Ketika Tuhan memanggilmu ke Pangkuan Nya datang dan dekaplah dalam hati nuranimu

Kamis, 20 Januari 2011

HM Soeharto


HM Soeharto
Perwira Handal Ahli Strategi

Mantan Presiden Soeharto sudah melewati usia 85 tahun. Senyumnya masih mengembang pada wajahnya yang mulai tampak keriput. Kejaksaan Agung sudah menghentikan penuntutan atas perkaranya. Pak Harto termasuk di antara tokoh pejuang TNI yang menerima anugerah Bintang Sakti Maha Wira Ibu Pertiwi.

Muncul di depan publik pada acara akad nikah cucunya—Dany
Rukmana dan artis Lulu Tobing—akhir bulan lalu, Pak Harto
yang pernah memerintah negeri ini 32 tahun, tampak segar
dan sehat. Namun sang jenderal besar yang murah senyum ini tak lagi mampu berkomunikasi dengan baik lantaran kerusakan jaringan syaraf otak akibat stroke yang dideritanya sejak lima tahun lalu. Hari itu, Pak Harto mengenakan pakaian adat Jawa, bertindak sebagai saksi pernikahan putra pasangan Hj. Siti Hardiyanti dan H. Indra Rukamana.

Jenderal Besar TNI Soeharto, berada di urutan kedua setelah mendiang Panglima Besar Soedirman dalam urutan 61 penerima anugerah Bintang Sakti Maha Wira Ibu Pertiwi. Pilihan itu jatuh ke Pak Harto karena dinilai sebagai Perwira Handal Ahli Strategi. Penerima anugerah Bintang Sakti lainnya, termasuk Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution (alm), Laksamana Muda (Anumerta) Josaphat Sudarso, Laksamana TNI (Laut) R. Subiyakto dan Laksamana TNI (Udara) Suryadi Suryadarma. Pada peringatan ulang tahun TNI ke 61, tanggal 5 Oktober 2006, TNI menerbitkan buku Bintang Sakti Mahawira Ibu Pertiwi yang memuat 61 penerima anugerah tersebut, dan riwayat singkat kejuangan mereka.

Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto, dalam kata sambutannya, menilai penulisan buku tersebut sebagai refleksi historis pengabdian para pejuang agar dapat dijadikan referensi otentik dan sumber inspirasi bagi generasi penerus TNI. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran tentang dinamika kiprah pengabdian para pejuang bangsa, khususnya para penerima Bintang Sakti yang berperan dalam perjuangan membela, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia.

Menurut Panglima TNI, dengan memahami sejarah perjuangan para penerima Bintang Sakti, generasi penerus bangsa diharapkan mampu memetik hikmah nilai-nilai kepejuangan dan ketokohan para pendahulu TNI. Mereka yang bertugas di daerah operasi, tulis Djoko, telah menunjukkan tekad yang kuat, semangat pantang menyerah, kerelaan berkorban dan pengabdian tulus ikhlas yang dilakukan dengan penuh dedikasi dan tanpa pamrih.

“Dalam situasi keterbatasan yang dimiliki TNI pada saat itu, para tokoh pejuang TNI telah menanamkan dasar-dasar yang kuat dalam membentuk jati diri TNI. Nilai-nilai semangat pengabdian dan profesionalitas yang perlu diwariskan bagi generasi penerus untuk diaktualisasikan dalam pengabdian sesuai dengan tantangan tugas yang dihadapi,” tulis Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto.

Bintang Sakti berupa piagam tanda kehormatan yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia. Para penerima anugerah Bintang Sakti, berdasarkan kriteria sebagai berikut; (1) Anggota TNI yang menunjukkan keberanian dan ketebalan tekad melampaui dan melebihi panggilan kewajiban dalam melaksanakan tugas militer disertai kesabaran serta keikhlasan mengorbankan jiwa di dalam maupun di luar pertempuran tanpa merugikan tugas pokok.

(2) Warga Negara Republik Indonesia, bukan anggota TNI, yang menjalankan tugas kemiliteran. (3) Bisa dianugerahkan secara anumerta kepada anggota TNI dan bukan anggota TNI yang gugur atau meninggal dunia sebagai akibat langsung di dalam maupun di luar pertempuran. (4) Bintang Sakti dapat dianugerahkan untuk kedua kali, ketiga kali, dan seterusnya kepada anggota TNI dan WNI bukan anggota TNI, setiap kali dia memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam UU Negara RI No 65 Tahun 1958. Ketentuan anugerah ulangan ini bahwa tindakan atau tugas yang diberikan anugerah tersebut tidak ada hubungannya, sangkut pautnya, ataupun merupakan kelanjutan dari tindakan-tindakan atau tugasnya untuk mana telah diberikan suatu anugerah.

