta-fakta sejarah dan uraian dari para Syaikh, maka dalam hal ini kami mengambil suatu kesimpulan, bahwa tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah adalah murni tarekat Qadiriyyah, yang diberinama akhir Naqsyabandiyyah, dimana pemberian nama tersebut sama sekali tidak ada hubungan dengan tarekat Naqsyabandi, akan tetapi lebih bertumpu kepada arti dari kata Naqsyabandi itu sendiri. Dimana kalimat naqsyabandi ini berasal dari kata dalam bahasa arab, yaitu “naqsy” serta “band”. Kata “naqsy” mempunyai arti ukiran atau lukisan, sedangkan kata “band” memiliki arti bendera atau layar besar. Maka kata naqsyabandi ini merupakan suatu simbol dari Dzikir khafi, dimana dzikir tersebut terukir dihati, sehingga asma Alloh yang dibaca sebagai dzikir didalam hati tersebut menjadi suatu lambang / bendera yang pada akhirnya menyimbolkan bahwa orang yang melakukan praktek dzikir khafi itu adalah orang yang mencerminkan nama Alloh dan berahlak dengan ahlak Alloh serta dengan mengikuti kepada tuntunan Rasulullah Saaw. Hal demikian ini sebagaimana terdapat didalam hadits Qudsi :
“Wahai manusia, berahlaklah engkau dengan ahlak Ku” Adapun mengenai pemberian nama Naqsyabandi itu, kami mengambil suatu pendapat bahwa pemberian nama tersebut disebabkan oleh kekhawatiran Syaikh Ahmad Khatib Sambas ra didalam menyebarkan tarekat Qadiriyyah di bumi Nusantara. Kekhawatiran tersebut karena terdapatnya beberapa fakta bahwa para pengikut tarekat Qadiriyyah di Nusantara telah mendapat predikat sesat oleh kalangan umat muslim di Indonesia. Yang menjadi contohnya adalah dihukum matinya para ahli tarekat Qadiriyyah oleh ulama-ulama syariat di Indonesia, seperti Syaikh Hamzah Fansuri ra (abad 16 17 M) di Sumatera, kemudian Syaikh Datuk Habulung di Kalimantan, srta masih banyak lagi peristiwa yang terjadi berkenaan dengan para pengikut tarekat Qadiriyyah. Hal ini disebabkan didalam ajaran tarekat Qadiriyyah terkandung konsep “Wahdatul Wujud” atau dikalangan masyarakat Jawa lebih dikenal dengan istilah “Manunggaling Kawulo Gusti” yaitu suatu konsep ajaran yang menyatakan kesatuan antara manusia dengan Tuhannya. Disamping itu pula para pengikut tarekat Qadiriyyah lebih bersifat revolusioner didalam mengahdapi setiap bentuk ketidakadilan, sehingga menimbulkan berbagai aksi-aksi pemberontakan terhadap penguasa pada masanya.
Sedangkan ajaran tarekat Naqsyabandiyyah pada waktu itu telah dikenal dan lebih diterima oleh masyarakat Nusantara, dikarenakan didalam menyebarkan ajarannya, para Syaikh tarekat Naqsyabandiyyah cenderung bersikap kompromis terhadap penguasa, sebagaimana tercatat didalam sumber-sumber sejarah (Dr.Hj. Sri Mulyati. MA ; Tarekat-tarekat Mu’tabarah di Indonesia, bab 2, hal. 89, penerbit kencana, jakarta, 2004). Oleh karena itulah Syaikh Ahmad Khatib al Sambas ra menambahkan kata Naqsyabandiyyah kedalam ajaran tarekatnya. Sehingga sampai dengan masa sekarang ini ajaran beliau dikenal dengan nama tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.
Keyakinan kami ini juga berdasarkan fakta bahwa tidak adanya tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah didaerah Mekkah al Mukaramah, padahal daerah tersebut merupakan tempat bermukim Syaikh Ahmad Khatib Sambas ibn Abdul Ghaffar ra sampai akhir hayatnya. Sedangkan tarekat Qadiriyyah sampai saat ini masih terdapat didaerah Mekkah. Snouck Hurgronje mencatat dalam bukunya "Mekah in the latter part of the Nineteenth Century" bahwa Khatib Sambas sebagai pemimpin tertinggi tarekat Qadiriyah yang berpusat di Mekah waktu itu, yang mengajarkan tarekat Qadiriyyah. Ini menjadikan suatu bukti bahwa pemberian nama tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah hanya diperuntukkan bagi murid-murid Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang berasal dan menyebarkan ajarannya di Indonesia, sedangkan kepada murid-muridnya yang berada diluar Indonesia, Syaikh Ahmad Khatib Sambas ra tetap menggunakan nama tarekat Qadiriyyah.
Inti pengamalan tarekat ini pada dzikir jahar dan dzikir sirr atau dzikir khafi, dimana praktek dzikir jahar ini dilakukan setiap selesai melaksanakan shalat fardhu. Sedangkan praktek dzikir sirr sirr yang dilakukan oleh hati dilaksanakan setiap saat. Sehingga berkenaan dengan hal tersebut diatas, melalui praktek dzikir jahar serta dzikir khafi yang dilakukan didalam hati, seorang penganut tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah dapat menjadi seorang insan muslim yang bertakwa, yang mencerminkan sifat-sifat Alloh Ta’ala sebagaimana terdapat didalam al Asmaul Husa melalui risalah yang telah disampaikan oleh Rasulullah Muhammad al Musthafa Saaw beserta para Imam dari Ahlulbaitnya as.
Pada masyarakat sekarang ini terdapat pemahaman bahwa tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah merupakan penggabungan antara tarekat Qadiriyyah dan tarekat Naqsyabandiyyah. Namun menurut pendapat kami hal yang sebenarnya bukanlah seperti itu, karena Syaikh Khatib Sambas ra sendiri telah menegaskan bahwa tarekat yang diajarkan dan disebarkannya dari segi silsilah adalah murni tarekat Qadiriyyah, melalui silsilah ajaran yang memang hanya bersumber dari sanad tarekat Qadiriyyah. Akan tetapi tarekat Qadiriyyah tersebut dikembangkan atau “dimodifikasi” oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas ra.
Proses pengamalan dzikir khafi atau dzikir sirr ini sebenarnya telah menjadi ajaran didalam tarekat Qadiriyyah, dimana hal ini telah termasuk didalam metode dzikir yang diajarkan oleh Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra. Sebagaimana beliau mengatakan didalam kitab Sirr al Asrar fi ma Yahtaj Ilaihi al Abrar (di Indonesia terjemahannya berjudul Rahasia Sufi) sebagai berikut:“Ada berbagai peringkat dzikrullah, dimana setiap peringkat memilik proses tersendiri. Kemudian dilihat dari metodenya, ada dzikir yang diucapkan dengan mengeraskan suara (jahar), dimana dengan mengeraskan suara itu akan membawa hati kepada kekhusyuan. Dan ada dzikir yang diucapkan didalam hati, dimana dzikir hati muncul melalui rasa, yaitu rasa tentang penzahiran keagungan dan keindahan Allah Ta’ala.”Untuk edisi bahasa Indonesia dari kitab Syaikh Abdul Qadir ini, silahkan pembaca merujuk kepada buku yang berjudul “Rahasia Sufi”, bab. 7, hal. 98, terbitan Pustaka Sufi, Yogyakarta, tahun 2003.