Perwira Handal Ahli Strategi
Jenderal Besar Soeharto yang lahir di desa Kemusuk, 6 Juni 2001, menjabat Presiden Republik Indonesia kedua selama 32 tahun. Pembawaannya tenang, tutur katanya terukur dan selalu bertindak sesuai aturan, Pak Harto dijuluki the smiling general (jenderal yang murah senyum). Dia sosok pria Jawa yang kalem dan berpenampilan sederhana. Namun di balik itu semua, Pak Harto berhasil mengemban dengan baik berbagai pertempuran sengit dan tanggung jawab militer yang berat dan keras.

Rasa cinta dan ingin menyaksikan bagian lain dari tanah air adalah salah satu motivasi yang menggugah Soeharto untuk mendaftarkan diri menjadi prajurit Koninklijk Nederlans Indische Leger (KNIL). Atas penampilan fisik yang sehat dan tegap yang disertai kecerdasan otak, Soeharto belia, sejak 1 Juni 1940 diterima sebagai siswa militer di Gombong, Jawa Tengah. Enam bulan setelah menjalani latihan dasar, dia tamat sekolah militer sebagai lulusan terbaik dan mendapat pangkat Kopral di usia 19 tahun.

Pos penempatan pertama Kopral Soeharto adalah Batalyon XIII, Rampal Malang. Kemudian Soeharto masuk sekolah lanjutan Bintara, juga berada di Gombong. Karena sikap keprajuritan dan disiplinnya yang tinggi dalam waktu yang relatif singkat dia mendapat kenaikan pangkat.

Pasukan Inggris mendarat di Jakarta, 29 September 1949, atau empat tahun setelah Indonesia merdeka, untuk mengemban amanah kapitulasi Jepang. Kemudian mendarat di Semarang, Surabaya dan Bandung. Pasukan Inggris di bawah komando Brigadier Jenderal Bethel bergerak dari Semarang menuju Ambarawa dan Magelang untuk menjem-put sekutunya, yaitu interniran Belanda.

Ternyata pasukan Inggris bersikap kurang ramah, memicu amarah rakyat dan berujung insiden bersenjata. Mereka menguasai obyek-obyek penting di Kota Magelang. Ketika pecah pertempuran Ambarawa, Letkol Soeharto memimpin Batalyon X. Bersama pasukan-pasukan lain, pasukan Soeharto bertempur melawan pasukan Sekutu di Ambarawa. Untuk merebut kembali obyek-obyek vital di dalam kota, pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) didatangkan dari Banyumas, Salatiga, Surakarta dan Yogyakarta. Pasukan Inggris di Magelang dan Ambarawa, terkepung.

Empat kompi pasukan Soeharto berhasil menduduki Banyubiru. Pasukan Sekutu dipukul mundur dari Ambarawa. Sejak peristiwa itu, Soeharto mulai dikenal sebagai perwira yang cakap di lapangan dan mendapat perhatian dari Panglima Besar Soedirman.

Belanda kembali melancarkan agresi militer kedua, Februari 1949. Yogyakarta berhasil dikuasai. Letkol Soeharto dan pasukannya mengadakan konsolidasi di luar Yogya. Sepuluh hari setelah peristiwa tersebut, Soeharto dan pasukannya menyiapkan serangan balasan ke pos-pos pasukan Belanda di luar Yogya. Soeharto menyusun siasat secara seksama sebelum melakukan serangan umum ke Kota Yogya.

Menjelang fajar menyingsing 1 Maret 1949, pasukan Letkol Soeharto mulai bergerilya masuk kota Yogya. Serangan berjalan gencar dan lancar sehingga kota Yogya dapat diduduki selama enam jam. Kota Yogya berhasil direbut kembali, dan pasukan TNI merebut berton-ton amunisi dari pasukan Belanda. Namun ketika pasukan Belanda kembali dengan mesin perang dan amunisi lengkap, Letkol Soeharto segera memerintahkan pasukannya mundur kembali ke pangkalan masing-masing di luar kota Yogya.

Serangan umum tersebut, lebih dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret 1949, sebetulnya serangan yang bersifat politis untuk mendukung perjuangan diplomasi RI di PBB. Dan secara psikologis mengobarkan semangat juang rakyat untuk mendukung TNI; memulihkan, memupuk dan meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap TNI, karena TNI masih setia pada tugasnya menumpas musuh.

Peran penting lainnya yang pernah diemban Brigjen Soeharto ketika dia ditunjuk sebagai Panglima Mandala untuk membebaskan Irian Barat dari cengkraman penjajah Belanda. Soeharto berhasil. Irian Barat kembali ke pangkauan Ibu Pertiwi, 1 Mei 1963.

Tugas fenomenal selanjutnya yang berhasil diemban oleh Jenderal Soeharto adalah menumpas Gerakan PKI 30 September 1965. Saat itu, Soeharto dihadapkan pada situasi genting. G.30.S/PKI, dinihari 1 Oktober, menculik enam perwira senior TNI-AD untuk melicinkan jalan kudeta mereka melawan pemerintahan Presiden Soekarno.

Kolonel Latief yang memimpin operasi penculikan, membuang jenazah enam jenderal dan seorang kapten ke sebuah sumur tua di tengah kebun karet terlantar Lubang Buaya, Jakarta Timur, di mana para sukarelawan Pemuda Rakyat dan Gerwani, Ormas underbow PKI, sedang melakukan latihan tempur. Sementara itu pimpinan kudeta, Letkol Untung, pagi hari 1 Oktober 1965, berhasil menguasai stasiun pusat RRI untuk mengumumkan pembentukan kekuasaan Dewan Revolusi Indonesia Pusat yang disertai Dewan-Dewan Revolusi Daerah.

Pangkostrad Mayjen Soeharto memimpin operasi penumpasan G.30.S/PKI. Para pemimpin G.30.S/PKI pun ditangkap. Situasi Jakarta dan seluruh tanah air berhasil dipulihkan. Tanggal 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto mengemban surat perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno untuk membubarkan PKI, dan memulihkan stabilitas keamanan nasional dan kondisi politik Indonesia. Bung Karno melantiknya sebagai Menteri Utama Bidang Hankam dalam kabinet 100 menteri (Ampera), Juli 1966. Para demonstran siswa dan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat menuntut Bung Karno turun dan kabinet 100 menteri dibubarkan.

Di luar karir militernya, Soeharto dikukuhkan oleh MPRS menjadi Presiden RI menggantikan Bung Karno, Maret 1967. Putra dari pasangan Kertosudiro dan Sukirah ini, sejak itu menjadi pemimpin sipil sampai mengundurkan diri tanggal 21 Mei 1998. Di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia mengalami banyak kemajuan. Pembangunan di berbagai bidang kehidupan mengalami kemajuan pesat sampai munculnya krisis moneter yang menimpa sejumlah negara Asia, termasuk Indonesia, Thailand dan Malaysia, pertengahan tahun 1997. Krisis moneter tersebut memicu lahirnya krisis politik dan keamanan yang berujung pada pengunduran diri Pak Harto.

Di bidang kemiliteran, sosok Soeharto telah memimpin berbagai pertempuran dengan penuh keberanian. Pengorbanan, kegigihan dan pengabdiannya kepada negara dan bangsa, menjadikannya salah satu putra terbaik bangsa yang layak mendapat anugerah kehormatan Jenderal Besar TNI dan Bintang Sakti.

Beberapa bulan lalu (11/5-2006), Andi Samsan Nganro, hakim tunggal pra-peradilan sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, membatalkan SKP3 dari Kejaksaan, membuka kembali perkara Pak Harto. Namun sesuai dengan fatwa Mahkamah Agung, perkara Pak Harto hanya bisa dibuka kembali bilamana jaksa mampu menghadirkan terdakwa di sidang pengadilan.

Pihak Kejaksaan sendiri sudah memutuskan untuk menghentikan penuntutan terhadap perkara Pak Harto. Sedangkan tim dokter, baik pribadi maupun negara, sudah memberi rekomendasi medis bahwa kerusakan otak Pak Harto permanen, tidak bisa disembuhkan.

Menjalani hari-hari senjanya, Pak Harto lebih mendekatkan diri pada Allah SWT, beribadah, berdoa, berzikir dan beramal untuk sesama manusia. ►mti/sh



Politik Soeharto terhadap Militer

Sudah menjadi pengetahuan umum, militer di Indonesia yang menjelma dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)-kini Tentara Nasional Indonesia (TNI) plus Polisi Republik Indonesia (Polri)-adalah satu komponen negara yang memiliki nilai politis dan strategis tersendiri. Meskipun senantiasa menampilkan citra solid dan independen, namun bukan rahasia lagi dalam tubuh lembaga militer tersebut hubungan di antara berbagai kelompok kepentingan di dalamnya tidak selalu berjalan harmonis.