Oleh karena itu kami tidak sependapat dengan mereka yang menyatakan bahwa dzikir sirr atau dzikir khafi yang dilakukan didalam hati itu adalah hanya merupakan ajaran dari tarekat Naqsyabandi. Hal ini terbukti bahwa didalam tarekat Qadiriyyah pun terdapat metode dzikir sirr ini. Dan Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra yang merupakan pendiri dari tarekat Qadiriyyah, telah mengajarkan metode dzikir hati ini kepada para pengikutnya. Berkenaan dengan hal ini guru kami ayahanda Syaikh Ghauts al Hasan ra berkata :“Dzikir dengan lisan itu akan meresap kedalam hati, sehingga membuat hati menjadi bergetar dan segala kotorannya terkikis oleh dzikir tersebut. Kemudian hatipun menerima pancaran cahaya Illahi yang akan menerangi, lalu dari dalam hati dzikir tersebut akan mengalir lagi keluar, sehingga menggerakkan lisan dan seluruh anggota tubuh agar ikut berdzikir kepada Allah Ta’ala, dari sinilah dzikir itu berkembang menjadi dzikir af’al, yaitu dzikir kepada Allah melalui amal perbuatanmu. Itulah maknanya Qadiriyyah dan Naqsyabandiyyah, yakni kedua hal yang mencakup luar dan dalam, lahir dan batin, dan itu adalah kedua hal yang tidak dapat dipisah-pisahkan !!” Sehingga didalam keyakinan kami, bahwa tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah itu merupakan tarekat Qadiriyyah yang berasal dari Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra yang didalamnya terdapat metode-metode tertentu yang merupakan hasil pengembangan dari Syaikh Ahmad Khatib al Sambas ra. Bukan seperti pemahaman masyarakat banyak yang memandang bahwa tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah ini adalah penggabungan antara ajaran tarekat Qadiriyyah dengan ajaran tarekat Naqsyabandiyyah.

Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah merupakan tarekat yang lengkap, apakah itu ditinjau dari segi keilmuan ataupun dari segi praktek amaliahnya. Dimana hal ini telah ditegaskan oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas ra sendiri didalam kitabnya Fathul Arifin, bahwa tarekat ini didalamnya mencakup pokok-pokok bahasan ilmu dan amaliah yang dipelajari oeleh lima buah tarekat, yaitu Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah, Anfasiyyah, Khalwatiyyah, dan Junaidiyyah atau Muwafaqah.

Mengenai tarekat Qadiriyah wa naqsyabandiyyah ini, salah seorang mursyid tarekat Naqsyabandi Khalidiyyah yang terkenal di Indonesia, yaitu Prof. Dr. Syaikh Djalaludin, memberikan tanggapannya sebagai berikut :

“Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah adalah satu-satunya tarekat sufi yang am’tabar (keshahihannya melebihi tingkatan mu’tabar, yang apabila didalam ilmu hadits disebut sebagai hadits mutawwatir) Orang yang mengamalkan tarekat tersebut (tarekatnya Syaikh Abdul Qadir al Jailani ra) dengan ikhlas belum akan dimatikan, kecuali dia telah melihat surga untuk tempatnya di akhirat.”
(Prof. Dr. Syaikh Djalaluddin, Sinar Keemasan, jilid 1)
.
Syaikh Thalhah ra, yang menyebarkan TQN diwilayah Jawa Barat, khususnya di daerah Cirebon. Syaikh Abdul Karim Tanara al Bantani ra, yang menyebarkan TQN diwilayah Banten. Syaikh Ahmad Hasybu al Maduri ra, yang menyebarkan TQN diwilayah Madura. Syaikh Abdul Moekti al Maduri, bersama-sama Syaikh A. Hasybu menyebarkan TQN diwilayah Madura. Syaikh Muhammad Isma’il ra, yang menyebarkan TQN diwilayah Bali, namun kemudian menetap di Mekkah. Syaikh Yasin ra, yang menyebarkan TQN diwilayah Kedah, Malaysia dan daerah Mempawah, Kalimantan. Syaikh Haji Ahmad, yang menyebarkan TQN diwilayah Lampung dan sekitarnya. Syaikh M. Ma’ruf al Palimbangi, yang menyebarkan TQN diwilayah Palembang dan sekitarnya. Syaikh Nuruddin yang berasal dari Filiphina namun menyebarkan TQN diwilayah Sambas, Kalimantan. Syaikh Muhammad Sa’ad al Sambasi, bersama-sama dengan Syaikh Nuruddin menyebarkan TQN diwilayah Sambas.
Hal tersebut diatas berdasarkan dari para Syaikh tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, selain itu Martin van Bruinessen menyebutkan didalam bukunya yang berjudul “Tarekat Naqsyabandiyyah di Indonesia.” Bab VI, hal. 92. terbitan Mizan, Bandung.


Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah memasuki wilayah Jawa Barat disebarkan oleh salah seorang Khalifah dari Syaikh Ahmad Khatib al Sambas yaitu Syaikh Thalhah ra, seorang ulama tasawuf yang berasal dari daerah kali sapu, kota cirebon. Setelah memberi “Khirqah” (Ketetapan) dan menunjuk Syaikh Tholhah sebagai Mursyid untuk meneruskan penyampaian risalah ajaran TQN, maka kemudian setelah itu Syaikh Tholhah kembali kedaerah cirebon untuk menyebarkan ajaran ini didaerah cirebon, yang menjadi basis penyampaian ajaran TQN di pulau jawa.
Silsilah tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah Hasan-Hussein bermula dari Syaikh Thalhah kemudian kepada Syaikh Abdullah al Syukur, kemudian kepada Syaikh Muhammad Syafi’i Hidayatullah, kemudian kepada Syaikh Ahmad Hasan , kemudian kepada pengemban amanat dan penerus risalah TQN pada saat ini, yaitu ayahanda Syaikh Ghauts al Hasan Radhiyallahuanhum.
Syaikh Ghauts al Hasan ra selanjutnya memberi nama terhadap tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah yang dipegangnya sebagai “Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah Hasan-Husein”, dimana penamaan ini merujuk kepada mursyid pendahulunya dan khalifahnya, yang telah mengajarkan tarekat ini kepada beliau dan memberikan “Khirqah” (Pengukuhan) kepada beliau untuk meneruskan penyampaian risalah TQN sepeninggal keduanya. Mursyid yang dimaksud adalah Syaikh Ahmad Hasan ra dan khalifahnya yaitu Syaikh Husein ra.
Pada saat ini, Syaikh Ghauts al Hasan bermukim dan mengajarkan tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah Hasan-Husein dikota Bandung, dengan mendirikan “halaqah” majelis dzikir Hasan-Husein.