Fenomena perpecahan kelompok di dalam tubuh TNI dan Polri tidak hanya terjadi sekarang saja. Sebelumnya pun intrik internal senantiasa terjadi. Pergulatan internal ABRI terjadi pula pada masa Soeharto. Satu babak masa kritis bersejarah dalam rentang waktu tahun 1975 hingga 1983 tersebut terekam dalam karya monografi David Jenkins yang kemudian dibukukan.

Sekelumit tentang bukunya, Jenkins melakukan penelitian resmi terhadap ABRI dan hubungannya dengan Soeharto selama 14 bulan, yaitu antara tahun 1981-1982; tetapi jauh sebelum itu ia sudah memiliki pengalaman pribadi dengan birokrasi Indonesia ketika bertugas menjadi koresponden Far Eastern Economic Review pada tahun 1976-1980.

Sejumlah orang penting, baik dari kalangan sipil maupun militer-yang aktif ataupun yang sudah pensiun-menjadi narasumber dari penelitian tentang sepak terjang politik ABRI di Indonesia ini. Beberapa di antara mereka adalah Ruslan Abdulgani, Sabam Siagian, dan Mohammad Natsir (sipil); Jenderal AH Nasution, Letnan Jenderal HR Darsono, Jenderal (Pol) Hugeng Imam Santoso, Letnan Jenderal Ibnu Sutowo, Jenderal Sumitro, Letnan Jenderal TB Simatupang (purnawirawan ABRI); dan Jenderal LB Murdani, Jenderal M Jusuf, Letnan Jenderal Alamsjah Ratu Perwiranegara, Jenderal Supardjo Rustam, dan Jenderal Yoga Sugama yang masih aktif berdinas di kemiliteran ketika itu.

Dalam bukunya Jenkins menyimpulkan, sampai dengan tahun 1980 secara garis besar ABRI sedikitnya terbagi dalam dua kelompok besar. Pertama, yaitu para pejabat teras ABRI yang memiliki kedekatan khusus dengan presiden dan mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam pemerintahan. Dalam pengejawantahannya, kelompok ini mengintervensi kehidupan masyarakat dengan menduduki posisi penting dalam tatanan sosial-politik-ekonomi masyarakat dalam bentuk kekaryaan, seperti menjadi menteri, duta besar, anggota dewan perwakilan rakyat, komisaris atau direktur badan usaha milik negara (BUMN), bankir, rektor universitas, gubernur, bahkan sampai tingkat yang lebih rendah lagi menjadi bupati. Kelompok ini juga mendukung hubungan mesra ABRI dengan Golongan Karya (Golkar).

Kelompok kedua adalah para pejabat dan perwira yang menginginkan agar ABRI dapat berdiri di atas semua golongan, tidak berpihak, dan menjadi pengayom bagi seluruh lapisan masyarakat. Tidak menjadi pengecualian, ABRI tidak ditolelir menitikberatkan dukungannya terhadap Golkar, partai politik terbesar di Indonesia yang menjadi tumpuan pijakan kekuasaan Soeharto.

Perbedaan pendapat di antara para anggota ABRI ini berlangsung cukup lama dan semakin meruncing, ketika Jenderal M Yusuf menjabat sebagai Panglima ABRI. Sejak akhir tahun 1978 hingga awal tahun 1980, Jusuf mengkampanyekan manunggalnya ABRI dengan rakyat. Artinya, ABRI menjadi bagian dari rakyat dan tidak memihak satu golongan tertentu saja.

Situasi demikian sebenarnya menjadi ancaman, tidak saja bagi para pejabat teras ABRI yang menikmati kursi empuk, tetapi juga terlebih lagi bagi Soeharto dan kelanggengan kekuasaannya yang selama ini turut dijamin oleh ABRI melalui dukungannya yang begitu besar terhadap Golkar.