TQN Hasan-Husein memasuki daerah kota Bandung melalui salah seorang khalifah dari Syaikh Thalhah ra yang diberi khirqah atau pengukuhan untuk menjadi mursyid TQN dan menyebarkan ajaran ini dikota Bandung. Khalifah Syaikh Thalhah ra yang dimaksud adalah Syaikh Abdullah Syukur ra, beliau merupakan kakak seperguruan dari Syaikh Abdullah Mubarak ra, yang mendirikan pondok pesantren Suryalaya.

Tujuan TQN Hasan-Husein
Thoriqoh Qadiriyyah wa al-Naqsabandiyah Hasan-Husein(disingkat TQN Hasan-Husein) merupakan aplikasi dari ajaran Islam secara menyeluruh yang berdasarkan kepada al Qur’an suci, hadits Rasulullah Saaw, serta tuntunan dari para Imam Ahlulbait Rasulullah dan para Syaikh tarekat ini. dari dzikir didalam TQN Hasan-Husein adalah membentuk pribadi muslim yang bertakwa dan patuh terhadap segala perintah Illahi yang tercantum didalam al Qur’an, sunah Rasulullah Saaw, serta tuntunan dari para guru tarekat ini. Sehingga kemudian menjadi seorang muslim yang berilmu dan memiliki kualitas yang tinggi sesuai dengan bidangnya masing-masing, agar dapat memberikan manfaat terhadap masyarakat dan umat Islam pada umumnya. Serta diikuti dengan pengendalian diri terhadap hawa nafsu dan penundukkan terhadap ego. Dimana hal itu semua bermuara kepada pencapaian ridha Allah Ta’ala sebagai tujuan tertinggi. Sebagaimana terangkum didalam niat sekaligus do’a para pengikut TQN Hasan-Husein sebelum berdzikir dan atau sebelum melakukan suatu kegiatan.

“…Illahi anta maksudi, wa ridhokal mathlubi, aathinii mahabbataka wa ma’rifataka….”

Artinya

“…Yaa Alloh Engkaulah yang menjadi maksud dan tujuanku, dan keridhoanMu lah yang kami harapkan, anugerahkanlah kepada kami cintaMu dan Marifat kepadaMu…”

Dari niat atau doa dzikir tersebut mencerminkan hal yang menjadi harapan dan tujuan para pengikut TQN Hasan-Husein. Yaitu marifat atau pengenalan terhadap Allah, yang akan membuahkan kedekatan Dengan Allah Ta’ala dalam posisi yang diridhai Nya, serta menjadi manusia yang mencintai Allah dan sekaligus dicintai oleh Allah Ta’ala.

Para pengikut TQN Hasan-Husein mengaplikasikan ajaran dzikir yang dipelajari kedalam bentuk nyata dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu melalui sikap dan perilaku atau ahlak yang baik terhadap sesama manusia, serta menjadi manusia yang mempunyai rasa kasih sayang dan kepedulian sosial terhadap lingkungannya, dengan didasari oleh pembentukan sifat-sifat ahlakul karimah didalam dirinya, berdasarkan kepada aturan-aturan Islam yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saaw.

Dimana keseluruhan hal tersebut diringkas menjadi tiga hal yan menjadi tugas manusia didalam menjalankan kehidupannya. Sebagaimana tutur kata dari Syaikh Ahmad Hasan ra :“Seorang pengikut TQN Hasan-Husein memiliki tiga amanat yang harus dilaksanakan, yaitu berkenaan dengan Allah Ta’ala, dengan sesama, dan terhadap dirinya sendiri. Seorang pengikut harus benar dalam pandangan Allah Ta’ala (berdasarkan hukum-hukum dan aturan Nya), baik menurut sesama manusia, dan tidak mengkhianati kemuliaan dirinya.”

sumber :http://qodiriyyahwanaqsyabandiyyah.blogspot.com/2011/02/tarekat-qadiriyyah-wa-naqsyabandiyyah.html

0 comments:

Followers