Menyadari hal tersebut, Soeharto tidak serta merta menghentikan upaya sekelompok perwira yang ingin membawa ABRI menjadi satu kekuatan negara yang netral, namun memotongnya secara halus. Maret 1980, Soeharto dalam pidatonya di Pekanbaru, Riau, mengimbau agar ABRI memilih "teman sejati" yang sungguh-sungguh membela Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Secara implisit Soeharto telah mengultimatum ABRI agar tetap mendukung Golkar. Sebagai politisi, ia sangat piawai menggunakan simbol-simbol politik dan mempolitisir ABRI guna tetap menjaga kekuasaannya. ABRI pun tidak berkutik terhadap taktik Soeharto. Mengiringi keputusan Soeharto, sejumlah pejabat teras ABRI yang termasuk kelompok yang menginginkan kenetralan ABRI dicopot, seperti Widodo digantikan Poniman sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Namun, buku yang diterbitkan pertama kali tahun 1984 dalam bahasa Inggris tersebut tidak sempat menjangkau masyarakat Indonesia secara luas karena Agustus 1986 Kejaksaan Agung melarang peredarannya. Bisa jadi keputusan pelarangan itu tidak sekadar karena karya Jenkins menyoroti bagaimana posisi dan hubungan Soeharto dengan kalangan militer semata, namun tidak tertutup kemungkinan juga karena "dosa" Jenkins terhadap Soeharto dan kroninya yang tercipta empat bulan sebelumnya.

David Jenkins dalam kapasitasnya sebagai wartawan The Sidney Morning Herald, salah satu koran Australia, pada 10 April 1986 menulis dua artikel dalam harian tersebut yang dinilai mendiskreditkan Soeharto, presiden Republik Indonesia. Tulisan tersebut berisi antara lain kecaman terhadap berbagai kebijakan presiden. Diindikasikan pula Soeharto melakukan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), menerima upeti-upeti dari konglomerat sebagai pampasan atas fasilitas yang diberikan, dan memiliki kekayaan yang tidak sedikit jumlahnya.

Dalam pandangan Jenkins, Soeharto mempunyai kemiripan dengan Ferdinand Marcos, mantan presiden Filipina yang digulingkan people power karena korupsi. Di dalamnya menyinggung pula keberadaan first lady Tien Soeharto yang disejajarkan dengan Imelda Marcos.

Meskipun menuai kecaman karena dinilai menghina Kepala Negara Republik Indonesia, namun Jenkins tidak berniat untuk menarik kembali dan tidak menyatakan penyesalannya atas tulisan itu. Akibat terbitnya pemberitaan tersebut, Pemerintah Indonesia sempat memboikot para wartawan Australia yang bertugas di dalam negeri dan mengecam Pemerintah Australia, karena kelalaiannya dalam mengontrol pemberitaan pers. Padahal, menurut Bill Hayden, Menteri Luar Negeri Australia ketika itu, pers di Australia memang mempunyai kebebasan mutlak dan tidak dicampuri sama sekali oleh pemerintah. Apa yang ditulis pers bukan berarti sama dengan sikap pemerintah. (Litbang Kompas, Sabtu, 8 Juni 2002) ►e-ti

Pak Harto Pulang, Dirawat di Rumah

Jakarta, 31/05/2006: Mantan Presiden Soeharto diizinkan meninggalkan Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) setelah dirawat selama 27 hari, sejak 4 - 31 Mei 2006. Jenderal bintang lima itu sempat menjalani operasi pemotongan usus sepanjang 40 sentimeter. Tim Dokter Kepresidenan menilai kondisi kesehatan Pak Harto sudah makin membaik sehingga bisa pulang dan selanjutnya akan dirawat di rumah.

Koordinator tim dokter spesialis dari RSPP dan Tim Dokter Kepresidenan, Prof Djoko Rahardjo, di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta, Rabu (31/5) mengatakan para dokter tetap akan mengawasi perkembangan kondisi Pak Harto. "Beliau masih memakai pengaman, yaitu selang yang ada di dalam perut Pak Harto belum dilepas," kata Djoko. Asupan makanan bagi mantan pemimpin Orde Baru itu tetap diawasi.

Krononologi Kesehatan Pak Harto

4 Mei 2006
Pendarahan masif di usus besar, antara usus halus dan anus. Dibawa ke Rumas Sakit Pusat Pertamina, Jakarta

5 Mei 2006
Pendarahan terus berlanjut, dilakukan transfusi darah untuk mempertahankan kondisi Pak Harto.

6 Mei 2006
Pak Harto kekurangan oksigen. Karena menderita penyakit darah rendah yang menggangu aliran darah dari jantung ke seluruh tubuh.

7 Mei 2006
Tim dokter kepresidenan melakukan pemeriksaan kolonoskopi terhadap usus besar Pak Harto.

8 Mei 2006
Tim dokter melakukan operasi selama tiga jam, memotong 40 sentimeter usus besar Pak Harto, dibantu dengan pemasangan alat pacu jantung.

9 Mei 2006
Fungsi kedua ginjal Pak Harto terganggu. Namun kesadaran mulai pulih, gerak peristaltik usus telah kembali dan dapat mencerna makanan lembut. Pak Harto juga telah bisa duduk dan transfusi darah dihentikan.

10 Mei 2006
Paru-paru digenangi cairan, sehingga menyebabkan batuk-batuk. Sementara fungsi ginjal mulai membaik.

11 Mei 2006
Dioperasi lagi untuk memasang pipa pembuangan cairan udara di lambung. Pipa tersebut dipasang di dinding perut sebelah kiri atas.

12 Mei 2006
Sebagai akibat operasi kadar hemoglobin turun lagi.

13 Mei 2006
Ginjal belum berfungsi secara sempurna. Lambung sudah berfungsi. Paru-paru masih digenangi cairan. Pendarahan masih terjadi di usus. Obat pengecer darah dihentikan.

14 Mei 2006
Pendarahan di usus mulai berhenti, namun cairan makin banyak menggenangi paru-paru. Fungsi pencernaan membaik. Namun masih kesulitan berbicara (afasia).

15 Mei 2006
Kondisi masih kritis dan labil. Pendarahan kadang masih terjadi, namun obat pengecer darah harus diberikan. Asupan kalori terbatas hanya 1.000 dari 1.500 atau 2.000 semestinya.

16 Mei
Pendarahan berhenti dan obat pengecer darah juga dihentikan. Paru-paru membaik namun ginjal belum sembuh.

18 Mei 2006
Kondisi memburuk, terserang stroke. Kesadaran menurun, kejang-kejang, dan terjadi gangguan menelan.

19 Mei 2006
Dioperasi lagi untuk mengeluarkan gumpalan darah 90 cc di bawah kulit bekas operasi usus besar, jika tidak akan menyebabkan infeksi.

20 Mei 2006
Kondisi kesehatan Pak Harto masih kritis, kendati secara umum membaik. Kadar hemoglobin kembali naik jadi 10,1 gram per desiliter, dari sebelumnya 9,1 gram per desiliter (normalnya 13,8 sd 17,22 gram per desiliter). Masih sering mengantuk. Fungsi ginjal masih belum banyak perubahan. Namun, kerja jantung dinilai memadai.

22 Mei 2006
Senin pagi sekitar pukul 10.00, mulai menjalani fisioterapi secara pasif, untuk melemaskan anggota badan dan memperlancar peredaran darah perifer. Secara umum kondisi Soeharto lebih baik dibandingkan dengan hari sebelumnya.

23 Mei 2006
Kondisi kesehatan Pak Harto yang sempat dikabarkan membaik, kembali menurun. Sejak Senin malam terjadi lagi pendarahan lambung. Selain itu, melalui pipa lambung atau gastrostomy tampak pendarahan kemerahan. Selain itu, tampak feses berwarna kehitaman dari caecostomy dan anus. Untuk mencari sumber pendarahan dan sekaligus mencoba menghentikannya, dokter akan melakukan endoskopi.

24 Mei 2006
Kondisi kesehatan mantan Presiden Soeharto kembali membaik, setelah sempat menurun karena perdarahan di lambung. Namun, setelah diobati dan dilakukan endoskopi, sejak Rabu lalu dilaporkan perdarahan di sekitar pipa lambung berhenti.

25 Mei 2006
Kamis pagi Tim Dokter Kepresidenan yang diketuai Dr Mardjo Soebiandono melaporkan bahwa perdarahan tidak ada lagi. Fungsi-fungsi organ vital seperti ginjal, paru-paru, dan jantung dilaporkan juga membaik. Bahkan, para dokter berencana mencabut kateter dan pipa lampung dari usus besar.

31 Mei 2006
Mantan Presiden Soeharto diizinkan meninggalkan Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) setelah dirawat selama 27 hari, sejak 4 - 31 Mei 2006. Tim Dokter Kepresidenan menilai kondisi kesehatan Pak Harto sudah makin membaik sehingga bisa pulang dan selanjutnya akan dirawat di rumah. ►e-ti

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)



► e-ti/
Nama:
H. Muhammad Soeharto
Lahir:
Kemusuk, Argomulyo, Godean, 1 Juni 1921
Jabatan Terakhir:
Presiden Republik Indonesia (1966-1998)
Alamat:
Jalan Cendana No.8, Menteng
Jakarta Pusat

0 comments:

Followers